12. Just Say It

1.2K 85 8
                                    

Bayu memperhatikan gerak-gerik Ladea dari kejauhan. Ladea tampak lebih mempesona dengan blazer merah menyala yang ia kenakan. Ladea sedang berbicara dengan beberapa staf di lokasi. Bayu sengaja menunggunya sejak setengah jam yang lalu. Ia bertekad harus berhasil membawa Ladea untuk makan siang.

"Sudah?"

"Apanya, Ladea?"

"Lama-lama matamu bisa meninggalkan tempatnya kalau terus melihatku seperti itu. Ada apa ke sini? Bukankah hari ini tak ada jadwal?"

"Aku sengaja menjemputmu. Makan siang."

Ladea tersenyum. Sebuah bungkusan di tangannya.

"Maaf, saya bawa bekal."

Kening Bayu berkerut. Hari gini masih ada yang bawa bekal ke kantor?

"Saya tinggal dulu ya." Ladea berbalik dan meninggalkan Bayu tanpa basa-basi.

"Tunggu."

Bayu menarik tangan Ladea dan mengambil paksa bungkusan di tangannya.

"Hei!"

Bayu tersenyum licik.

"Mas ... mas ..." Seorang laki-laki yang baru saja menyapu wajahnya dengan handuk kecil menoleh.

"Saya?" tanyanya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiada sesiapa.

"Ya. Sini!"

Bayu menyerahkan bungkusan itu ke lelaki yang buru-buru menghampiri.

"Kamu pasti belum makan siang. Ini untukmu."

Lelaki itu mengucapkan terima kasih. Sementara Ladea menatap Bayu dengan tatapan bingung.

"Apa-apaan?"

"Ayo kita makan siang. Sudah lewat jam satu ini."

Ladea

Kurang kerjaan atau memang tak ada kerjaan sih pria ini. Kalau saja cacing-cacing di perutku tidak sedang konser kelaparan pastilah aku tidak di tempat ini.

"Kenapa hanya dilihat? Bukannya kamu lapar?"

Aku memaksakan bibirku untuk senyum.

"Masih panas."

Bayu tak berkedip.

"Kamu kenapa sih?"

"Aku hanya sedang menikmati wajahmu. Kamu cantik."

"Rasanya kamu terus menerus mengulang kata-kata itu. Kamu cantik, kamu cantik, kamu cantik. Ya oke, saya memang cantik. Tapi pandanganmu itu buat saya risi."

Bayu terkekeh.

"Mau gimana lagi, memang hanya kata-kata itu yang memenuhi kepalaku. Eh ada lagi sih, tapi ... Ah sudahlah. Makanlah dulu. Sudah tak begitu panas."

Aku menarik piring mendekat. Mau tak mau harus makan juga kan.

"Aku ingin menjadi kekasihmu, Ladea."

"Aku tidak, Bayu."

Bayu tersenyum. Ya dia memang lelaki ganteng dan manis. Tentu saja.

"Ralat. Aku tak mau jadi kekasihmu. Aku mau menjadi ayah buat Shasya."

Oke cukup. Ini membuat selera makanku tiba-tiba kacau.

"Pak Bayu ..."

"Bayu."

"Ya, Bayu. Kamu baru saja mengenal saya. Saya bahkan tak mengenal dirimu. Ini ... ini rasanya ... Tak wajar bila tiba-tiba pak Bayu berbicara soal ..."

"Ssst. Siapa bilang tak wajar. Ini hal yang biasa. Seorang laki-laki bertemu wanita yang ia puja dan membuatnya jatuh hati. Yang tak wajar adalah ... seusia kita ngobrolin pacaran ... pantasnya kita bicara soal pernikahan. Menjadi ayah buat putrimu bukan masalah kan?!"

Aku mendelik mendengar kata-katanya.

"Pak Bayu!"

"Bayu ..."

Aku menghela napas. "Saya tidak ingin menikah. Kalau pun akan, saya tidak memilih kamu."

"Kenapa?" Bayu memandang heran.

"Saya tidak bisa."

"Karena trauma? Aku tak seperti lelaki yang meninggalkanmu dulu."

"Kamu tidak tahu apa-apa, Bayu. Kamu salah."

Ini bukan tentang trauma ... Ini tentang ...

"Jangan pernah kau cari ayah Shasya, Ladea. Jangan. Kalau pun satu hari dunia mempertemukanmu dengannya, jangan pernah kau jatuh padanya. Lelaki egois sepertinya tak pantas untuk wanita mana pun."

"Aku tidak salah karena telah mencintaimu. Tidak butuh waktu lama untuk mengenalmu."

Aku menggelengkan kepala. "Sungguh, Bayu ... kamu tak mengenalku."

"Aku tak peduli masa lalumu. Aku benar-benar menginginkanmu, Ladea."

Cukup.

"Sudah, saya mau kembali ke lokasi. Antarkan saya."

Aku bangkit dan berjalan lebih dulu ke parkiran.

***

Bayu

"Ladea, tunggu!"

Ladea tidak mempedulikan teriakanku. Aku berjalan cepat mengejarnya.
Wanita itu sedang berdiri menyender di mobil.

"Ladea."

"Antarkan saya. Ini sudah lewat jam makan siang. Kita sudah menghabiskan waktu sia-sia."

"Oke, masuklah."

Selama beberapa menit mobil berjalan, kami sama-sama bungkam. Entah apa yang dia pikirkan.

"Maaf, Bayu ... saya ..."

"Sudah. Tak apa. Mungkin kamu kaget karena aku langsung tembak. Tapi semua ini benar, aku jatuh hati padamu."

"Bukan ... ini bukan tentang perasaanmu. Kamu bilang tak peduli masa laluku. Tapi aku peduli dengan masa lalumu."

Masa laluku?

"Jadi kamu sudah tahu kalau aku pernah menikah, Ladea? Aku tak menyangka kamu menelusuri masa laluku. Ternyata ... kamu juga tertarik padaku. Pada kehidupanku ..."

"Bukan ... bukan begitu, Bayu."

Aku menepikan mobil di pinggir jalan. Mungkin Ladea sudah lebih tenang untuk diajak berbicara lebih serius.

"Ladea, masa lalu itu hanya sebuah jembatan yang harus kita lewati. Aku memang pernah menikah. Tapi aku tak seperti lelaki yang meninggalkanmu."

"Tidak, sudah saya bilang kamu salah. Tidak ada lelaki yang pernah meninggalkan saya. Tapi ..."

"Ladea, kumohon ...." Tanganku menyentuh pipinya. Menyelipkan rambut-rambut tipis ke samping daun telinganya. Mengelus pipinya lagu dengan lembut.

"Bayu ..."

Aku mendekat. Menyentuhkan keningnya dengan keningku. Hidung kami saling bertemu. Demi Tuhan, aku ....

"Bayu, stop."

Ladea mendorong tubuhku.

"Saya ... mpph"

Aku tak peduli. Yang ada di pikiranku saat ini hanya ... menciumnya lembut ... lembut dan ...

***

Ladea

Oh Tuhan. Apa yang dia lakukan?
Ini ... ini ...
Jangan.
Jangan biarkan ...
Oh Tuhan ....
Ini ...
Nikmat.

Lady LaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang