Bukan istri pilihan(2)

20K 1K 3
                                    

Aku memilih menginap di hotel untuk menenangkan diri setelah kejadian semalam. Saat dokter Reza mengantarkanku pulang, aku kembali menaiki taksi untuk pergi dan berakhir di tempat ini.

Kini saatnya untuk pulang dan mengambil beberapa barangku yang berada di sana.

"Kamu dari mana saja sayang?" Kak Pras membuka pintu dengan raut wajah khawatir. Mukanya terlihat kusut dengan bawah mata yang menggelap. Mungkinkah dia memang benar-benar khawatir? Aku tidak akan pernah percaya.

Aku memutuskan untuk mengabaikannya dan pergi ke kamar. Namun belum sempat aku pergi, ia kembali menarik tanganku. "Dengarkan dulu kakak bicara, Ra," ujarnya dengan nada memohon.

"Aku lelah, kak. Lagipula tidak ada yang perlu dibicarakan." Aku menghela nafas lelah dan menatap matanya dalam. "Kita sama-sama tahu kalau aku gagal dan kamu tahu kan artinya apa?" Tanpa mendengarkannya bicara, aku menarik tanganku dan pergi dari hadapannya.

"Apa-apaan ini?! Kamu mau kemana?" Kak Pras berteriak marah melihatku memasukkan pakaianku ke dalam koper. "Jawab aku, Naura!!" Ia melihatku dingin dan menarik tubuhku menghadapnya.

"Tenang saja, kak. Aku tidak akan bilang pada siapapun mengenai hubungan kakak dengan wanita itu. Kalau perlu aku akan bilang kalau aku ingin bercerai karena aku berselingkuh." Aku membalas tatapan matanya dengan sama dinginnya. Dan kembali memasukkan pakaianku.

"Siapa bilang aku mau bercerai sayang?" tanyanya geram. "Jangan pernah kamu ucapkan kata-kata itu lagi karena aku tidak akan pernah membiarkannya. Kamu milik aku...Selamanya tetap begitu!!"

Bagaimana bisa ada pria yang tidak punya hati seperti dirinya. "Kenapa kamu begitu jahat?!" Kali ini aku tidak mampu menahan tangisku. Dan wajahnya berubah menjadi tegang dan terlihat menyesal. "Bukan aku yang memaksakan pernikahan ini!! Tapi kenapa hanya aku yang menderita. Jawaab!!" Aku memukul tubuhnya berkali-kali. "Selama ini aku telah berusaha untuk membuatmu mencintaiku dan saat kupikir telah berhasil, aku harus dijatuhkan lagi oleh kenyataan bahwa kamu tidak akan pernah berubah karena kamu tidak cukup berusaha untuk membiarkan hatimu terbuka padaku." Aku mengusap air mataku kasar.

"Maaf, Naura. Maafkan kakak." Kak Pras memelukku erat dan berkali-kali mencium keningku. "Kakak tahu kakak salah. Maafkan kakak."

Tiba-tiba saja ponsel Kak Pras berbunyi dan aku lihat tubuhnya menegang saat membaca nama penelepon. "Tunggu sebentar ya, sayang." Ia memilih berbicara keluar dan aku sudah tahu siapa penelepon itu.

"Sayang, maaf... Kakak harus pergi. Nanti kita bicarakan lagi."

"Pergilah kemana pun yang kakak mau. Tapi jangan sedih kalau apa yang kakak anggap tidak penting sekarang, akan sangat kakak rindukan nantinya saat dia sudah tidak ada."

"Percaya sama kakak, Ra. Mungkin awalnya kakak merasa kembali ke masa lalu saat bertemu dengan Sesil. Kakak merasa rindu dan saat ia mengatakan ia juga mencintai kakak, kakak merasa senang sesaat. Tapi kakak selalu terbayang wajah kamu saat bersamanya dan melihat kamu yang menghilang karena kesalahpahaman itu, kakak seperti orang gila dan kakak sadar bahwa selama ini kakak sangat mencintai kamu. Kakak bahkan tidak bisa hidup tanpa kamu. Hanya kamu!!" Kak Pras kembali meyakinkanku dan memohon pengertianku karena Sesil yang saat ini sedang sakit keras dan sangat membutuhkannya. "Kakak janji kita akan membicarakannya lagi nanti. Kakak mohon sayang??" Ia mencium bibirku dengan lembut dan kembali pergi.

....

"Hei, sepertinya aku pernah bertemu denganmu." Sesil menyapaku saat aku akan menunggu panggilan untuk cek kandungan di rumah sakit.

"Ya, aku yang waktu itu salah alamat," ucapku tanpa banyak bicara lagi.

"Oh iya, aku ingat," sapanya riang. "Kita belum berkenalan, namaku Sesil. Kalau kamu?" Ia menyodorkan tangannya padaku sambil tersenyum ramah.

Belum sempat aku berbicara. Tiba-tiba saja Kak Pras datang sambil membawa obat milik Sesil. Ia kembali kaget melihatku yang aku balas tatapan pura-pura tidak mengenalnya. "Bu Naura," seru seorang perawat memanggil namaku.

"Sepertinya nama saya sudah dipanggil. Saya duluan ya." Aku mengabaikan Kak Pras dan berjalan ke ruang praktek dokter Reza. Hanya kandunganku yang membuatku punya harapan untuk bertahan.

"Hei, ibu cantik. Jadi bagaimana keadaan adik bayi di dalam sana?" tanya Dokter Reza ramah. Ya, sejak saat ia mengantarkanku pulang malam itu kami menjadi cukup akrab. Ia sering membantuku karena ia tahu kondisi rumah tanggaku. Bisa dibilang dia adalah teman curhatku satu-satunya saat ini. "Kita periksa dulu ya."

"Sudah berapa bulan kandungan istri saya dok?" Tiba-tiba saja Kak Pras muncul di ruang periksa sambil menatap kami berdua dingin.

Kak Pras dan Dokter Reza kembali berbincang-bincang yang aku tidak tahu apa karena aku sedang mengganti bajuku kembali. Dan ia mengajakku pulang dengan wajah datarnya

"Dimana Sesil?" tanyaku bingung karena yang aku tahu ia datang bersama Sesil tadi.

Ia hanya diam dan menarikku ke mobil. "Aku bisa pulang sendiri," tegasku padanya sambil menarik tanganku dari genggamannya. "Selama ini aku juga bisa mengurus diriku sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan sekarang pun aku tetap bisa sendiri."

Ia meremas rambutnya gemas. "Kenapa kamu tidak pernah mengatakan jika kamu sedang mengandung?" Kak Pras kembali memegang bahuku dan menatapku lembut. "Sudah berapa lama kamu tahu?"

"Saat usia kandunganku beberapa minggu. Dan kakak tidak perlu bertanya kenapa aku tidak memberitahukannya, apa selama ini kakak punya waktu buatku?" Aku kembali melihat raut wajah penyesalan di matanya. Tapi tak kubiarkan hal itu mengangguku. Aku harus kuat untuk anakku.

"Sayang, maafkan kakak. Kakak memang tidak..."

Aku memotong perkataannya dan melepas tangannya di bahuku kasar. "Jangan perdulikan aku. Kamu urus saja orang yang lebih membutuhkan kamu. Karena kami sudah belajar dengan ketidak pedulianmu selama ini dan aku juga masih bisa mengurus diriku dan bayiku sendiri. Toh, selama ini aku juga mampu!!" Aku masuk ke dalam taksi tanpa memperdulikan panggilannya lagi.

....

"Za, terima kasih ya. Aku tidak tahu harus bagaimana bila kamu tidak membantuku." Reza mengantarkanku pulang ke apartemen karena tadi aku lupa membawa dompet saat aku membeli keperluan harian. Kebetulan kami bertemu di sana.

"Santai aja, Ra. Aku pasti akan selalu membantumu," ucapnya lembut. Reza sebenarnya cukup tampan dan sangat baik namun entah kenapa sampai saat ini ia masih betah sendiri.

"Pulang sama siapa?" Kak Pras duduk di pantry saat aku pulang. Ya, aku masih berada di apartemen ini karena aku tidak mau membuat orang tua dan mertuaku sedih melihat hubungan kami. Kak Pras juga sudah berubah. Ia selalu pulang cepat dan semakin perhatian padaku meskipun kutanggapi dengan dingin. Aku masih belum bisa memaafkannya.

"Sama Reza." Aku memasukkan buah-buahan dan sayuran yang aku beli tadi di kulkas.

"Dokter itu lagi?!" Ia berdiri di dekatku dan dengan geram meminta penjelasan.

"Tadi aku lupa membawa dompet. Dan kebetulan ada dia di sana." Aku masih sibuk membereskan barang belanjaanku tanpa melihatnya.

"Kenapa tidak menelepon kakak?!"

Aku menghela nafas lelah mendengarnya berbicara, seperti anak kecil yang suka menuntut. "Kakak cemburu?" tanyaku asal.

"Tentu sajaa!!" Ia berkata tegas. "Aku tidak suka kamu dengan pria lain. Kamu cuma milik kakak!" Entah kenapa semakin hari ia semakin bersikap posesif padaku.

Aku tersenyum sinis padanya. "Apa yang kakak rasakan sekarang belum seberapa dengan apa yang aku rasakan sebelumnya, kak." Aku menatap matanya tajam dan mendekatkan wajahku padanya. Bukan maksudku untuk membalasnya namun entah kenapa keadaannya mendukung. "Bagaimana kalau aku seharian berduaan dengan Reza di apartemennya?" bisikku padanya.

Kak Pras memelukku erat dari belakang karena mengingat kandunganku yang semakin membesar. "Tidak akan kakak biarkan."

"Tapi aku mulai mencintainya," ujarku lirih. Dan pelukannya melemah dan terlepas dariku.







Rainbow(Oneshoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang