Biar Menjadi Kenangan by Reza
* * *
Aku meninggalkan setumpuk berkas di meja kerjaku sesaat setelah pintu apartemenku diketuk. Sesosok pria dengan penampilan acak-acakan menjadi tamuku -lagi. Walau sebenarnya kehadirannya sudah bisa kuprediksi karena tak akan ada lagi yang bertamu hampir tengah malam seperti ini. Aku hanya menghela napas lelah sebelum memboyongnya masuk.
"Kamu mabok?" tanyaku setelah kami berdua duduk di sofa dalam apartemen tipe studio hasil jeripayahku.
"Engga, Bil. Aku habis lembur."
"Gak usah bohong sama aku, Dy. Jelas-jelas kamu bau al-"
"Oke, oke. Aku memang minum, but I'm totally sober."
"Jadi, kamu kenapa?" tanyaku lagi.
"Aku cuma lelah, pekerjaanku membludak, Bil. Dan kamu tahu sendiri usapanmu di pelipisku yang bisa buat aku tidur nyenyak."
Aku diam ketika Aldy mengubah posisi menjadi tiduran dengan pahaku menjadi sanggahan kepalanya. Tangan kiriku digenggam olehnya, sementara tangan kananku diletakkan di atas dahinya. Pelan, kuusap pelipisnya dengan ibu jariku membuat kerutan di keningnya melonggar. Matanya menutup perlahan seiring semakin jauh dia masuk ke alam mimpi.
Aku benci momen ini. Saat aku bisa melihat wajahnya sedekat ini. Meski gurat lelah masih tersampir di sana tapi ekspresi tidurnya terlihat begitu damai, berbanding terbalik dengan penampilannya yang benar-benar berantakan. Kemajanya awut-awutan dengan kancing yang terbuka, lengan panjangnya digulung asal sampai siku. Rambut-rambut halus juga mulai menumbuhi rahangnya yang tegas itu. Perlahan tanganku bergerak menelusuri rambut ikal hitamnya yang mulai gondrong membuat Aldy tampil semakin tak karuan.
Aku benci momen ini. Saat aku bisa memberikan ketenangan baginya. Ketika aku mampu menjadi tempat dia pulang dan melepas semua beban. Kala jemariku saling bertaut erat dengan jemarinya. Setiap kami duduk berdua dalam hening namun saling berbagi sandaran dan kenyamanan. Sejujurnya aku tahu semua ini salah. Sesungguhnya aku sadar, bukan aku seharusnya tempat dia pulang. Mestinya bukan aku yang menemaninya saat malam-malam berat baginya. Kueratkan lagi genggaman kami seolah aku butuh kekuatan lebih darinya, tetapi dingin logam yang tersemat di jari manisnya membuatku tak mampu membendung rinai air mata ini.
Aku terisak dalam diam.
Tetes airmata ku tak tertahan lagi
Menanti kepastian tentang kita
Kau masih juga bersamanya
Masih mencintainya~ ~ ~ ~ ~
Drttt... Drttt...
Ini sudah kali kedelapan ponsel itu bergetar. Sedari tadi layarnya tak henti berkelip, memampangkan sebuah nama yang sangat kukenali. Dari meja kerjaku, aku melirik ponsel di atas meja dan Aldy yang masih tertidur di sofa, bergantian. Aku membuang napas kasar seolah melepaskan keegoisan ini. Kudekati Aldy, kutepuk pipinya pelan sambil menyebut namanya. Lalu ketika mata itu terbuka setengah, kuangsurkan smartphone miliknya.
"Aku harus pulang."
Aku mengangguk mengerti, tak berusaha menahannya untuk tinggal lebih lama lagi. Kuantarkan dia sampai ke depan pintu, "hati-hati, sudah dini hari, jalanan rawan," peringatku seadanya.
Aldy tersenyum. Dia mengacak rambutku sambil memberikan wejangan agar aku segera tidur, tidak lagi tenggelam dalam laporan perusahaan. Katanya dia akan menarik semua kasus yang kutangani kalau aku tak bisa membagi waktu untuk beristirahat. Aku hanya mencebikkan bibir dan mendorong Aldy segera keluar dari apartemenku.
"Terima kasih, Bila, " ujarnya sebelum dia berlalu.
Maafkanlah sayangku atas keadaan
Kamu tak pernah jadi kekasihku
Wajahnya selalu terbayang
Saat kau di sisiku~ ~ ~ ~ ~
Aku menutup pintu dan bersandar di baliknya. Air mata ini kembali menetes. Selalu seperti ini, Aldy datang saat malam telah larut dan pergi bahkan disaat fajar belum menyongsong. Mungkin aku dulu satu-satunya wanita di hidupnya. Aku dulu sahabatnya yang paling dia prioritaskan. Aku dulu menjadi rekan yang paling ia banggakan di biro hukumnya. Tapi kini aku tak lebih dari benalu dalam hubungan dia dan Sarah. Istrinya.
Aku pun tak tahu mengapa aku masih saja bertahan pada posisi ini. Bukan tak jarang orang mencurigaiku dan membicarakan aku yang aneh-aneh. Tapi aku tak peduli, karena dia pun masih disini. Tak melepasku meski kami tak akan pernah bersatu.
Sebut aku wanita egois. Sebutlah aku wanita tak berperasaan. Tapi wanita licik yang tak punya hati ini hanya tersesat dalam gelapnya cinta. Wanita simpanan yang menjijikkan ini hanya terbelenggu masa lalu. Aku hanya wanita yang tak mampu melepas masa kejayaanku di hidupnya dulu. Dan dia pun tak pernah ingin menyingkirkan aku dari hidupnya. Meski nyatanya wanita beruntung itulah yang dia pilih untuk membina masa depan dengannya. Jadi ingin kupertanyakan lagi, siapa yang dilukai disini?
Aku dan kamu takkan tahu
Mengapa kita tak berpisah
Walau kita takkan pernah satuAku berlari menuju bak cuci piring -tempat terdekat yang bisa kucapai dari pintu- karena tiba-tiba saja perutku bergejolak ingin memuntahkan isinya. Tentu saja hanya cairan asam yang keluar karena aku ingat tak makan apa pun sejak aku pulang dari kantor lebih awal, tadi siang. Seharian ini memang kurasa tubuhku lemah. Rasa pusing yang mendera sempat menganggu aktivitasku hari ini.
Aku berjingkat ke lemari penyimpanan obat. Ada baiknya sebelum aku tidur untuk meminum sesendok antacid atau sebungkus penolak angin orang pintar. Sesuatu yang janggal menelusup di pikiranku ketika melihat stok minuman pereda nyeri haidku masih utuh.
Aku termangu.
Tuhan, ini tidak boleh terjadi, batinku.~ ~ ~ ~ ~
Aku menatap nanar garis dua berwarna merah pada alat tes berbentuk pipih panjang ini. Kuusap perutku yang rata. Apa yang ada di dalam rahimku ini bukan kesalahan meskipun tak kuinginkan. Setelah dua hari kulewati dengan bimbang. Hari ini kuberanikan diri untuk melakukannya. Kuraih surat pengunduran diriku serta sebuah surat khusus untuk Aldy. Kubaca lagi surat itu yang hanya berisi sepenggal lirik lagu yang mengisahkan hubungan kami. Setelahnya kuselipkan alat pendeteksi kehamilan tadi. Dia harus tahu meski tak mungkin bertanggung jawab. Lagi, sebutlah aku egois karena tak mau menyimpan ini sendirian.
Biarlah aku menyimpan bayangmu
Dan biarkanlah semua menjadi kenangan
Yang terlukis di dalam hatiku
Meskipun perih namun tetap selalu ada di sini
Ku beri segalanya semampunya aku
Meski cinta harus terbagi dua
Mungkin kamu tak pernah tahu
Betapa sakitnya aku~ ~ ~ ~ ~
Masih diketahui single namun perutmu mulai membesar, bukanlah hal mudah untuk dijalani. Bisik-bisik tetangga yang pada kenyataannya mampu kudengar jelas menjadi makanan sehari-hariku. Belum lagi ingatan akan reaksinya saat mengetahui keadaanku masih membayangi. Bagaimana dengan ringan, tangannya bergerak di atas selembar cek, membubuhkan sejumlah nominal untukku pergi dari kotanya atau membunuh nyawa yang tak bersalah ini.
Aku berjalan santai sambil menikmati udara segar khas pedesaan. Namun, ketika para ibu yang sedang memilih sayur langsung berkomat-kamit begitu melihat perut buncitku membuat aku mempercepat langkah ini. Hingga sebuah kerikil membuatku terjerembab. Darah mengalir dari pangkal pahaku. Dan ketika dokter puskesmas menatapku dengan iba, aku tahu aku telah kehilangan satu-satunya hal yang ditinggalkan Aldy.
Oh... pasti kamu tak pernah tahu
Betapa sakitnya aku~ ~ ~ ~ ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Song Fiction : Lonely
Short StoryIni hanyalah nyanyian sepi mereka yang merasa kehilangan, kesakitan dan kesedihan yang teramat dalam terhadap sesuatu yang teramat berharga bagi mereka. 18 Oktober 2015 Theme: Angst