Ekstrakurikuler photography. Pilihan ekskul yang paling aman buat gue. Padahal kalo dibilang minat photography juga biasa aja, sih. Tapi setidaknya itu mending daripada ekskul lain kaya panjat tebing yang menurut gue ekstrem aja. Duh, nggak deh.
Dan orang kaya gue paling nggak mungkin disuruh ikut paskibra, PMR atau pramuka yang termasuk ekskul inti di sekolah. Gue bukan orang yang bisa serius menekuni sesuatu. Gue gampang bosen. Daripada gue nggak bener nantinya kan, mendingan cari aman.
Sekarang udah di luar jam sekolah alias jam pulang sekolah udah lewat, gue masih santai jalan di koridor sekolah yang mulai sepi. Dan langkah gue terhenti seketika pas ada seseorang dari belakang memanggil nama gue.
"Lo mau nyari spot kemana?" tanyanya ramah saat gue dan cewek ini udah jalan berdampingan.
Dia Fira. Temen pertama yang gue kenal di sekolah ini sekaligus temen sebangku gue sekarang. Kebetulan dia punya pemikiran yang mirip sama gue, jadi dia juga ikut ekskul yang sama. Beruntunglah ternyata masih ada yang mau temenan sama gue.
"Lapangan basket kayanya."
"Yah, padahal gue mau kesana tadinya," Dia mengeluh tempat incarannya gue ambil duluan.
"Terus gimana dong?" tanya gue sambil melirik wajahnya yang sedang berpikir ulang.
"Ya udah gue ke kebun sebelah kantin aja deh," jawabnya mengalah. Dan gue menghela napas lega. Dia langsung memisahkan diri ke arah lain dan sekilas menoleh sebentar ke arah gue.
Gue melambaikan tangan. "Good luck, Fir!"
Dia hanya mengacungkan jempolnya.
-^-^-
Alasan kenapa gue memilih lapangan basket ya, karna di sini sepi. Lapangan basket di sekolah gue ada di area outdoor. Serunya di sini rindang banget, di sekeliling lapangan banyak pohon soalnya.
Dugaan gue benar. Di sini sepi, cuma ada satu orang yang keliatan nyender di salah satu batang pohon. Dia keliatan sibuk dengan kertas gambar di tangannya. Posisi gue agak jauh dari dia. Tapi gue merasa seperti mengenalinya, meskipun gue nggak terlalu yakin.
Posisi gue juga di bawah pohon. Bedanya, pohon tempat dia menyender ada di seberang lapangan basket. Jadi gue dan orang itu terpisah lapangan. Ya gitulah. Gue masih memperhatikan dia sampai otak gue baru memberi sinyal dan bikin gue menyadari sesuatu.
Dia si senior cowok waktu itu!
Wow. Gue nggak nyangka bisa ketemu dia di sini. Eh, bukan ketemu --maksudnya gue nggak nyangka bisa ngeliat dia di sini. Dari sekian banyak siswa yang kemungkinan bisa gue liat di sini, kenapa harus satu orang itu, sih? Gue mencoba masih berpikiran positif, ini cuma kebetulan dan nggak akan berarti apa-apa.
Gue rasa dia sama sekali nggak menyadari kehadiran gue, dia terlalu sibuk sama gambar di kertasnya itu. Lagian kalo dia sadar gue ada di sini, mau apa coba?
Seketika gue jadi lupa tujuan utama gue kesini mau ngapain.
Gue segera berpikir, objek apa yang kira-kira pas buat misi hunting kali ini. Akhirnya gue cuma bisa menjadikan dedaunan dan kerikil sebagai sasaran.
-^-^-
Gue melihat lagi hasil jepretan di lapangan basket tadi bersama si Inong --panggilan buat kamera gue. Sekalian menimbang lagi foto yang paling mendingan buat dikumpulin pas ekskul besok.
Surprise!
Gue menemukan foto orang itu di kamera gue! Hah, kapan gue fotoin dia coba? Seinget gue, gue cuma ngeliat dia tanpa berniat sedikitpun ngambil foto candid-nya. Ngapain juga kan gue fotoin dia. Tapi fotonya ini sukses bikin gue sedikit takjub sejenak. Gue nggak nyangka ternyata tangan gue juga bisa khilaf parah sampe nggak sengaja gini mencet tombol ambil gambar.
Selain itu gue juga takjub karna foto itu sempurna menurut gue. Bahkan sangat sempurna buat ukuran foto yang terambil secara nggak sengaja.
Mungkin itu karna si Inong terlalu canggih. Karena nggak mungkin gara-gara modelnya yang keren, kan? Iya, tapi anehnya tangan gue masih aja ngelanjutin kekhilafannya sampai menekan tombol zoom berkali-kali.
Gue bisa melihat wajahnya dari samping. Rahangnya tegas. Hidungnya mancung. Alis tebalnya tergambar nyata. Matanya menatap serius ke arah gambarnya yang setengah jadi.
Dia duduk santai dengan menyadar ke pohon seperti yang gue bilang. Dan latar di sekitarnya sangat mendukung foto itu terlihat realistis. Komposisinya pas. Nggak keliatan sama sekali kalo foto itu cuma nggak sengaja kejepret. Mungkin foto ini bakalan jadi salah satu favorit gue.
Eh, tapi kenapa modelnya harus dia sih? Masih banyak yang lebih ganteng dan keren kok. Siapa sih dia? Kenapa gue jadi mulai merasakan sesuatu yang aneh?
Something goes wrong.
-^-^-
Jam istirahat udah selesai. Waktunya kembali ke kelas. Dengan setumpuk buku dari perpus, gue berjalan sangat hati-hati di koridor sekolah yang bisa dibilang agak ramai lalu-lalang siswa lain. Gue cuma nggak mau nantinya gue bakalan nubruk orang dan bukunya berserakan trus bakalan dibantuin sama cowok ganteng, errr... itukan sinetron banget. Gue jadi geli sendiri bayanginnya.
Di ujung koridor gue melihat segerombolan senior cowok jalan dengan arah berlawanan sama gue. Pasti bakalan berpapasan, jujur gue males banget sebenernya. Pengen puter balik rasanya tapi nanggung karna kelas gue juga udah deket.
Jadi gue nekat sambil terpaksa nunduk saat gue dan mereka berpapasan. Untungnya gue masih dikasi jalan buat lewat di koridor yang seketika serasa sempit gara-gara ada mereka. Setelah gue kira mereka semua udah berlalu, gue mengangkat kepala lagi seperti biasa.
Ketika gue mendongak, mata gue bertemu dengan sepasang manik hitam yang terasa meneduhkan. Sepasang mata itu milik seorang cowok di belakang gerombolan tadi. Seketika gue merasakan hal aneh di detakan jantung gue. Itu nggak sengaja, gue bertatapan sama seseorang. Seseorang yang nggak asing tapi sebenernya asing.
Si senior itu. Senior yang natap gue dengan sinis waktu itu. Ternyata matanya meneduhkan. Menghanyutkan. Walaupun itu cuma beberapa detik gue bener-bener menatap matanya. Gue merasa ada sesuatu yang menarik di sana. Apalagi degupan jantung gue belum stabil lagi gara-gara itu. Refleks ada sebuah senyuman tipis di bibir gue.
Gue ini kenapa coba?
-^-^-
Kenapa jadi makin gaje ya haha-__-
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Extraordinary Flat Story
Short StorySebuah kisah sederhana, gue sebagai pengagum rahasia. Bukan pengecut, meskipun nggak punya sama sekali keberanian buat mengungkapkan semuanya. Cuma mampu melihatnya dari kejauhan. Hanya dengan kehadirannya, gue udah merasa bahagia. Cukup bertatapan...