Affair? Not my business...

503 62 8
                                    

"Ev... hey, tunggu, Evan!" aku gagal mencegah si Bocah Vampir untuk pergi, padahal aku belum selesai memberikan informasi tentang Akkarin dan Läufer. Aku menggeleng pelan, setidaknya dengan ini tugas yang diberikan Evan sudah beres, plus mendapatkan upah yang sesuai.

Entah apa yang Evan pikirkan, saat aku menceritakan tentang apa yang sebenarnya Läufer lakukan, tiba-tiba sikap tenang Evan berubah. Dia terlihat marah sekaligus khawatir, dan yang jelas semua itu karena Akkarin. Evan memberikan upahku lalu pergi begitu saja sebelum aku benar-benar selesai bercerita.

~333~

"Elaaaakhr!" sesuatu yang sebenarnya sudah dapat kuduga terjadi pada Evan. Dia menghampiriku yang masih di kelas, kebetulan hanya tinggal aku dan dua murid lain yang tersisa. Mereka langsung kabur begitu melihat Evan yang datang dengan kemarahan yang menggebu. Aku beranjak.

"Kenap...," sebelum sempat Evan bicara, aku mendahuluinya.

"Karena kau tidak mendengarkan ceritaku sampai selesai," aku berusaha terlihat seperti orang jahat, meski sebenarnya aku sudah sangat ketakutan saat ini.

"Aaargh!" Evan menduduki kursi di depanku dengan kasar, rambutnya diacak keras. Kulihat pipi kirinya memerah, kurasa dia baru saja mendapat hasil dari perbuatannya.

"Biar kuteruskan ceritaku yang belum sempat kau dengarkan," aku duduk kembali. "Läufer memang mencuri dan mencopet, tapi hasil yang mereka dapatkan adalah untuk membeli bahan makanan sehari-hari bagi anak-anak yang diasuh ibu Akkarin. Mereka adalah anak terlantar yang tidak mempunyai orang tua, tidak diterima lagi oleh panti asuhan dan belum mencapai usia untuk bekerja."

"Ah, sial," Evan masih terus mengacak rambutnya, kulihat dia menyesali sesuatu.

"Oke, karena aku sudah menceritakannya dengan benar, aku akan pulang," kuambil tasku yang menggantung di samping meja.

"El," Evan membentangkan sebelah tangannya untuk mencegahku pergi. Aku tidak suka ini, Evan pasti akan berkata 'tolong'.

"Apa?"

"Bantu aku, tolong," Evan benar-benar membuang harga dirinya demi mengucapkan kata itu. Kurasa kejantanannya patut dipuji, dia tidak ragu mengucapkan kata tolong demi Akkarin.

"Nah, jadi," aku duduk kembali sambil mendorong bahu Evan agar duduk di bangku depanku. "Apa yang telah kau lakukan hingga membuat Akkarin marah?"

"Ahh," Evan menghela nafasnya yang terlihat sangat berat saat ini. "Aku hanya tidak ingin Akkarin terus bersama kelompok pencuri itu, karena itulah aku ke markas mereka sambil membawa pasukan keamanan."

"Lalu?"

"Anak-anak Läufer ditangkap dan akan di rehabilitasi kecuali beberapa orang."

"Biar kutebak," aku mengacungkan empat jariku. "Johann, Durendal, Lio dan Akkarin."

"Benar, mereka punya kekebalan hukum karena mereka anak-anak yang punya orang tua dan resmi terdaftar di sekolah Wardenlicht yang lain. Aku sudah menduga jika Akkarin tidak akan ditangkap karena hal itu, karenanya aku melaporkan Läufer pada pasukan keamanan."

"Kalau begitu, Akkarin sudah tahu jika aku yang memberitahumu tentang lokasi Läufer?"

"Entahlah," Evan mengedikkan bahu.

"Maka aku tidak bisa membantumu. Karena aku termasuk menjadi pelaku dalam penangkapan mereka."

"Kau?!" Evan menggebrak meja kayu, terdengar suara patah dari kaki meja.

"Hey hey, aku juga berpikiran sama denganmu. Meski tujuan akhir mereka baik, cara yang mereka lakukan memang kurang pantas. Tapi tindakan yang berdasar keputusan pribadi akan menjadi masalahmu sendiri, aku tidak bisa melakukan apapun untukmu."

"Lalu apa yang harus aku lakukan! Akkarin membenciku sekarang," Evan duduk lagi, dahinya tertunduk menyentuh permukaan meja. Kedua tangannya digunakan untuk menutupi wajahnya yang penuh ekspresi penyesalan.

Aku menyentuh bahu Evan yang bergetar, "Jika saja sekarang kau punya kesempatan bicara padanya, apa yang akan kau katakan?"

"Tentu saja, aku akan meminta maaf. Semua ini karena keegoisanku, harusnya kubiarkan saja Läufer seperti seharusnya agar Akkarin tidak membenciku."

"Lalu, apa yang akan kau lakukan demi dia?"

"Akan kulakukan apapun," Evan bicara tapi masih menyembunyikan wajahnya.

"Memang, seberapa besar rasamu padanya hingga mau melakukan apapun?"

"Aku tidak bisa menyebutnya, tapi sejak awal aku mengenalnya, dia adalah gadis terbaik yang kutahu. Aku jatuh cinta padanya karena dia selalu peduli pada orang lain, selalu bisa tersenyum dalam keadaan apapun dan selalu... selalu...," Evan menegakkan kepalanya, "menjadi seseorang yang menganggapku sama layaknya orang biasa."

"Bahkan jika dia mencuri, kau tetap menyukainya?"

"Tujuannya dalam mencuri bukan untuk dirinya sendiri!"

"Tapi tetap saja, itu tindakan kriminal."

"Aaah!" sepertinya sangkalanku cukup membuatnya stres, bagaimanapun pintar dan tenangnya sifat asli orang itu, dia akan berubah jika masalahnya dengan orang yang dia sayang. Hal itu berlaku juga untuk si Bocah Vampir ini.

Setelah beberapa saat kami diam, Evan beranjak dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata. Sepertinya dia sudah terlanjur kehabisan akal untuk bisa kembali dekat dengan Akkarin.

"Oke, jadi bagaimana? Kau sudah dengar sendiri dari dia kan?" kuambil handphone jenis lawas yang kupunyai. Sedari tadi, handphone-ku aktif dalam laci meja dan terhubung dengan seseorang. Kuangkat handphone lalu kutempelkan di telinga.

"...." Sepertinya dia yang ada di sisi lain sambungan teleponku masih berpikir.

"Dia melakukan itu untukmu, tidak ada alasan lain."

"I-iya, aku dengar! Tapi... tapi tetap saja aku tidak bisa menerima perbuatannya... huuuh," suara Akkarin terdengar ragu.

"Dia juga tidak bisa menerima perbuatanmu, tapi dia tetap menyukaimu."

"Lalu apa yang harus kulakukan?" Akkarin melontarkan pertanyaan yang sama dengan Evan. Mereka sama-sama bingung dan tak bisa jujur di depan masing-masing.

"Hubungan kalian bukan urusanku. Kau yang ingin tahu apa yang ingin dia katakan dengan bantuanku, keputusan selanjutnya ada di tanganmu."

"Umm, baiklah... terima kasih, El."

"Yups, sama-sama," kututup sambungan telepon. "Nah, kau juga sudah mendengar itu darinya."

Ucapanku membuat Evan muncul dari balik dinding sebelah pintu kelas, sudah kuduga dia tahu tentang sambungan telepon antara aku dan Akkarin. Evan menunduk, pipinya sedikit memerah, mungkin karena bahagia dan lega karena sebenarnya Akkarin tidak membencinya.

"Tugasku selesai, kau tinggal menutup buku cerita antara dirimu dan Akkarin dengan caramu sendiri, Ev," aku mencoba sedikit bergaya, padahal kalau dilihat lebih dalam, aku tidak melakukan sesuatu yang berguna. "Dan jangan lupa," aku memberi isyarat dengan jentikan jari tanpa suara.

<a/n>

biarlah jika absurd dan gaje, karena tulisan ini hanya sekedar pelepas penat xD

27 10 15


TriGalzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang