28. Winda

963 65 14
                                    

Pesan  beruntun dari orang yang sama. Dua minggu terakhir ini tak diacuhkan Ladea. Telepon tak dijawab bahkan kunjungan Widya ke kantor dianggap angin lalu. Ia selalu berhasil menghilang dari wanita itu.

Winda. Wanita anggun yang menyimpan silet di setiap belaiannya namun, memiliki kehangatan dalam setiap pelukan dan genggaman tangannya. Ladea mengenalnya hampir separuh umur Shasya. Wanita yang dikenalnya saat menghadiri gathering perusahaan. Winda bekerja di sebuah perusahaan konsultan marketing. Wanita karier yang tetap single walau usianya sudah bisa dibilang tak muda lagi.

Ponsel Ladea kembali bergetar. Ladea hanya terpaku menatapnya, sampai ...

"Ada tamu ..."

Ladea tersentak. "Siapa?"

Belum sempat pertanyaannya dijawab oleh bibi, wanita yang tak ia duga hadir di rumahnya menyerobot masuk.

"Sudah sembunyinya?" Suara dingin wanita itu membekukan Ladea.

Sepersekian detik Ladea bungkam. Kesadarannya kembali manakala wanita itu menghampiri lalu mendaratkan ciumannya tepat di bibir tipis Ladea.

"Ba-bagaimana Mbak bisa ada di sini?"

"Aku tak bisa menemukanmu di tempat biasa. Jangan salahkan aku bila ini langkah terakhirku untuk bisa melihatmu," ujarnya sembari duduk di sofa.

Ladea memberi kode agar bibi meninggalkannya. Bibi pun undur diri.

Dengan kesal ia duduk di samping Winda.

"Mbak terlalu lancang datang kemari."

"Kamu yang membuatku melakukan ini semua. Apa yang terjadi? Mengapa seakan menghindariku? Apa kamu masih marah karena kepergianku ke luar kota tanpa mengajakmu?"

Ladea mendengus.

"Kamu ... tak merindukanku?" Winda mendekat. Dipelintirnya ujung rambut Ladea. Dibelai pipi halus Ladea. Bibirnya menyentuh ujung hidung Ladea.

"Stop it!"

"Kenapa kamu selalu saja merusak semuanya, Dea?"

"Apa yang kurusak, Mbak? Sesuatu yang kau anggap hubungan ini? Ini? Ini yang kurusak?"

"Kamu..."

"Cukup!" Ladea menepis tangan Winda.

"Apa karena dia?"

"Dia siapa?"

"Laki-laki berengsek yang meninggalkan seorang anak yang kamu angkat itu? Jangan pikir aku tak tahu tindak tandukmu di belakangku, Dea."

Ladea menelan ludah. Dia bahkan lupa mengabarkan berita soal kebenaran siapa ayah Shasya pada Winda. Sejak ia memutuskan menyudahi pertemuan-pertemuannya dengan Winda--bukan karena ia bertemu Bayu, meski sebagian kecil memang karena Bayulah ia ingin mengakhiri ini semua.

"Benar kan. Pria itu sudah membuatmu lupa janji-janji kita."

"Janjimu. Bukan janjiku, Mbak." Suara Ladea bergetar.

***
Beberapa tahun yang lalu

Ladea menyeka air matanya. Ia sudah tahu ini takkan berhasil. Mengapa ia mau saja menuruti saran teman-temannya--membuka hati demi cinta lainnya. Ditinggal kekasihnya menikah adalah mimpi buruk, tapi membuka diri kepada orang yang salah adalah kenyataan terburuk yang tidak ia dapat ia hindari.

Gathering tahunan membawanya pada satu pertemuan yang salah. Berawal dari curhat pada kenalan barunya tentang percintaan yang kandas. Winda, wanita yang diam-diam kerap memperhatikan Ladea sejak hari pertama. Wanita yang berapi-api saat Ladea bercerita tentang cinta pertamanya. Wanita yang penuh obsesi pada kepolosan Ladea. Dalam hatinya ia berjanji mulai detik itu ia akan selalu menjaga Ladea dari laki-laki yang hanya akan menyakiti dan menghancurkan hati wanita.

Walau berbeda kota, Winda selalu menyempatkan diri mengunjungi Ladea. Seminggu sekali. Tidak dalam akhir pekan sebab Winda tahu persis Sabtu-Minggu adalah harinya Shasya. Ia takkan mengambil waktu terbaik Ladea untuk putrinya.

Winda selalu mengajak Ladea menghabiskan waktu berdua semalam suntuk di kamar hotel. Bagi Winda, bersama Ladea dalam satu ruang dan berbagi kisah itu sudah lebih dari cukup. Karena Ladea tidak pernah merespons semua tingkahnya selain berbaring bersebelahan dan Winda cukup menikmati keindahan Ladea hanya dalam pandangan mata. Ia jauh lebih merasa memiliki Ladea dalam hatinya. Perasaan ingin melindungi jauh lebih besar dari nafsunya untuk mencicipi tubuh Ladea. Seperti yang kerap ia lakukan bersama wanita-wanita sebelum ia mengenal Ladea.

"Kenapa kamu menangis?" Winda mengelus rambut Ladea. Mengecup keningnya lalu kembali merengkuh Ladea dalam pelukannya.

"Ini terlalu salah, Mbak. Kenapa terus saja berlaku seperti ini terhadapku?"

"Ssst ... sudah kubilang, kamu tak perlu melakukan seperti apa yang kulakukan. Tugasmu hanya diam. Menurut saja. Bukan hal yang berat, kan. Aku akan memastikan tak ada lagi yang akan menyakitimu."

"Memang tak ada yang menyakitiku, Mbak. Kau hanya terlalu berlebihan. Aku baik-baik saja."

"Yakin? Aku tak melihat begitu. Beberapa kali kamu menangis. Pasti karena laki-laki. Jangan pikir aku tak tahu. Laki-laki yang mendekatimu ... aku tahu semua. Kamu tak boleh menjatuhkan hatimu lagi, Ladea. Biarkan tetap di sini. Semua akan baik-baik saja. Kita tak butuh lelaki. Bukankah hanya wanita yang paling mengerti sesamanya?"

Ladea menatap langit-langit kamarnya. Benar apa yang dikatakan Winda. Tempo hari ia pernah membuka hati. Laki-laki sekerjanya mendekatinya untuk hubungan yang lebih jauh. Nyatanya laki-laki itu tak hanya merayunya, tapi juga beberapa teman wanita di kantornya. Itu memalukan. Sebab Ladea nyaris percaya dan mulai menerima.  Beruntung ia tahu lebih dulu dari Winda tentang sepak terjang lelaki itu. Bukan hanya itu ... beberapa, dan selalu saja Winda yang menyadarkannya. Laki-laki, sekali berengsek, ya berengsek saja.

Sejak detik itu Ladea nyaris mempercayakan dirinya pada Winda. Apa-apa Winda. Hingga ia tak menyadarinya bahwa sesungguhnya Winda telah mengikat hidupnya. Mulai memperlakukan Ladea bak burung dalam sangkar.

Lady LaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang