well, hai... sorry apdetnya agak lama, dan ini pun nggak tau gimana jadinya, mungkin ancur atau nggak enak dibaca. entahlah... maklum aku punya banyak keterbatasan ide wkwkw. Buat yang penasaran dengan Daviss yang bertingkah aneh selama dua chapter ini, this part is the answer.
*
*
*
Jika ada perumpamaan yang tepat untuk seorang Theo, maka komporlah perumpamaan itu. Kenapa? Tentu saja karena dia benar-benar sebuah kompor yang panas dan Daviss terlalu bodoh mau bermain di dekat kompor tersebut. Dan di pojok perpustakaan ini Theo sedang mengetikkan sesuatu pada layar komputernya dengan tawa yang sesekali membeludak, membuat seisi perpus menarik sebelah alis mereka untuk mewakili rasa terganggu bercampur penasaran.Theo tak bisa melupakan betapa konyolnya Daviss, sahabatnya itu terlihat bak seekor itik yang selalu mengekor pada induknya. Ia segera mengetikkan kembali apa yang bisa diingatnya sebelum terbang seperti kupu-kupu dan tak kembali lagi.
Kalian tahu? Seorang Romeo tak sepintar dan sepemberani di film, dan Daviss adalah seorang Romeo yang bodoh dan juga sangat pengecut sekali. Dia berpikir bahwa dirinya sedang terjangkit penyakit aneh hanya karena dadanya sering berdebar keras ketika bertemu dengan seorang perempuan yang ia anggap musuh sepanjang hidupnya. Dan seorang Theodore sahabat Daviss adalah orang yang sangat baik dan sangat pintar sekali, dia memiliki segudang cara untuk menyadarkan Daviss bahwa ia tidaklah terjangkit penyakit aneh atau kutukan hati seperti dugaannya selama ini, dia hanyalah laki-laki bodoh yang tidak bisa membaca perasaannya sendiri, kalau sebenarnya dia sedang jatuh cinta.
Keisengan ini bermula saat Daviss terantuk batu yang lumayan besar hingga membuat dirinya dilarikan ke rumah sakit.
"Mate-"
"Hn?" Daviss menyahut dengan malas, bahkan matanya tak melirik sedikit pun sosok sahabat sialannya tersebut.
"Aku punya permainan."
"Dan aku tak tertarik." sahutnya cepat.
"Yeah... aku sudah menduganya. Kau takut hahaha..." Theo membuat suara tawanya menjadi semenjijikan mungkin karena dia tau, seorang Daviss tidak suka diremehkan bahkan dianggap pengecut walau kenyataannya dia memanglah pecundang.
"Mate, sahabat terbaikku, diamlah. Telingaku sangat terganggu mendengar tawa menyebalkanmu itu!"
Lihat, dia mulai terpancing.
"Fine, hahaha tapi aku sangat tidak percaya kalau seorang Abran takut bermain denganku."
"Aku tak takut, Theo. Aku hanya tidak mau! Semua permainanmu konyol dan membawa petaka."
"Tandanya kau memang tak berani. Oh ini akan menjadi headline... 'SEORANG ABRAN YANG PALING DIPUJA TAKUT DIKALAHKAN OLEH SEORANG THEODORE' mungkin ini akan menjadi berita panas untuk satu bulan kedepan."
"Kalau kau berani membuat berita itu maka tamatlah riwayatmu!"
"Maka buktikan kalau kau tak takut."
Daviss terlihat jengkel bukan main, jika ini sebuah film animasi maka sudah ada empat sudut siku-siku disetiap pelipisnya dan juga kepala yang terbakar api karena saking murkanya.
"Fine! Kau mau kita main apa?"
Demi kancut profesor Harmer, Daviss tak suka dengan seringai jelek Theo. "Kita main drama."
"WHAT? Are you mad, Theo?"
God, sahabatku benar-benar gila!
"No, kita benar-benar akan memainkan sebuah drama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated to Love You
Teen FictionDaviss terjangkit penyakit aneh, dia merasa lidahnya iritasi setiap kali tidak bertengkar dengan Reina, gadis berambut ikal itu. Matanya terasa panas setiap kali melihat Reina dekat dengan Tom Wignel. Dadanya sering berdenyut nyeri setiap kali melih...