Daniel Pov
Akhirnya mereka pergi juga dari hidupku. Sudah bertahun tahun aku menantikan ini. Sudah begitu lama aku menunggu agar bisa bersama Eva tanpa diganggu oleh mereka. Tapi entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Tidak, mungkin ini hanya karena perkataan nenek waktu itu.
"Dan.. Daniel, Sayaang... " Aku cukup terkejut saat mendengar namaku dipanggil oleh wanita cantik disebelahku."Kamu kenapa sih sayang? Kamu gak senang dengan persiapan pernikahan kita?" Eva memegang tanganku manja karena melihatku yang melamun.
"Mana mungkin aku tidak bahagia, Eva. Cuma kamu sumber kebahagiaanku. Hanya tinggal tiga bulan lagi dan selamanya kita akan bersama." Aku memeluknya dengan sayang. Sudah sejauh ini perjuangan kami, mana mungkin aku menjadi ragu. Aku terus meyakinkan diriku walau entah kenapa tatapan mata terakhir wanita itu selalu terlintas dipikiranku.
"Dan, aku bosan. Kita pergi belanja yuk. Aku lagi ngincar tas yang ada disana." Eva sangat hobi belanja berbeda dengan wanita itu yang sangat sederhana. Meskipun begitu dia tidak kalah cantik dengan wanita diluar sana. Sial, apa yang aku pikirkan.
"Aku lagi banyak kerjaan, Va. Nanti siang aku ada pertemuan dengan client di luar." Eva memanyunkan bibirnya kesal. "Jangan cemberut gitu dong sayang. Ini, kamu pegang kartu kredit unlimited ini. Kamu bisa belanja sepuasnya." Ekspresinya seketika langsung berubah bahagia.
"Makasih sayang" Eva memelukku. "Ya udah, aku pergi dulu ya sayang."
***
"Terima kasih atas kerjasama ini, Pak Daniel."
"Sama-sama, Pak Adi."
Kerjasama kali ini berjalan dengan lancar dan singkat. Lebih baik aku pergi ke apartemen Eva untuk menghilangkan rasa bosanku di rumah. Namun sepertinya Eva belum pulang. Apartemennya terlihat sepi. Aku menekan kode pintu apartemen ini dan memilih untuk menunggu di dalam.
"Kamu tinggalkan saja dia. Dan pilihlah aku." Aku mendengar suara lelaki dari kamar Eva yang membuatku penasaran.
"Dia kaya, Ndre. Dan dia bisa memenuhi kebutuhan aku." Aku sangat hafal suara itu. Itu adalah suara Eva. Aku memilih berdiri di depan pintu kamarnya untuk mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan.
"Kalau begitu mengapa kamu selalu menghubungiku dan memintaku untuk melakukan hubungan suami istri denganmu, "tanya lelaki itu dengan suara sedikit keras.
"Jangan marah sayang. Aku hanya mencintai kamu. Aku suka setiap kali kamu melakukan itu denganku. Tapi aku juga butuh hartanya. Aku janji, setelah satu tahun menikah dengannya, aku akan meminta cerai dan mengikuti kamu, Ndre. Please, sayang." Sial, kenapa aku bisa tertipu dengan perempuan jalang seperti dia. Aku membuka pintu itu dengan keras. Dan pemandangan di depanku membuatku semakin mual dan jijik. Eva sedang berpelukan dengan lelaki lain tanpa menggunakan pakaian. Mereka sangat terkejut dan Eva terlihat salah tingkah.
"Kau, jangan pernah menampakkan dirimu lagi dihadapanku kalau mau selamat, "ucapku tajam dan berlalu meninggalkannya yang berteriak memanggil namaku.
Bodoh, kenapa bisa aku tertipu dengan perempuan seperti dia. Sepanjang jalan, aku merutuki kebodohanku. Hanya demi perempuan seperti itu, aku sampai buta hingga meninggalkan keluargaku.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi klakson panjang dan semuanya menjadi gelap.
***
"Kamu sudah sadar, Dan." Itu seperti suara nenek, namun saat pertama kali membuka mata yang kulihat justru tatapan khawatir wanita itu.
"Nek, sebaiknya Clara pergi saja. Mungkin Daniel merasa tidak nyaman." Entah kenapa baru kusadari sekarang, tatapan matanya yang seperti itu membuatku merasa bersalah.
"Baiklah. Kamu bisa pulang dengan Pak Ujang. Lagipula kasihan Dara, sudah berhari-hari waktu kamu lebih banyak dihabiskan di rumah sakit."
Tidak, jangan pergi. Tetaplah disini. Namun lidahku masih kelu untuk berbicara.
"Selama kamu sakit, Clara yang merawatmu karena nenek sudah terlalu tua untuk melakukan itu semua," ujar nenek tiba-tiba seakan tau apa yang sedang aku pikirkan. "Tapi tadi kamu dengar sendiri kan, dia tidak akan lagi muncul di hadapanmu. Jadi kamu tak perlu khawatir."
"Nek, aku lelah. Aku ingin beristirahat." Semakin mendengar nama Clara, aku semakin diliputi perasaan bersalah dan menyesal. Seandainya aku tidak terlalu buta karena cinta, seandainya aku mau menerima keadaan, maka aku pasti akan bahagia saat ini karena Clara sebenarnya adalah orang yang sangat mudah dicintai. Clara, maafkan aku, ujarku menyesal.