Part 13

12.1K 876 106
                                    

Syera Pov

Aku memandang nanar makam yang masih penuh dengan taburan bunga dan terlihat basah yang ada di hadapanku.

Aku memaksa untuk ikut ke pemakaman anak pertamaku. Bayi berjenis kelamin perempuan yang aku lahirkan seminggu yang lalu.

Apakah dia juga ikut membenciku? Saat aku membuka mataku. Anakku malah menutup matanya erat.

Tadi aku masih sempat melihat wajah pucatnya. Dia kecil dan terlihat lemah.

Aku memandang Keano yang berdiri di depanku. Dia menangis. Dia terlihat hancur. Tapi... ini pilihannya. Dia yang meminta untuk menyelamatkanku.

Tapi nyatanya aku tetap akan mati karena dia yang tidak perna menganggap keberadaanku.

Aku sudah mendapatkan balasanku. Aku yakin kelak di akhirat sana Allah pasti menghukumku dengan hukuman yang jauh lebih berat lagi. Jadi, apakah di dunia ini aku tidak bisa merasakan bahagia lagi karena kesalahan fatal yang aku lakukan?

Aku mengedarkan pandanganku. Melihat kedua orangtuaku. Saudaraku yang juga sudah datang ke jakarta sejak dua hari yang lalu--saat aku masih tidak sadarkan diri. Dan mertua serta keluarga dari pihak Keano.

Mereka semua bersedih dan terluka. Tapi pandangan kecewa hanya bisa ku temukan di wajah Mama dan Keano.

"Ayo kita pulang," ajak Papa memapah tubuhku yang masih lemas.

Aku kembali ke rumah sakit--karena memang belum waktunya aku pulang.

"Kita pulang dulu. Papa titip Syera ya, Kean?" Pinta Papa sebelum keluar dari ruang perawatanku. Keano mengangguk lemah.

Setelah semuanya pergi. Tinggallah aku dan Keano diruangan ini.

Aku lihat Keano yang duduk di sofa yang ada di ruangan rawatku.

"Harusnya kamu selamatkan dia. Harusnya aku aja yang mati. Karena nyatanya percuma kalau aku tetap hidup. Aku udah kayak manusia yang penuh racun. Untuk apa kamu nyelametin aku? Kalau akhirnya kamu buang aku?" ujarku lemah.

Keano masih diam. Tapi tak berapa lama dia mengangkat kepalanya.

"Terus apa yang harus aku lakukan?" tanyanya lirih.

Aku memalingkan wajahku dari sorotan penuh luka milik Keano. Aku tidak sanggup.

"Selamatkan anak kita," jawabku tanpa ragu.

"Dan membiarkan seorang ibu kehilangan anaknya?" Aku memandang Keano tak mengerti.

Keano berdiri dan mendekati ranjangku.

"Apa yang harus aku lakukan. Sekarang jawab aku. Apa yang harus aku lakukan di saat ada seorang ibu di luar sana sedang duduk menangisi anaknya yang tengah berada di ujung kematian. Apa yang harus aku lakukan? Merebutmu dari ibumu?! Sebesar apapun rasa kecewa yang Mama rasakan terhadap kamu. Aku bisa temukan sedikit senyum waktu aku bilang aku lebih memilih kamu untuk hidup. Dia nggak minta aku untuk memilih kamu. Tapi aku tahu yang dia mau. Bahkan sekeji apapun anaknya. Seorang ibu nggak akan pernah berharap melihat kematian anaknya."

Aku terdiam. Mama. Tenggorokanku begitu sakit mendengar ucapan Keano.

Tapi bukankah aku juga seorang ibu. "Bukankah kalau begitu kamu baru saja merebut seorang anak dari ibunya? Aku juga ibu," jawabku tak mampu membendung airmataku.

Menangis dengan tubuh terbaring tak berdaya. Aku benar-benar lemah.

"Lalu siapa aku? Aku adalah ayahnya. Apa kamu pikir aku mengambil keputusan hanya karena satu sisi saja?" Keano diam. Pandangannya menatap nanar lantai yang ia pijak.

Indah di Senyum MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang