"Manda, ayo buruan. Nanti kita terlambat!! Papa sudah menunggu di luar...!!" teriak mama dari luar.
"Iya sebentar, Ma." Aku melihat sekali lagi pantulan cermin di depanku. Wajahku yang pucat dan mataku yang bengkak karena semalaman menangis telah berhasil ditutupi oleh sapuan makeup minimalis. Aku menghela nafas sekali lagi sebelum akhirnya mengambil clutch dan pergi menemui orangtuaku.
"Kamu cantik sekali sayang," seru mama melihatku yang menggunakan gaun berwarna baby pink dengan panjang gaun sebatas lulut. "Ayo kita berangkat."
Sepanjang perjalanan aku memikirkan kilasan kejadian beberapa tahun belakangan ini yang aku alami bersamanya.
"Manda, ada pegawai baru. Sepertinya aku sudah jatuh cinta." Di satu sore ia menemuiku yang sedang duduk di teras rumah. Ia tersenyum menerawang memikirkan gadis itu sementara aku menatapnya dengan rasa cinta yang tidak terlihat.
"Manda, kami jadian. Ternyata dia juga suka denganku. Senangnya...!!" Ia berteriak girang di balkon kamarnya yang bersebelahan denganku.
"Apa benar kamu mencuri hasil karyanya?? Aku tidak menyangka kamu seperti ini.." Ia melihatku dengan sorot mata kecewa. "Apakah benar ini adalah sahabatku Manda yang pernah aku kenal?"
"Kamu iri karena persahabatan kita tidak seperti dulu?" Ia menarikku ke taman samping rumahnya dan bertanya gusar. "Kita sudah dewasa Manda. Jangan konyol kalau janji kita untuk selalu bersama bisa terwujud. Aku punya orang yang aku cintai sekarang. Jadi jangan pernah menganggu kami dengan cara-cara licik seperti ini." Ia pergi meninggalkanku yang menangis tergugu menatap punggungnya yang semakin menjauh.
"Manda... Manda...!!" tanya papaku lembut.
"Ya?" jawabku reflek terkejut karena sudah termenung. Aku melihat sekeliling dan ternyata kami sudah sampai. "Kita ternyata sudah sampai."
"Ya dan dari tadi kami sudah memanggil kamu." Mamaku menatapku gemas. "Kamu kenapa Manda?"tanyanya khawatir.
" Manda, gak papa. Ayo kita turun."
"Kenapa kamu menjadi jahat seperti ini Manda?" Ia memukul dinding di sampingku geram. "Katakan padaku sekarang, apa yang membuat kamu membenci Clara??... KATAKAN!!" Tidak pernah aku melihat wajahnya yang begitu datar dan dingin seperti ini.
"Ram, kamu salah paham. Aku tidak pernah melakukan semua yang kamu tuduhkan." Aku menangis tergugu menahan perih. "Aku mohon, Ram. Kamu percaya sama aku." Aku memegang tangannya dan disambutnya dengan tepisan kasar.
"Sudah cukup!!!" Sorot matanya begitu dingin. "Menjauhlah Manda, menjauh dari hidup aku dan pergi sejauh-jauhnya. Cinta kamu sungguh menjijikkan...!!" Bagai disambar petir, tubuhku limbung mendengar ucapannya. "Seharusnya sejak awal aku percaya ucapan Clara." Dan ia pun berlalu tanpa melihatku yang terluka.
"Selamat tinggal, cinta," bisikku lirih.
Aku memasuki ballroom hotel mewah yang disulap menjadi seperti taman bunga dengan tema berwarna putih dan pink. Tamu undangan begitu ramai memenuhi seluruh ruangan. Hingga mataku tertuju pada satu titik di atas sana, dengan pakaian yang membuatnya terlihat sungguh tampan, serasi dengan wanita di sebelahnya. Wajahnya selalu dihiasi senyum. Sangat berbeda saat terakhir kali kami bertemu.
"Selamat, Ram." Entah sejak kapan aku telah sampai dihadapannya dengan orangtuaku yang telah terlebih dahulu bersalaman dengannya. Wajahnya menjadi tegang dan datar saat melihatku.
"Terimakasih." Tanpa mau repot-repot melihatku. Ia memeluk wanita di sebelahnya dan mendapat siulan menggoda dari antrian di belakangku.
"Woii.. Pengantin baru yang sabar dong.." Pria dibelakangku tertawa berbicara pada mereka.
Aku menahan air mata yang sedari tadi mau keluar hingga akhirnya aku berlari ke balkon hotel dan mengeluarkan segala kesedihan yang aku rasakan.
"Tidak baik jika wanita secantik kamu menyendiri dan menangis di tempat sepi." Tiba-tiba saja ada seorang pria tampan dengan tubuh yang tinggi dan kulit kecoklatan, berbicara denganku. Ternyata aku tidak sadar jika ada orang lain di balkon ini. "Kamu tidak apa-apa?" Ia memberikanku sapu tangan miliknya.
Aku menatapnya ragu hingga akhirnya ia menerima pemberiannya. "Terimakasih," ucapku tulus.
"Apakah pria yang sedang menikah itu yang membuatmu bersedih seperti ini?" Ia bertanya hati-hati. Aku kembali menatapnya tak tahu harus berbicara apa.
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Lihat ini." Ia melambungkan uang logam itu dan kembali menangkapnya. "Cinta itu seperti uang logam dengan dua mata sisi. Ada sedih, ada juga bahagia. Kamu tidak bisa hanya mengharapkan salah satunya dan kamu juga tidak akan mendapatkan salah satunya. Semua sudah ada porsi tersendiri."
"Aku tidak mengerti." Aku kembali menatap lurus ke depan dan melihat langit yang gelap.
"Saat kamu mencintai seseorang bersiaplah untuk segala kemungkinan yang akan terjadi. Bisa tertawa bisa terluka." Ia semakin mendekat kepadaku. "Menangislah saat ini dan lupakan besok. Masih banyak cinta yang menunggu."
Entah siapa pria dihadapanku ini. Tapi berbicara dengannya membuatku merasa nyaman. Mungkin untuk malam ini aku akan sedikit tertidur nyenyak.