20. The Meaning of Love

984 87 5
                                    


Pernah kau mencintai seseorang tapi tak mampu berterus terang padanya? Pernah kau ingin berterus terang tapi terlampau takut akan risiko karena mencintai orang yang salah? Pernah kau jatuh karena cinta dan tak bisa bangkit lagi meski kau telah mengubur cinta itu dalam-dalam?

Aku pernah mencinta. Dengan penuh rasa. Cinta masa abu-abu hingga lanjut ke masa kuliah. Reyhan ... dia cinta pertamaku. Lelaki yang mengenalkan apa itu ciuman pertama. Lelaki yang mengajarkanku arti kesetiaan-walau nyatanya ia adalah lelaki paling tak setia; satu-satunya; yang pernah ada di hatiku. Lelaki pertama yang menyentuh tubuhku, tentu saja. Kejadian malam itu, tepat di usia tujuh belas tahun, ia mengatakan bahwa ia takkan pernah meninggalkanku. Sentuhannya membuatku terbang ke langit ketujuh. Tunggu, jangan berpikiran jauh. Walau ia kerap menyentuhku secara intim, ia tak pernah memerawaniku. Mungkin itulah yang membuatnya selalu saja bermain dengan wanita lain.

Kalimat andalannya adalah, "Satu ciuman saja takkan ada kehamilan."

Ya, tentu saja aku tak pernah hamil. Karena ia hanya menciumiku dan membelai-belai saja.

Kami berhubungan jarak jauh setelah lulus sekolah. Ia memilih kuliah di luar negeri atas permintaan orang tuanya. Ia selalu pulang saat liburan. Kami tetap berhubungan sebagai sepasang kekasih walau berjauhan. Setidaknya ... sampai kejadian hari itu. Saat ia mengabarkan akan menikah dengan seorang gadis yang dihamilinya. Seorang gadis teman kuliahnya yang juga berasal dari Indonesia.

Seketika saja aku merasa jijik pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku begitu bodohnya mempercayai laki-laki dengan mudahnya. Sejak saat itu aku menutup diri.

Tak lama setelah itu, aku bertemu dengan Santy di depan rumah. Ia seorang wanita membuatku tambah yakin, tak ada lelaki yang baik di dunia ini. Lelaki yang hanya butuh kesenangan semata. Selebihnya wanita hanya akan ditinggalkan.

Santy tinggal bersama mama dan papa selagi aku pergi bertugas di awal-awal pertama kerja ke luar negeri. Aku kembali di saat bayi cantik itu lahir. Santy? Dia baik-baik saja. Ia putuskan bekerja menjadi tenaga kerja wanita ke luar negeri setelah ia melahirkan. Keluargaku membantu mengurus keberangkatannya lewat agency.

Shasya menjadi anakku. Dia akan selalu menjadi anakku.



Bayu menyimak Ladea bercerita dengan saksama. Ladea datang ke kantornya. Satu hal yang menggembirakan tentu saja bagi Bayu yang dilanda rindu. Alih-alih melepas kerinduan, Ladea meminta Bayu untuk duduk diam dan mendengarkan tanpa dipotong.

"Begitulah ... Shasya adalah anakku. Akan menjadi anakku selalu."

Ladea mengambil napas panjang. Tanpa disuruh, ia mengambil cangkir teh di hadapannya lalu meneguknya perlahan.

"Lalu?" Bayu merespons.

"Lalu katamu? Cckckc kau masih tak sadar juga, Pak Bayu?"

Bayu mengangkat alisnya. "Apa?"

"Gila ya ... Masih belum mengerti juga? Shasya, Bayu ... Shasya!"

"Ada apa dengan Shasya?"

Ladea mengernyitkan keningnya. "Ternyata benar apa yang dikatakan Santy tentangmu. Pria egois!"

Bayu tersenyum.

"Sudah? Sudah bicaranya?"

Ladea bergeming. Ia menatap bayu dengan tajam.

"Begini. Aku tak banyak bicara sepertimu. Aku hanya ingin mengatakan satu hal, Ladea. Oh tidak, bukan satu hal. Dua sebenarnya."

"Silakan."

"Pertama, aku makin mencintamu. Sedari tadi kamu bicara rasanya aku ingin membungkam bibirmu dengan ciumanku. Aku sudah cukup lama menahan gejolak sejak kamu masuk ke ruangan ini, loh. Sungguh. Itu bukan dusta."

Ladea mendelik. "Pria gila," desisnya.

Bayu tersenyum lagi.

"Kedua. Ini yang sangat penting dan harus kamu pahami dengan baik, Nona Manis..."

Ladea menunggu.

"Aku berterima kasih kamu sudah menjadi ibu bagi Shasya. Pantas saja aku tak merasa asing dengan wajahnya. Ia begitu mirip dengan Santy, ibunya. Akhirnya itu jawaban atas pertanyaanku beberapa hari belakangan."

Ladea mulai menampakkan senyum. "Jadi ... kau sudah menyadarinya?"

"Ya, pada akhirnya ... Tapi ada hal yang harus kamu tahu, Ladea. Shasya bukanlah anakku. Kamu salah alamat."

Ladea terkejut. Bibirnya terbuka tapi ia tak mampu berkata-kata.

"Kamu dengar? Shasya bukan darah dagingku. Bila itu yang kamu pikirkan selama ini, itu salah besar."

"Tapi ... ini tidak mungkin. Kau bohong!"

"Aku tidak berbohong, Ladea." Bayu tersenyum puas memandang Ladea yang kebingungan.

Lady LaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang