Great hall, 10 menit sesudah makan malam.
Daviss mengumpat, ia lagi-lagi tak kebagian makan malam dan bagusnya ini karena menghindari si Chryssan bodoh itu, well sebenarnya itu bukan keinginannya, tapi justru gadis itu yang memintanya agar tak pernah memunculkan diri di depannya.
Apa masalahnya? Hell, bahkan Daviss rela mendekam di ruang sidang gara-gara tindakan brutalnya dua hari lalu di ruang olah raga. Membuat hampir setengah murid asrama ketakutan setiap kali berpapasan dengannya. Sial, mereka pikir dia monster?
God, dan kalian tahu? Si darah lumpur itu bukannya berterimakasih padanya, justru malah memberikan tamparan di pipi.
"Mate, aku mencarimu dari tadi." Theo mengambil tempat di samping Daviss, dia juga memakan puding yang ada di meja. "Kau menghindarinya lagi?"
Daviss menoleh dengan dahi berkerut, "Siapa maksudmu?"
"Ayolah mate, terakhir kali kau melakukan hal ini untuk menghindari si Chryssan dan berujung sembelit karena setiap hari makan puding dan salad."
"Aku tak menghindarinya, sama sekali tidak!"
"Lalu?"
"Aku hanya malas makan satu meja dengan orang-orang sok tahu!"
Theo memutar otaknya, apa yang harus ia lakukan kali ini? Sial, rencana untuk membuat Daviss cemburu malah jadi berantakan. Dan kemarin Theo pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Zimer, dan kalian tahu? Bocah itu sangat menyedihkan, mengalami patah tulang bahu dan juga retak tulang rusuk bagian kiri.
Satu hal yang Theo ketahui sekarang adalah, 'mengompori Daviss berarti siap mati!' err... Theo memegangi lehernya ngeri, bagaimana kalau Daviss tahu kalau dirinya berbohong tentang Reina yang sudah dilecehkan oleh Zimer? Bloody hell, Theo bisa patah tulang leher.
"C'mon, sebentar lagi ada kelas Doing Drama!" Daviss bangkit setelah menghabiskan 4 mangkuk puding rasa melon kesukaannya.
*
*
*
Reina mendekap beberapa buku tebal di dadanya, ia mendengus kesal saat ingin masuk ke dalam kelas namun justru dirinya berpapasan dengan si pirang bodoh itu.
"Pagi, Reina." Theo menyapanya.
Mau tak mau Reina berhenti dan membalas sapaan itu dengan senyum kikuk. "Pagi, Theo." kemudian dia masuk, meninggalkan si pirang yang terlihat kesal karena tak disapa juga. Apa masalahnya? Toh dari dulu pun mereka tak saling bertegur sapa kan? Kenapa dia harus marah?
Daviss berbalik menatap Theo dengan death glare miliknya. "Gosh, sejak kapan kalian saling memanggil nama depan?!"
Theo mengangkat bahunya, "Memangnya salah kalau kami saling memanggil nama depan masing-masing?!"
"Penghianat!" maki Daviss kemudian ia pergi ke dalam kelas dengan perasaan dongkol.
Daviss mengambil tempat duduk di meja paling belakang, sedangkan Reina duduk di meja paling depan dengan dua pasangan aneh itu, Emily Simon dan Tom busuk Wignel.
Sejak kejadian di UKS beberapa hari lalu, gadis lumpur itu sengaja menghindarinya, tak mau bicara padanya, bahkan tak mau memandangnya. Yang lebih menyakitkan saat gadis itu berteriak padanya, 'Brengsek, kau memang brengsek Abran! Jangan kau pikir aku gadis gampangan seperti para fans girl tololmu di luar sana yang mau saja membuka baju dan berbaring di ranjangmu! Aku benci padamu dan now, jangan pernah lagi muncul di depanku!'
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated to Love You
JugendliteraturDaviss terjangkit penyakit aneh, dia merasa lidahnya iritasi setiap kali tidak bertengkar dengan Reina, gadis berambut ikal itu. Matanya terasa panas setiap kali melihat Reina dekat dengan Tom Wignel. Dadanya sering berdenyut nyeri setiap kali melih...