5. Ketika Cinta di Atas Logika

8.8K 178 4
                                    

Degup jantungku tak bisa diajak kompromi. Desah manja Santy membuatku kalap. Lembut bibir tipisnya terasa bagai sengatan listrik yang mengejutkan. Begitu nikmat saat bibirku memagutnya. Santy mengalungkan kedua tangannya di leherku. Ia mendekatkan tubuhnya semakin lekat.

"Santy ..."

"Sst ... jangan bicara ..." Santy memeluk pinggangku. Bibirnya membungkamku dalam gairah. Jemarinya seketika turun ke leherku, membuka kancing kemeja.

"Aku tak percaya ini ciuman pertama Mas sama wanita."

"Santy ..."

Aku tersentak saat Santy menyentuh bawah perutku. Ia masih mendesah di ujung telingaku. Kelelakianku meronta. Subuh yang dingin tiba-tiba membuatku gerah. Kudekap kepalanya dan mencengkeram rambut panjangnya yang tergerai seksi tertimpa pantulan lampu tidur.

"Mas ... aku ..."

"Ssst ... jangan bicara lagi ... tidurlah." Aku melepaskan cengkeramku dan beranjak berdiri.

"Mau ke mana?"

Aku menarik napas panjang saat menatap wajah Santy yang kebingungan. Tubuh moleknya membuat desiran aliran darah terpompa lebih cepat ke jantungku. Ya Tuhan ... ingin rasanya aku memeluk tubuhnya hingga pagi datang.

"Mas ..."

"Tidurlah ... besok kita bicara."

***

Suasana rumah begitu dingin. Mama hanya memandang kami tanpa berkata apapun. Seharusnya berita ini menyenangkannya. Bukankah ia ingin melihat anak lelakinya ini menikah?

"Ma, Bayu hanya memberitahu. Setuju atau tidak Bayu akan tetap melanjutkannya."

Santy menundukkan wajahnya ketika kuangkat suara memecah keheningan. Ia terlalu takut memandang wajah tanpa ekspresi di raut mama.

"Ma ..."

"Abimayu ... kau pria luar biasa. Tak bisakah kau memilihkan calon mantu yang spesial untuk mama? Di mana kau temukan wanita ini?"

"Ma, Santy wanita baik-baik ..."

"Baik-baik saja tak cukup, Bayu. Dia ... ada yang tak kau ketahui tentangnya. Wanita ini tak pantas untuk kau jadikan istri apalagi ibu dari anak-anakmu."

"Ma!"

"Mas jangan membantah. Mama benar. Aku bukan dari keluarga terpandang seperti kalian. Aku tak pantas."

"Kamu salah. Saya tidak merestui bukan karena terpandang atau tidak. Tapi saya dapat melihat bahwa kamu bukan ..."

"Cukup, Ma. Bayu akan tetap menikahinya.

***

Sabtu pagi yang cerah dibalut pakaian pengantin biru muda aku membuat mama makin tak berekspresi. Ia hanya duduk dan sesekali menyapa tamu. Sementara Santy juga tak berani mendekati mama.

Di usia tiga puluh tahun aku menikahi gadis yang membuatku jatuh cinta.

"Santy ... aku tak bisa menjanjikan apa-apa selain membahagiakanmu. Tentang mama, aku yakin cepat atau lambat ia akan menerimamu sebagai mantu," ujarku sesaat setelah kami sama-sama masuk ke kamar hotel.

"Tak apa, Mas. Santy ngerti. Santy akan berusaha jadi istri yang baik dan juga ibu bagi anak-anak kita kelak."

Pancaran mata Santy begitu bersinar. Inilah saat yang tepat. Aku mendekat dan menciumi pipinya lembut. Santy tersenyum. Didekatkan kepalanya di leherku, membuat leluasa menciumi ujung telinganya. Napas panas berembus dari hidung kecilnya yang mancung. Dengan gemas kupagut bibir mungilnya. Santy membalas ciumanku dengan hangat. Lidahnya menelusup di geligiku dan menerobos masuk.

"Mas, terima kasih sudah menikahiku."

Aku membalikkan tubuhnya hingga kami saling berhadapan. Aroma kesegaran sabun di tubuhnya menggodaku. Santy membuka ikatan baju mandinya dan sambil tersenyum nakal ia menggodaku.

Tanpa menunggu aba-aba kedua tanganku mendekap pinggangnya yang ramping. Ada getaran hebat saat kulit tanganku menyentuh tubuhnya yang kenyal. Dengan sekali sentuhan baju handuknya melorot.

Indah. Sungguh indah tubuh Santy. Dua tahi lalat kembar di payudara kanan dan kirinya membuatku semakin bergairah. Santy mendekatkan tubuhnya hingga dada kami saling menempel.

"Nikmati aku, Mas. Aku istrimu."

Tangan kecilnya membuka resleting celanaku yang tampak sesak. Dan kelelakianku begitu perkasa di hadapannya. Aku tak tahan lagi.

Bibirku menjelajah leher lalu turun ke dada. Santy melenguh nikmat. Tangannya memijat-mijat yang sudah tegang dan siap tempur. Aku mengangkat tubuhnya dan melemparkannya ke ranjang.

"Mas seksi sekali. Seperti binaragawan."

"Kau yang seksi, Santy. Sungguh cantik dan mempesona."

Santy mengalungkan tangannya di leherku. Aku dapat melihat dengan jelas keindahan matanya, bibirnya, hidungnya dan ... buah dadanya yang menyembul kenyal. Dan ... rambut-rambut halus di bawah perutnya semakin menggodaku untuk bertamu di sana.

"Santy ..."

"Mas ... peluk aku."

Dengan gairah yang meledak-ledak kulumat sekujur tubuhnya yang halus. Jemariku menyentuh kewanitaannya yang sudah basah.

"Kau siap?"

Santy mengangguk pasrah. Digigit ujung bibir bagian bawahnya. Semakin membuatnya seksi dan menggoda.

"Pelan-pelan, Mas. Aku ..."

"Ah ... ugh ... Mas ..."

"Aku mencintaimu, Santy ..."

Perlahan-lahan kuarahkan kelelakianku mencoba menembus miliknya.

"Rileks, Santy ... jangan ditahan ... kalau sakit jangan takut. Katakan ..."

"Ah ... ugh, Mas. Jangan ... jangan ber-hen-ti ... terus ... ah ... "

Desahan Santy membuatku tertantang. Dengan sekali hunjaman sebuah teriakan panjang memenuhi ruangan.

"Mas Fad ..."

Aku menghentikan gerakanku. Kutatap Santy yang masih memejamkan kedua matanya. Ada bening air yang luruh di sana.

"Santy?"

"Ah ... ugh ... ayo Mas ... aku milikmu."

Gejolak di bawah ini ingin sekali menuntaskan permainannya. Tanpa berpikir apa-apa lagi aku memacu semakin cepat ... dan oouuuhhh ....

"Mas Bayu ... aku mencintaimu." Santy mendekap punggungku dan menciumi bibirku dengan penuh hasrat.

"Santy ...," aku menyudahi ciumannya. "Siapa Fad?"

...


Lady LaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang