Suck? More blood...

513 63 1
                                    

"Jangan sampai kau memalingkan muka dari nona Gekko atau akan kusembelih kau dengan keadaan terbalik dan kuminum darahmu langsung dari bawah tempat menggantungmu!" ancaman itu terngiang terus di telingaku. Rachel benar-benar serius ketika mengatakan ingin menyembelihku.

Karena itu pula aku disini, bersama seorang gadis yang kapan saja bisa mengambil nyawaku jika dia mau. Yang membuat keadaan lebih buruk adalah, dia dalam keadaan yang tidak stabil karena alasan yang tidak kutahu. Resiko dari ancaman Rachel setara dengan resiko menjaga Gekko, resiko kematian. Aku benar-benar ingin segera kabur...

Tapi apa daya, kabur atau menghadapi semua ini, nyawaku sudah berusaha keluar dari persemayaman. Aku duduk di pojok kamar Gekko yang luas, Gekko sendiri membaringkan tubuhnya di ranjang besar bertandu, ranjang ala putri yang mewah dan indah.

Aku menelan ludah, bibirku terasa kering. Cobaan di depanku bukan hanya masalah nyawa, tapi juga 'sesuatu' yang membuat hormonku naik drastis. Bayangkan saja, ada seorang seorang gadis cantik bertubuh kecil yang mengenakan pakaian putih bersih yang tipis, basah oleh keringat dan tidak pernah berhenti gelisah di atas ranjang. Siapapun lelaki yang tidak tergoda pasti tidak normal.

Bukannya aku tidak tergoda, tapi jika aku terpancing untuk menyentuhnya, pasti aku akan menjadi daging cincang dan jantungku jadi makanan anjing liar. Mungkin kepalaku akan jadi hiasan dinding setelah dicabut dengan tangan kosong Gekko. Memikirkan itu saja sudah membuat leherku geli.

"El...," suara lirih Gekko memanggil namaku. "Haus."

"Oh, se-sebentar, kuambilkan air putih," aku merasa lega untuk sejenak, meski sebentar aku dapat keluar dari ruangan ini. Aku keluar dari pintu lalu segera ke dapur untuk mengambilkan segelas air putih. Saat itulah aku teringat, kenapa aku tidak menggunakan teleportasi saja. Efek ketakutan membuatku tak bisa berpikir panjang.

Baru saja aku ingin mengantarkan air, terdengar suara benda yang pecah. Suaranya seperti vas yang berada di koridor villa. Aku bergegas melihat kembali, koridor itu satu arah dengan kamar Gekko.

"Eh... kenapa kau keluar dari kamarmu?" aku buru-buru menghampiri Gekko setelah meletakkan nampan yang di atasnya terdapat gelas berisi air putih di meja hias koridor. Gekko menyangga tubuhnya di dinding, sepertinya dia... hmm, tersiksa?

Saat aku menyentuh bahunya, ternyata suhu badannya sangat tinggi. Aku hampir melepas peganganku jika saja aku tidak bertahan, bagaimanapun juga suhu tubuh Gekko saat ini sudah di mencapai empat puluh derajat. Kutuntun Gekko kembali ke kamarnya.

Lagi-lagi hormonku melonjak, nafas Gekko yang terengah sungguh terdengar erotis, ditambah posisi tubuhnya yang menyandarkan diri di bahuku. Aku sampai menggigit bibirku untuk bertahan dari godaan terbesar setiap pria dewasa.

"El...."

"Eh, iya?" aku menengok setengah menunduk, perbedaan tinggi badan membuat aku harus melakukan itu untuk melihat wajah Gekko.

Ya ampun... demi apa! Pipi Gekko yang merah itu benar-benar merangsang, bibirnya mendesah lirih seakan menarikku untuk menciumnya. Tangan Gekko terulur lemah menuju wajahku, jari telunjuknya menyentuh bibirku...

"Huaa!" aku tidak bisa bergerak saat tangan Gekko yang satunya mencengkeram lenganku dengan sangat keras. Jika Gekko menghendaki, pasti tulang lenganku sudah remuk saat ini.

Jari telunjuk Gekko dijilat, aku menelan ludah, tubuhku semakin kaku. Gekko yang terkenal dingin menjadi sangat hot kali ini. Eh... tapi tunggu...

"Gekko, kau berdarah?" ternyata di jari telunjuk Gekko terdapat noda darah. Lalu aku sadar, itu bukan darah Gekko, itu darahku! Sepertinya aku menggigit bibir terlalu keras tadi.

Gekko berjinjit, tangannya yang tadi memoles bibirku menggenggam sebagian rambutku. Dia menarikku seakan mengajakku berciuman... tidak... kurasa bukan ciuman, dia ingin... darahku!

"Ups, hampir saja," telapak tangan seseorang membekap bibir Gekko dengan lembut, telapak tangan itu sungguh putih seperti tak punya aliran darah. Ya, dia Maurice Bellemare!

"Pergilah," dengan sebuah dorongan lembut dengan tangannya yang lain, aku terlempar ke belakang cukup jauh. Aku dapat merasakan tekanan luar biasa, dia melemparku ke belakang hanya dengan secuil kekuatannya. Aku yakin aku akan mendapat beberapa luka jika aku mendarat di dinding dalam sepersekian detik lagi.

"Merepotkan."

"Eh?" aku sadar telah terhenti, seseorang menahanku. Aku menengok, Rachel terlihat kesal. Aku segera menjauh lalu mengangguk. "Terima kasih, Rachel."

"Cih," Rachel mendengus, tapi kemudian dia menyipitkan mata saat melihatku. Tangannya terulur, aku tidak bisa bergerak saat jari Rachel mencolek bibirku. Dia menjilat jarinya lalu meludah ke samping. "Pahit. Seperti rasa darah iblis."

"I-iblis?"

Rachel tidak bicara lagi karena aku mendengar Maurice memanggilku. "Elakhr."

"I-iya tuan," aku berbalik. Maurice menggendong Gekko seperti seorang pangeran gagah berani, ya, meski dia harusnya yang menjadi sasaran pangeran-pangeran yang menginginkan sang putri.

"Kerja bagus," Maurice tersenyum. "Meski sedikit lagi kau akan menjadi makanan malam hound dog jika bibirmu menodai permaisuriku."

Glekh! Tenggorokanku tercekat. Aku mengangguk keras hingga kepalaku pusing. Maurice berbalik dan menggendong Gekko ke kamarnya. Rachel sendiri seakan kehilangan ketertarikan terhadap darahku, dia pergi begitu saja karena tuannya tidak memberi perintah apapun.

Kini aku berdiri di koridor dengan perut yang tidak lagi bergejolak, rasa takutku sirna sudah. Setelah aku yakin Rachel takkan mengincar darahku lagi, aku bisa lebih tenang. Apalagi kehadiran Maurice pasti bisa membuat Gekko kembali seperti semula.

Aku sebenarnya penasaran ada apa dengan Gekko, tapi jika bukan urusanku, aku tidak berusaha mencari tahu. Biarlah raja vampir itu berbuat sesukanya pada Gekko, lagipula Gekko memang membutuhkannya. Mungkin itulah hakikat pasangan hidup, hehe...

<a/n>

05 11 15

TriGalzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang