6. Sebuah Buah Pahit

7K 173 5
                                    

Tak perlu lama-lama, pernikahan ini bagai menyimpan bungkusan bangkai.

Dua tiga malam aku mendiamkannya. Nama Fad bertalu-talu di kepala. Siapakah Fad? Mengapa nama itu tak pernah ada di beberapa waktu lalu saat aku mencari tahu tentang Santy? Apa yang ia sembunyikan?

Malam ini aku menemukan jawabannya.

"Maafkan San, Mas terlalu kejam untuk kulupakan dari hatiku."

Sebuah pesan tersimpan di kotak terkirim di hapenya. Sebuah nomor tanpa nama.

Sebagai seorang lelaki tentu saja hati ini serasa diinjak. Bahkan oleh wanita yang kucintai. Siapa bilang laki-laki tak bisa merasa luka? Pedihnya tentu sama dengan wanita. Bukankah hati itu isinya sama saja?

Kemarahan dalam diri tak bisa kubendung. Santy menunduk fi ujung kasur. Baju tidur tak berkancing di badannya pun tak mampu membuatku bergairah.

"Jadi ... benarkah ia kekasihmu? Dan sekarang ..."

"Dia sudah menikah Mas. Tak ada yang perlu dirisaukan. Sekarang aku sudah menjadi istri Mas."

"Benar kau istriku, tapi hatimu tidak."

"Itu tak benar, Mas ... lihat aku!" Santy memaksaku menatap kedua matanya.

"Tak ada cinta di sana. Jangan memaksakan diri, Santy."

"Demi Allah, Mas. Kita sudah menjadi satu, bisakah membantuku melupakan masa lalu?"

"Sudah kucoba, Santy. Ingat ... kau yang membawanya masuk. Naik ke ranjang kita. Tepat di malam pertama. Itu menjatuhkan harga diriku. Dalam benakmu, kau seolah sedang bercinta dengannya. Lelaki yang bernama Fad itu ... dan SMS itu adalah bukti kau masih sangat mencintainya."

"Tapi Mas, itu tak sengaja ..."

"Cukup, Santy. Alam bawah sadarmu menginginkannya. Menginginkan lelaki yang telah menjadi suami orang."

Seketika saja wajahnya memerah. Aku tahu apa yang kukatakan itu benar. Santy menerima ajakan menikah karena sebuah pelarian. Itu menyakitkan buatku.

"Mas, maafin aku ..."

"Aku memaafkanmu, tapi tidak dengan pernikahan ini."

"Mas!"

"Jangan membentakku, Santy ..."

"Jangan menyudahi apa yang Mas mulai!" Santy menggenggam kuat kedua tanganku.

"Kamu yang harus menyudahinya, Santy. Ini pernikahan yang salah. Apalagi, aku tahu Fad pun masih mengharapkanmu. Ia menunggumu. Kalian berdua sudah gila dan kelewat batas. Jangan pikir aku tak tahu apa yang terjadi belakangan ini."

Santy tersentak. Genggamannya melonggar.

"Apa maksud Mas?"

"Sudahlah, Santy. Istri Fad pun memilih melepaskan suaminya. Kau bebas. Kau masih muda, raihlah cintamu yang sesungguhnya. Aku tak ingin ranjang ini ternoda lagi oleh lelaki yang berdiam di hatimu." Aku melepaskan kedua tangannya.

"Pergilah. Kau bebas."

"Mas!"

"Aku memaafkanmu."

"Mas!"

Santy memelukku dari belakang. Pelukannya erat. Kupegang tangannya yang mendekap di dada. Dingin.

"Kita takkan bisa bertahan bila terus di situasi ini. Aku laki-laki. Dan sangat tidak ingin digantikan dengan pria lain di dalam hati wanita yang kucintai. Pergilah."

Lady LaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang