Mataku menerawang menatap langit-langit kamar. Sudah dua tahun lebih akhirnya aku bisa kembali ke kamar ini lagi. Kamar tempatku menghabiskan masa-masa remaja dan berbagai cerita bersama Rama. Aku memutuskan untuk berjalan ke balkon kamarku, yang bersebelahan dengan balkon kamar Rama. Bagaimana kabar Rama sekarang? Apakah dia bahagia dengan Clara? Sudah beberapa menit aku berdiri disini, hingga mataku terpaku menatap sosok di balkon itu. Matanya yang terkejut menatapku berganti sendu hingga akhirnya ia pergi tergesa-gesa dari hadapanku. Ternyata ia masih membenciku, mirisku dalam hati.
"Manda, ada yang mau ketemu?" Mama berteriak dari luar.
"Tunggu sebentar, ma," jawabku heran. Siapa yang mau menemuiku malam-malam begini, bahkan aku tidak memiliki teman disini. Hingga saat aku membuka pintu, sosok itu telah berdiri dihadapanku. Membuatku terkejut dengan jantung berdebar menahan sesak.
"Ram...," ujarku lirih. "Sedang apa kamu disini?"
Ia menatapku dengan nafas yang tidak beraturan seperti orang yang habis berlari. "Bisa kita berbicara sebentar?"
Aku menatapnya ragu dan akhirnya menganggukkan kepala. Kami memutuskan untuk berbicara di taman kompleks rumah ini.
"Kamu apa kabar?" tanyanya setelah kami duduk di kursi taman yang menghadap jalan.
"Baik. Kamu sendiri?"
Lagi-lagi ia menatapku lama hingga ia menghela nafas. "Aku minta maaf sama kamu. Setelah kamu pergi aku merasa kehilangan, tapi aku mencoba untuk hidup normal karena aku sudah mempunyai Clara. Tapi ternyata dia tidak sebaik yang aku pikir. Hanya tiga bulan dan aku semakin tahu sifatnya." Wajahnya menyiratkan kesedihan membuatku reflek memegang tangannya.
"Aku sudah memaafkan kamu Rama. Bahkan tanpa kamu meminta maaf pun, kamu sudah kumaafkan." Aku berusaha tersenyum menenangkannya. Kilasan betapa sakitnya penderitaan yang aku terima karena sikap Rama dulu kembali muncul bergantian, tapi tidak adil rasanya jika aku masih merasa sakit karena itu sudah lama berlalu dan bagaimanapun juga Rama pernah mengukir cerita indah di hariku.
"Wanita seperti apa yang telah aku sakiti ini?" Ia melihatku putus asa. "Seandainya aku tidak bodoh dan percaya dengan ucapan Clara. Seandainya aku sadar lebih cepat jika aku sangat mencintai kamu. Mungkin semua tidak akan begini. Kita akan menikah, punya anak dan hidup bahagia."
"Ram, kamu gak boleh berbicara seperti itu. Semua sudah berlalu. Anggap saja itu menjadi suatu pelajaran ke depan buat kamu. Kamu tidak boleh mengeluh akan takdir yang kamu pilih."
"Amanda, aku tahu ini tidak pantas, tapi aku tidak bisa menahannya lagi. Maukah kamu memulai semuanya kembali dari awal? Maukah kamu membuka hati lagi untukku?" tanyanya hati-hati. Ini adalah momen yang dulu selalu aku impikan, saat Rama menyambut cintaku. Aku menangis dan memeluk Rama tidak tahu harus berkata apa.
....
Sudah seminggu aku disini dan hubunganku dengan Rama semakin membaik seperti saat dulu sebelum datangnya Clara.
"Jadi, coba katakan apa yang ingin kamu katakan kepadaku?" Rama menatapku intens. Kami berada di halaman samping rumahku yang merupakan salah satu tempat favorit kami untuk bersantai.
Aku menggoyang-goyangkan kakiku tanda aku sedang gugup. "Soal... Soal lamaran kamu waktu itu aku terima. Aku juga cinta sama kamu." Aku memejamkan mata malu karena aku tidak pernah menyatakan cinta langsung kepada pria. Jika dulu Rama tahu perasaanku, itu karena Clara yang mengambil buku diaryku dan mengatakannya pada Rama. Hening seketika dan saat aku melihat Rama, aku dikagetkan oleh sosok Ardan yang berdiri bersama mama tak jauh dari tempatku duduk.
"Sebaiknya aku pergi dulu, Manda." Rama meninggalkanku bersama mama. Dan sekarang tinggallah aku dan Ardan disini.
"Tadinya aku kemari dengan harapan kamu bisa menerima lamaranku. Ternyata kamu belum bisa melupakan pria itu. Jadi aku rasa aku sudah tahu jawabannya. Semoga kamu bahagia." Ardan mengecup keningku dan pergi meninggalkanku yang masih terpaku akan sosoknya hingga beberapa menit aku sadar dan berlari mengejarnya yang akan masuk ke mobil.
"Ardan, kamu salah paham. Ini tidak seperti yang kamu pikir." Aku menarik tangannya panik agar ia menatapku. "Aku cinta sama kamu, Ardan. Aku sangat mencintai kamu."
Ia mengusap wajahnya kasar. "Kamu tidak perlu mengasihaniku, Amanda. Aku akan baik-baik saja setelah ini." Ardan menatapku dengan senyum menenangkan walaupun aku tahu ada sorot kecewa di matanya dan ia mengelus rambutku. "Jangan menangis. Kamu berhak bahagia."
Ardan kembali akan masuk ke mobilnya. Tidak.. Aku tidak mau lagi kehilangan orang yang sangat aku cintai. Aku menarik kemeja Ardan, membuatnya koyak. Ia melotot melihatku. "Apa.. Apaan ini...!!!" Belum sempat ia berbicara, aku menciumnya dengan membabi buta yang sebenarnya aku tidak pernah berciuman dan tidak tahu bagaimana rasanya. Aku berharap ciuman ini dapat mewakili perasaanku yang sesungguhnya.
Awalnya ia hanya diam tanpa membalas ciumanku. Aku menatapnya malu dan terluka. Namun tiba-tiba ia kembali menciumku dengan lembut dan entah berapa lama hingga kami sama-sama mengambil nafas. "Kamu tidak pandai berciuman ya?" Ardan tersenyum mengejek yang aku balas dengan wajah merah sambil masih terisak memegang bahunya kuat.
"Aku cinta sama kamu Ardan. Kamu salah paham. Tadi itu, Rama cuma membantuku untuk latihan menjawab lamaran kamu. Percaya sama aku." Wajahku pasti saat ini sudah berantakan akibat tangisanku. Aku menatapnya dengan nada memohon.
Ia melihatku intens dan kemudian menghela nafas. "Harus aku apakan kamu Amanda?" Ardan kembali mengecup bibirku. "Aku percaya sama kamu."
Aku memeluknya erat. "Terima kasih!"
"Sepertinya aku harus segera berbicara kepada Om Ervan untuk mempercepat tanggal pernikahan kita," bisiknya lirih sambil mengusap lembut punggungku.
"Kamu kenal papa?" tanyaku kaget melepaskan pelukan kami. Dari mana Ardan mengenal papa?
Ardan tersenyum jahil padaku. "Kalau kamu ingat dengan seorang anak lelaki berkacamata yang selalu kamu ikuti waktu kecil. Dulu kamu bilang ingin menikah dengan lelaki itu. Tapi gak taunya kamu terjebak friendzone sama tetangga sebelah," cebiknya kesal membuat wajahnya terlihat lucu.
Aku berusaha mengingat kenanganku sewaktu kecil hingga muncul bayangan anak kecil yang selalu menjadi idolaku bahkan aku selalu mengikuti kemanapun dia bermain hingga saat ia pindah membuatku selalu demam selama beberapa minggu.
"Kak Angga....!!" Teriakku senang. Aku kembali memeluknya kencang.
"Ya, dan akhirnya aku memenuhi janji aku dulu untuk menikah sama kamu. Love you Amanda"
"Love you too, my prince"