7. Ladea

6.5K 208 10
                                    

Berkas yang sudah kutandatangani menjadi saksi bisu betapa siang ini aku menjadi lelaki yang tampak bloon di hadapan wanita berambut wangi itu.

"Pak Abimayu, saya sudah memeriksa surat perjanjian itu. Ada angka-angka yang menjadi tanda tanya di benak saya. Harusnya pak Abi memeriksanya dulu sebelum diberikan pada kami. Saya tak ingin kerja sama kita membawa kerugian kedua belah pihak. Saya minta direvisi ulang. Atau ... saya ganti klien."

"Tapi ..."

"Coba pak Abi kalkulasikan dulu. Hitungan saya tidak sampai segitu, loh. Atau mungkin variabel yang kita gunakan berbeda? Coba diperiksa kembali perjanjian sebelumnya. Rasanya kita belum ada perubahan harga kan?"

"Ya, baiklah, Ladea. Mungkin ini kesalahan yang tidak disengaja. Sesegera mungkin kita ganti berkas ini."

Ladea bangkit dari kursinya. Seketika aroma wangi rambutnya menyerbak. Senyum tersungging menawan membuat mataku tak berkedip.

"Baiklah, saya permisi dulu. Selamat beristirahat."

"Ehm, sebentar, Ladea." Suaraku menghentikan langkahnya.

"Ya?"

"Makan siang bersamaku?"

Ladea berbalik kembali ke arahku. Matanya menatap lurus.

"Makan siang?"

"Ya ... kebetulan sudah jam makan siang. Sekalian ..."

"Saya harus menjemput Shasya."

Shasya? Jadi itu nama anaknya.

"Saya temani."

"Tidak usah ... lain kali saja ya ... Selamat siang, pak Abimayu. Saya tunggu berkasnya."

"Ladea ..."

"Permisi."

Pintu yang tertutup membuatku menghela napas. Benar kata orang-orang. Ladea wanita yang sangat susah digenggam. Bahkan mengajak makan siang pun, berat.

***

Ladea Pov

"La, mama dan Shasya menunggu di tempat biasa."

"Iya, Ma. Sepuluh menit lagi La sampai. Mampir ke pet shop bentar nih. Beliin pesanannya Shasya."

"Iya, hati-hati, La."

Dengan sigap kututup panggilan telepon. Kali ini tak boleh lupa pesanan Shasya buat Chessy. Minggu kemarin Shasya ngambek tak keruan karena aku lalai membeli kebutuhan kucing kesayangannya itu.

"Ups, sorry ..." Tanpa sengaja aku menubruk seseorang. Barang bawaanku terhamburan di lantai.

"Ladea?"

Eh, ngapain ni orang ada di sini?

"Pak Abimayu?"

"Maaf ...," ujarnya sembari membantu memunguti belanjaanku.

"Punya kucing?"

"Anakku. Eh maksudku, Shasya. Terima kasih."

"Di rumah juga ada. Sepertinya Shasya akan jadi temanku."

Ngomong apa sih nih orang?

Aku tersenyum menanggapinya.

"Permisi, saya buru-buru, Pak."

"Sebentar. Jangan panggil saya dengan sebutan itu. Rasanya formal sekali. Panggil saja Bayu."

"Oh ... baiklah. Tapi beneran, saya harus buru-buru. Shasya sudah menunggu."

"Ya, silakan. Sampaikan salamku untuk putrimu ya ..."

"Ya, terima kasih. Saya duluan."

Aku berbalik dan segera menuju kasir. Hatiku berbisik, lelaki itu tak berkedip menatapku. Jangan menoleh, jangan. Tuuh kan, benar. Senyum lelaki itu mengiringi langkahku. Kubalas dengan senyuman.

Segera setelah membayar aku menoleh lagi. Ia sudah tidak terlihat mataku. Mungkin sedang mencari makanan kucing. Aku tak harus mencarinya untuk pamit, kan?

Tink tink ...

Sebuah pesan masuk.

Abimayu.

"Take care, ya. Jangan ngebut."

Aku tersenyum membaca pesan singkatnya. Sok perhatian, ah.

"Thanks."

Kulirik jam di tangan, sudah lewat dari 10 menit. Mama dan Shasya pasti bosan menungguku. Walau sudah telat, kukendarai mobil dengan kecepatan sedang.

***

"Bundaaa ..." suara kecil Shasya membuatku girang. Seminggu kami tak bertemu. Ia memilih menghabiskan waktu liburannya bersama Oma dan Opa. Hari ini adalah liburan terakhir. Alih-alih kususul ke rumah orang tua, mama memilih bertemu di tempat biasa.

"Hai, Sayang." Kukecup kedua pipinya yang tambah gembil. Putri kecilku yang kini beranjak belia. Usianya belum genap sembilan tahun. Namun pola pikirnya jauh di atas usianya.

"Bunda, Oma tuh gak bisa enggak kalau lihat mulut Sha diem. Tiap saat pasti nyuapin makan. Makanya Sha jadi endut."

"Oh ya? Bagus dong, jadi chubby. Gemes deh ..." Cubitan kecil mendarat di pipinya.

"Hai, Ma, sehat? Papa kok gak ikut?" Kupeluk erat mama yang terlihat muda di usia senjanya.

"Papamu sibuk. Cuma titip tanya aja. Kapan kamu pulang bawa temen main catur?"

"Ah, papa itu. Gak ada yang lain apa ya?"

"Ya Bunda kayak gak tahu opa aja. Tapi bener sih, Sha juga kan pengen punya ayah."

"Minta sama Allah dong, Sha."

"Udah, kok. Kata Allah, sedang jalan ke rumah."

"Kamu itu, bisaaaa aja."

"Serius, Bunda ... kata Allah, akan ada seorang ayah buat Sha. Dan ... ayah yang baik itu tentu saja sama-sama pecinta kucing."

Deg. Kucing?

Tiba-tiba saja mataku menangkap raut Abimayu.

Lady LaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang