"Permisi, saya mau bicara sebentar sama kakak." Aku memberanikan diri ingin menyatakan cinta pada senior kelas tiga. Sudah sejak lama aku menyukainya, dari ia memiliki kekasih, putus dan hingga berapa lagi pacarnya. Aku selalu mencintainya.
Alex nama kakak kelasku itu mengerutkan kening heran melihatku. "Apa kita pernah kenal sebelumnya?"
Aku menatapnya kikuk tak tahu harus berkata apa. Tentu saja ia tidak mengenalku, karena aku termasuk anak yang tidak populer di sekolah.
Setelah beberapa menit kami saling bertatapan, ia memulai pembicaraan. "Baiklah... Apa yang ingin kamu bicarakan?" Ia menutup buku di depannya dan menatapku dengan serius.
"I..tu a..nu sa..ya cin..ta sama kakak sejak lama." Aku mencoba menilai ekspresinya dengan takut-takut namun aku tak tahu arti diamnya.
"Baiklah." Kak Alex kembali membaca bukunya.
"Maksudnya?" Selama ini aku tidak pernah berpacaran atau menyukai seseorang seperti aku menyukainya. Aku juga tidak punya teman untuk tempatku bertanya bagaimana reaksi seseorang saat dinyatakan cinta. Apa ada yang seperti dirinya? Aku tidak tahu arti kata 'baiklah' yang ia katakan.
"Mulai sekarang kita berpacaran," ucapnya tegas.
....
Aku sangat bahagia karena aku dan Kak Alex bisa bersama hingga saat ini. Awalnya aku kira ia hanya bercanda atau merasa kasihan padaku. Ternyata setelah ia lulus SMA dan mulai kuliah kami tetap bertahan. Bahkan saat ini kami akan merayakan hari jadian kami yang kedua.
"Maaf, kak. Aku telat. Tadi Andre gak mau nganterin aku kesini." Sudah duapuluh menit aku telat dari waktu kami janjian, aku sangat merasa bersalah. Seandainya saja aku bisa mengendarai mobil atau motor dan tidak perlu bergantung pada adikku itu.
"Tidak apa-apa." Kak Alex sangat tampan seperti biasanya. Aku sangat beruntung karena ia mau denganku padahal di luar sana banyak perempuan yang tergila-gila padanya.
"Ini kak. Aku sudah buatkan kakak kue tiramissu kesukaan kakak." Aku menyodorkan kotak berwarna cokelat dengan pita pink di hadapannya. Dulu saat tahu ia sangat menyukai kue itu, aku berusaha untuk belajar membuatnya.
"Terimakasih, tapi aku tidak bisa lama-lama." Ia seperti gelisah dan selalu melihat jam tangannya. "Aku hanya mau bilang kalau aku ingin kita putus. Kita sudah tidak bisa bersama."
Kata-katanya sungguh bagai bom meledak yang membakar tulang-tulangku. Seketika tubuhku lemas dan air mata keluar dengan sendirinya. "Kenapa?" ujar lidahku kelu tidak bisa berkata-kata lagi. Apa yang salah? Apa yang telah aku perbuat sampai ia tega.
Kak Alex hanya diam. Aku melihat raut wajahnya yang datar. "Selama dua tahun ini, aku tidak pernah pakai hati sama kamu. Maaf." Ia mengusap wajahnya kasar. "Aku tahu aku jahat. Tapi aku telah mencoba dan tetap tidak bisa...."
"Lex." Seorang perempuan cantik bertubuh langsing menghampiri kami lebih tepatnya menghampiri Kak Alex. "Kamu masih lama?" tanpa basa-basi ia duduk di sebelah Kak Alex dan memegang lengannya dengan santai. "Ini siapa?" Kali ini ia melihatku dengan bingung.
"Saya adek kelasnya kak." Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba berkata seperti itu. "Terima kasih atas bantuan Kak Alex selama ini kepada saya. Saya pergi!"
Aku berlari keluar dan menangis sejadi-jadinya. Kenapa dia begitu tega padaku? Aku tidak pernah pakai hati, kata-kata itu selalu terngiang di telingaku. Selamat tinggal Kak Alex.
....
"Nadine, model terkenal yang bernama Ferin meminta kamu langsung untuk menangani pesta pernikahannya." Dina menatapku antusias. Ya kami berdua adalah pendiri EO yang cukup terkenal di kota ini. Sudah banyak orang-orang terkenal yang kami tangani acaranya dan untung saja selalu berakhir baik.
"Tapi aku sudah menangani banyak acara, Din. Kenapa bukan kamu saja?" Beberapa bulan ini aku cukup kewalahan dengan berbagai acara yang aku tangani.
"Please, Nad. Ini kesempatan besar, EO kita akan semakin terkenal. Aku janji aku juga akan membantu. Bagaimana?"
"Baiklah," ujarku menyerah. Aku tidak akan bisa menang dari Dina. "Kapan kami bisa bertemu?"
"Dia sudah ada di depan bersama calon suaminya." Dina menyengir tanpa dosa yang kusambut dengan pelototan kaget. Bisa-bisanya dia? "Kamu bisa segera menuju ruang rapat."
"Awas kamu," ujarku kesal dan segera pergi menuju ruang rapat. "Selamat siang." Seorang pria dan wanita yang duduk membelakangiku sedang asyik melihat yang aku tidak tahu itu apa.
"Siang," ucap sang wanita ramah. Hingga aku melihat siapa pria yang berada dihadapanku. Tubuhku menjadi kaku dan seolah kenangan masa lalu itu kembali bermunculan di hadapanku.
"Hai, Nadine." Ia menatapku kaget dan berganti dengan raut wajah yang jika tak salah kuartikan adalah penyesalan.
"Selamat siang mbak dan mas. Silahkan duduk." Aku mengabaikan sapaannya dan fokus pada pekerjaanku saat ini. Meskipun perasaanku tidak mungkin berkhianat, masih ada cinta untuknya.
"Kalian saling kenal?" Ferin memandang kami bingung sambil tersenyum.
"Kak Alex senior saya di SMA." Aku merasa risih dengan pandangannya yang selalu menatapku. "Jadi konsep seperti apa yang kalian inginkan untuk pernikahan ini?" Aku rasanya tidak sanggup untuk berada disini namun aku harus berusaha profesional.
....
"Nad, bisa bicara sebentar?" Kak Alex memegang tanganku saat aku hendak masuk ke dalam mobil. Sudah seminggu semenjak pertemuan kami saat itu. Aku hanya mengangguk kaku dan mengikutinya. "Tolong lepas tangan saya, Kak."
"Bagaimana kabar kamu Nad?" Kak Alex menatapku intens.
"Baik. Kakak mau bicara apa denganku?" Aku tidak ingin berlama-lama disini dan membuat ia tahu perasaanku yang sesungguhnya.
"Aku benar-benar minta maaf denganmu. Semua perkataan dan perbuatanku saat itu sangat kasar tapi aku menyesal Nad. Aku..." Aku memotong ucapannya buru-buru.
"Tidak apa-apa, kak. Aku mengerti, aku yang salah. Aku sadar jika saat itu aku terlalu memaksakan kakak. Aku tahu aku memang tidak pantas sama kakak dan sekarang syukurlah kakak mendapatkan Ferin. Dia cantik dan baik." Aku meracau tidak jelas. Inilah kebiasaanku jika gugup.
Entah kenapa Kak Alex menatapku kembali dengan wajah menyesal. "Kamu berubah dan itu karena aku. Maaf."
"Tidak, kak. Aku sebaiknya pulang ya sudah malam."
....
Kak Alex berkali-kali memasuki pusat tubuhku dengan miliknya. "Su..dah kak, cukup," rengekku tidak tahan.
"Kamu yakin?" godanya. Ia memperlambat gerakannya.
"Yang cepat,kak!" rengekku kembali. Aku sudah tidak bisa menghitung lagi entah berapa kali ia memberikan kenikmatan itu padaku.
"Tadi mau lambat sekarang cepat. Maunya yang mana sayang?" Ia mencium bibirku dan beralih memberikan gigitan kecil pada leherku.
"Please.. Kak, yang cepat." Aku menangis memohon kepadanya yang ia balas dengan kecupan di keningku dan iringi gerakannya yang semakin cepat dan keras hingga kami berdua kembali berada di puncak kenikmatan.
"Terimakasih, istriku." Ya, akhirnya setelah membereskan semua kesalahpahaman yang terjadi diantara kami dan ia mau menungguku selama tiga tahun akhirnya kami menikah. Dan Ferin ternyata adalah kakak kandungnya sama seperti wanita yang beberapa tahun lalu menemuinya disaat kami berdua putus. Mereka tiga bersaudara.
"Terimakasih juga, Kak. Aku cinta kakak." Aku semakin mngeratkan pelukanku pada tubuhnya.
"Love you too, baby."