Gue nggak tau proses move on gue sampai di mana, apa berhasil atau justru gagal. Melihat mereka berduaan, nggak bikin gue ngerasa aneh lagi. Semuanya udah biasa aja. Gue telah terpaksa menerima dan akhirnya menjadi biasa.
Mereka makin akrab aja, semoga memang langgeng. Karena gue juga seneng kalo ngeliat orang lain seneng. Ikut bahagia ketika liat dia bahagia. Pengorbanan yang sederhana. Meskipun Fira nggak percaya, tapi gue bener-bener ikut bahagia, kok.
"Emangnya lo bakal ikutan kenyang kalo liat orang lain kenyang? Enggak, kan! Lo juga harus makan biar kenyang," katanya tidak habis pikir dengan gue, tapi gue masih nggak ngerti analoginya mengarah kemana.
"Iya, bener. Trus?"
Dia menghela napas. "Mana ada orang yang ikutan bahagia kalo liat orang lain bahagia? Itu cuma kata-kata mitos yang dianggap nyata. Gue mau lo juga bahagia, lah. Tapi bukan cuma gara-gara ngeliatin dia bahagia," Fira menjelaskan. Akhirnya gue mengerti kemana arah pembicaraan ini. "Lo harus dapet kebahagiaan lo sendiri," imbuhnya semakin memperjelas kepeduliannya.
Sesekali dia masih melirik sepasang cewek dan cowok yang duduk di pojok kantin. Yap, mereka Ironman dan si cewek rambut panjang. Fira memperhatikan mereka diam-diam, bergantian mengamati gue yang masih bungkam di depannya.
"Don't worry, Fir. I'm fine." Akhirnya gue menjawab singkat dan padat. Mungkin memang jawaban itu yang paling tepat untuk diluncurkan sekarang.
"Kok lo bisa mendem semuanya jadi biasa aja, sih?" katanya lagi. Dia menatapku lekat-lekat.
Gue tersenyum tipis. "Gue, kan, udah move on. Lagian gue cuma secret admirer, kali. Jadi ya, gampang aja...," ujar gue akhirnya membuat Fira terdiam. Dia mengalah sama gue yang masih santai. Hanya merespon dengan anggukan kecil, gue berharap telah memberikan jawaban terbaik.
-^-^-
Entah udah berapa lama gue membiarkan semua ini mengambang gitu aja. Sampai akhirnya gue menyadari, waktu telah membawa gue di ujung semester genap. Sebentar lagi UN dan Ironman bakal lulus duluan lalu pergi. Nggak ada yang bisa gue lakukan kecuali masih diam dan pasrah. Bahkan bisa maju satu langkah ke depan pun jadi hal yang belum bisa gue wujudkan sampai sekarang.
Fira sambil tergopoh-gopoh menghampiri gue di perpus. Dia terlihat tidak sabar memberikan sebuah informasi ke gue, yang gue duga cukup penting. Gue hanya menggeleng heran melihatnya.
"Lo tau, nggak?" ujarnya membuka pembicaraan. Pertanyaan yang kurang berbobot, ya. Dia masih menstabilkan napasnya yang terengah-engah.
"Enggak, lah. Mana gue tau. Lo kira gue dukun?" Gue menanggapinya sambil belum beralih perhatian. Dia langsung mengambil posisi di sebelah gue dan menghela napas panjang.
"Tapi mau tau, nggak?" tawarnya iseng. Ya ampun, perasaan dia deh yang heboh tiba-tiba dateng mau ngasi informasi dan dia malah nanya lagi. Masih dengan percakapan nggak penting itu, gue memilih kembali terfokus sama buku kimia di depan gue.
"Nggak, deh."
Dia terlihat kecewa, respon gue berbeda sama ekspektasinya. "Yakin? Ini beneran penting, loh...," tawarnya lagi masih berusaha mengalihkan perhatian gue.
"Emangnya apaan, sih?" Akhirnya gue mengalah biar cepet selesai. Wajahnya kembali sumringah, dia tersenyum penuh kemenangan.
"Ironman udah putus sama Kak Diana."
"Hah?" respon gue nggak nyangka. Refleks gue sampai menutup buku kimia tebel di depan gue dan melotot kearahnya. "Beneran? Lo tau dari mana?"
Dia mengangguk yakin. "Sosmed, hehe," jawabnya dengan cengiran lebarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Extraordinary Flat Story
Short StorySebuah kisah sederhana, gue sebagai pengagum rahasia. Bukan pengecut, meskipun nggak punya sama sekali keberanian buat mengungkapkan semuanya. Cuma mampu melihatnya dari kejauhan. Hanya dengan kehadirannya, gue udah merasa bahagia. Cukup bertatapan...