Angin dingin di penghujung Desember ini mendobarak-dobrak jendela, menyerbu tubuh pemuda tanpa atasan di sudut sofa. Biar, biar saja kebekuan ini mengoyak kulitnya, menembus hingga membekukan dadanya yang masih terasa meletup-letup tanpa sebab. Benarkah tanpa sebab? Ada, tapi sikap arogansinya tak mau mengakui.
BRAK!
Theo mendobrak pintu yang tak dikunci dengan kakinya, kemudian ia menatap ngeri ruang kamar yang sudah luluh lantak seperti habis terkena bom nuklir. "Mate, kau mau mati membeku?" ia berceloteh seraya melangkah mendekat.
Bukan yang pertama kali memang, tapi tetap saja Theo merasa ngeri melihat kebungkaman sahabatnya tersebut. Seingatnya, terakhir kali ia melihat kamar Daviss hancur seperti ini saat sahabatnya itu diterpa cemburu pada Tom, mengira keturunan Wignel itu mendekati Chryssan.
"Tolong..." gumaman rendah itu nyaris tak terdengar oleh Theo, namun telunjuk yang mengarah pada sebuah lemari cukup memberi isyarat untuknya.
Theo mengambil baju hangat serta mantel dari dalam sana, berjalan mendekat dan duduk di hadapan Daviss yang masih menunduk. "Apa yang terjadi?" ia bertanya seraya menyerahkan baju hangat itu, membantu memakaikannya di tubuh keturunan Abran tersebut.
Apa yang terjadi? Daviss masih ingat bagaimana suara seseorang menyerukan namanya seraya menggedor-gedor pintu kamarnya. Tentu Daviss tau kalau itu Chryssan karena seorang Theodore tidak akan sudi membuat tangannya lecet demi mengetuk pintu kamar orang lain.
"Dav, ada seseorang yang datang." Saat itu Hanna mengingatkannya.
Ya, Hanna datang untuk mengiriminya makanan karena sebelumnya Daviss mengirim pesan singkat kalau dia lapar.
"Biarkan saja." sahutnya datar, dia benar-benar masih sebal dengan gadis semak itu. Bagaimana bisa dia berakting berpura-pura peduli padanya, ingin membantunya. Cih, benar-benar menyebalkan! Kenapa sejak awal dia tak pernah bilang kalau dia sudah memiliki kekasih? Membuat dirinya seperti orang bodoh saja, mencemaskan seseorang yang sedang asik berlibur dengan kekasihnya di luar sana.
"Dav, apa tidak dibuka saja? mungkin orang itu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting padamu." Hanna kembali berceloteh lagi.
"AKU BILANG BIARKAN SAJA, BODOH!"
Gadis itu terkatup, tak berani membantah pemuda di sampingnya. "Baiklah."
Suara pintu di luar sana terdengar terbuka disusul dengan suara seorang gadis yang menggumamkan namanya, 'Abran, kau ada di dalam?'
"Dav..." Hanna berdiri hendak menemui seseorang di luar sana namun pemuda pirang itu justru menariknya hingga jatuh dipangkuannya.
CKLEK! Dan tepat dengan suara pintu kamarnya yang dibuka ia langsung membungkam mulut Hanna dengan bibirnya. Tak ada lumatan, hanya saling menempel dengan ketat untuk menahan rasa sakit di kakinya yang mulai menjalar karena menahan berat tubuh Hanna.
"Abra-" Daviss mendengarnya, suara Chryssan yang tercekat.
Biar saja, biar gadis itu tahu bagaimana rasanya kesakitan, sama seperti dirinya saat melihat gadis lumpur itu dipeluk seorang pemuda di depan gerbang dengan ciuman hangat di keningnya.
Saat terdengar pintu kamarnya tertutup kembali, Daviss segera mendorong tubuh Hanna ke sisi sofa yang lain, mengerang kesal bercampur nyeri di sekujur tubuhnya.
"Apa maksudnya semua ini?!" Hanna berdiri di hadapannya dengan wajah murka.
"Tidak ada."
"Kau sengaja melakukannya untuk membuat miss Chryssan cemburu? Begitukah Daviss?"
"Pergilah, Hanna." pemuda pirang ini bergumam malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated to Love You
Fiksi RemajaDaviss terjangkit penyakit aneh, dia merasa lidahnya iritasi setiap kali tidak bertengkar dengan Reina, gadis berambut ikal itu. Matanya terasa panas setiap kali melihat Reina dekat dengan Tom Wignel. Dadanya sering berdenyut nyeri setiap kali melih...