Author's Note :D
Buat yang nggak bisa bahasa Jawa, pasti akan bersorak riang karena di part ini nggak ada bahasa Jawa-nya. Hohoho...
Monggo, disekecak'aken. :)
__________________________________________________________
"Halo?" Campa menyambar ponselnya sambil memegangi handuk yang ia pakai sekenanya. Campa sedang mandi saat ponselnya menjerit-jerit, membuatnya terburu-buru keluar dari kamar mandi dan berlari ke kamarnya. Kamar mandi di lantai yang ditempati Campa hanya satu, digunakan bersamaan dengan dua penghuni kamar kost lainnya di lantai ini. Campa takut Mami yang menelepon, karena ini memang jadwalnya Mami mengecek Campa. Yes, Mami masih menelepon Campa setiap hari di jam yang sama, yaitu jam 7 malam, sejak Campa masih duduk di bangku TK.
"Bu Campa?" Suara itu membuat Campa membeku. Ini suara Abi. Tahu dari mana Abi nomer ponselnya?
"I... Iya? Ini siapa?" tanya Campa dengan suara bergetar, pura-pura tidak tahu, walau sebenarnya Campa akan mengenali suara itu dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi bagaimanapun.
"Ini... Abi, Bu Campa..."
"Oh. Ada apa, Abi?" tanya Campa lagi. Dadanya berdebar kencang, sampai-sampai Campa takut Abi bisa mendengar debaran jantungnya yang menggila dari seberang sana. Campa belum pernah ditelepon cowok. Selama 27 tahun hidupnya. Sama sekali. Bahkan teman yang bertanya soal tugas pun tidak pernah.
"Bu Campa sibuk?" tanya Abi.
"Mmm, saya habis mandi..." jawab Campa refleks. Lalu Campa sibuk memaki dalam hati. Jawaban apa itu??? Abi tanya apa, dia jawab apa. Kesannya kok goblog banget!
"Eh?"
"Mmm, maksud saya, saya nggak sibuk. Ada apa, Abi?" Campa berusaha mengatur nafasnya yang mulai tidak teratur, saking gugupnya.
"Mmm, Bu Campa sudah makan? Kalau belum, saya mau ajak Bu Campa makan di Nelongso... Seperti yang waktu itu saya bilang..."
Campa melongo. Memandangi ponselnya, meyakinkan diri kalau ponsel itu menyala. Bukan halusinasi. Ada nomor tak dikenal tertera di sana. Dan ponsel itu menyala.
"Bu Campa?"
"Mmm, makan? Mmm... Belum sih... Tapi... Saya nggak suka pedes..."
"Ya nggak apa-apa, Bu. Nanti pesan sambel yang nggak pedes. Oke, kalau begitu saya jemput sekarang ya, Bu! Assalamu'alaikum!"
Campa membuka mulut untuk menjawab, namun Abi sudah mematikan sambungan. Itu tadi apa maksudnyaaa??? Abi mengajaknya... Makan? Berdua? Mikir apa sebenarnya anak itu? Emangnya dia nggak sadar, kalau Campa itu dosennya? Campa merutuk dalam hati.
Tapi... Tapi...
Campa melirik badannya yang terpampang jelas di cermin besar di kamarnya. Masih berbalut handuk warna biru muda. Ya Tuhan! Kalau benar Abi akan menjemputnya, Campa harus pakai baju apa? Dengan panik, Campa menghampiri lemarinya. Membukanya lebar-lebar. Di dalamnya hanya ada baju-baju untuk mengajar. Rok. Blus sederhana. Blazer. Ada sih, baju-baju terusan favorit Campa, tapi seperti yang dibilang sama Marina, tetangga sebelah kamarnya, baju Campa semua modelnya sudah ketinggalan jaman setidaknya setengah abad. Lha habis bagaimana lagi, Campa suka model baju seperti itu! Warisan selera dari Oma-nya, yang merawat Campa sejak ia masih bayi. Campa bergegas berlari keluar kamar. Mengetuk kamar Marina. Mungkin dia bisa membantu. Campa sungguh-sungguh awam mengenai masalah seperti ini.
"Mar..." ujar Campa pelan sambil mengetuk pintu. Tak lama, pintu terbuka. Marina dengan rambut yang masih separuh dicatok, menatapnya heran.
"Ngapain kamu telenji-telenji di depan pintu kamarku?" Marina tersenyum geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGA (n)
Romance"Ingat kata Mami, Campa. Kamu harus jadi perempuan yang hebat. Perempuan yang kuat dan tangguh. Perempuan yang tidak akan goyah karena apa pun. Perempuan yang membuat semua laki-laki bertekuk lutut di hadapanmu, tanpa kecuali!"