8. Kembali?

413 69 18
                                    

Melepaskan ternyata nggak sesulit yang gue bayangin sebelumnya. Ini cuma perkara sederhana tentang keikhlasan melihat dia pergi walaupun angan tentang dia akan terus melekat entah sampai kapan.

Jangan pernah takut melepaskan apa yang memang tidak bisa dipertahankan. Biar takdir yang menjawab, apakah dia akan kembali atau justru terganti. Hanya ada dua kemungkinan itu, apa masih terasa sulit?

Suara notifikasi pesan LINE yang masuk seketika membuyarkan konsentrasi gue. Mata gue berhenti membaca dan melirik ke arah layar ponsel di samping gue. Lagu yang terputar di earphone juga mendadak berhenti karenanya.

Fira: Buruan ke kantin skrg.

Gue melirik jam digital yang tertera di layar bagian atas. Jam istirahat, yang bener aja? Kantin pasti rame dan gue paling anti sama itu, apa dia lupa? Gue menghela napas panjang.

Gue: Ngapain? Males, ah. Pasti rame, deh.

Fira: Ish, lo dimana, sih? Penting!

Gue mengernyit heran. Tumben banget Fira keliatan 'ngebet' banget nyuruh gue ke kantin. Nggak mungkin kalo cuma buat hal-hal yang biasa aja. Tapi kira-kira hal luar biasa semacam apa?

Gue: Perpus. Lagi meditasi males gerak, nih.
*sticker nyengir lebar*

Fira: Okay, gue kesana skrg, deh.
*sticker geleng-geleng kepala*

Nggak sampai lima menit lebih, gue udah ngeliat Fira baru masuk perpus. Setelah ngambil satu novel secara asal dia langsung duduk di depan gue. Masih dengan muka nggak santai, dia belum angkat suara. Padahal gue nungguin gara-gara penasaran.

Gue berbisik pelan, "Lo kenapa, sih?" Gue nggak tahan lagi, akhirnya gue yang memulai.

"Harusnya tadi lo ke kantin," ujarnya nggak nyambung sama pertanyaan gue. Dia menghela nafas.

"Emang di kantin ada apa, sih? Awas aja kalo nggak penting, gue udah penasaran gini."

Dia bangkit lalu menarik tangan gue. "Akhirnya lo penasaran, kan? Makanya ikut gue sekarang." Gue hanya bisa menurut daripada tersiksa sama rasa penasaran.

Gue duduk di sudut kantin. Gue masih belum menyadari apa yang mau ditunjukin sama Fira. Sambil menyeruput jus alpukat, berbagai pertanyaan di otak gue masih menggantung belum terjawab. Fira datang sambil membawa beberapa camilan di tangannya lalu duduk tepat berhadapan dengan gue.

"Lihat arah jam 9," katanya setelah melihat raut bingung di wajah gue. Gue langsung menunduk, mengecek arloji krem di tangan gue dan langsung menoleh mengikuti arah posisi angka 9 alias sebelah kiri gue.

Butuh lebih dari dua detik untuk gue bisa mencernanya. Bayangan seseorang itu langsung otomatis ditangkap oleh retina gue dan sinyalnya dikirim sekilat mungkin ke otak.

Ironman!

Otak gue nggak salah mencerna, kan? Itu beneran dia. Ya ampun, kenapa dia bisa ada di sini? Pandangan gue langsung nggak bisa lepas darinya. Dia masih sama. Hanya gaya rambutnya yang terlihat sedikit berubah tapi itu justru semakin menunjukkan kedewasaannya.

Dia masih hangat bercengkrama dengan beberapa temannya dulu. Sesekali akrab berfoto bersama lalu tertawa lepas. Gue cuma tersenyum dalam hati dan masih mengamatinya. Nggak ada yang bisa gue lakuin meskipun jaraknya sedekat ini.

"Gimana? Katanya udah move on, hmm?" Suara Fira yang terdengar menyindir membuat gue tersadar kalo dia masih ada di depan gue. Pandangan gue langsung teralih.

"Jadi ini alasannya?"

Dia mengangguk. "Kalo udah move on pasti biasa aja rasanya. Dari tadi lo liatin dia, kan?" katanya lagi memperjelas bahasa tubuh gue tadi. Dan secara nggak langsung mempertanyakan keberhasilan misi gue untuk move on. Gue yang salah, harusnya gue bisa menahan untuk nggak terus-terusan mengamatinya.

[✓] Extraordinary Flat StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang