Author's Note :D
Hehehe... Lanjut yang ini dulu yaaak. Lagi seneng sama Abi. :D Ini ceritanya enteng cemen2 anak mahasiswa. Ada yang inbox nanya, settingnya dimana. Dijlentrehin di sini aja ya biar sekalian... Ini setting di Surabaya, alasannya karena saya lagi kangen masa kuliah di sana. Hahaha... Jadi nanti bakalan banyaaakkk kata-kata bahasa Jawa Suroboyoan. Yang ndak ngerti... Buka kamus ya. Males nulis terjemahannya. Hohoho... Trus ada yang tanya, ini kuliahnya jurusan apa. Berhubung saya belajarnya Psikologi, yaaahhh akhirnya yang disini ya Psikologi juga. Bukannya apa, daripada saya sok-sokan nulis tentang anak jurusan Teknik misalnya, yang saya nggak paham, trus salah, piye? Malah dadi gawe... :p
Jadii, yah. Monggo dibaca saja sambil ngemil2 tahu. Enjoy! :D
__________________________________
"Weeeheee... Wonten Denmas Abi... Piye kabare, Bro? Suibuk sawangane, mbojo..."
Abi menghempaskan badannya ke amben, balai-balai dari bambu, yang berada di sekeliling sebuah pohon besar di salah satu sudut kampus. Tidak mempedulikan sindiran Dido, sahabatnya. Kepala Abi pusing setelah quiz Perilaku Organisasi barusan. Sebenernya bukan quiznya yang bikin pusing, tapi karena Abi begadang tadi malam gara-gara berantem sama Bella. Lagi. Dan buntut pertengkaran kali ini sangat fatal. Abi-Bella putus. Tamat. The end.
"Mbojo mbiahmu," omel Abi pelan sambil membaringkan kepalanya, beralaskan tas ransel berisi laptop. Keras. Tapi hidup memang keras kan, Jenderal? Ha! Abi kembali mengingat pertengkarannya dengan Bella semalam. Pertengkaran entah untuk kesekian kalinya dalam bulan ini. Sebabnya apa saja, Abi sudah lupa. Huuufft.
"Tukaran meneh?" tanya Dido. Abi mengernyit mendengar aksen Dido yang aneh. Dido ini orang Balikpapan, tapi dia suka sok-sokan ngomong bahasa Jawa. Katanya, biar membaur. Membaur prekethek! Yang ada malah aksen anehnya itu bikin emosi!
"Do, berapa kali aku bilang, mendingan kamu itu ngomongnya pake bahasa Indonesia aja. Ndak usah sok ngomong Jawa. Sakit kupingku!" omel Abi. Dido terkekeh.
"Duh, Denmas! Lagi sensi ya! Rokok sik, Broo... Rokok..." Dido menyodorkan sebatang rokok lintingan ke arah Abi.
"Arek gwendheng! Awan-awan ngene ngejak nyimeng..." Abi mendelik. Dido tergelak.
"Ben gak setres ngono, Bro..." Dido kembali ngoceh Jawa. Abi meraih rokok maksiat di tangan Dido, dan menyulutnya. Sebentar kemudian, pikiran Abi sudah mulai berkabut. Ketenangan semu.
"Kenapa lagi? Tadi pas di kelas, Bella juga bengkak matanya. Abis nangis berat, tampaknya," Dido menghisap rokoknya.
"Tadi malam berantem gara-gara dia lagi-lagi main nggak jelas juntrungannya sama anak-anak kosnya. Aku tanyain kemana, dia nggak ngaku. Aneh kan. Pas aku marah, ealah dia minta putus," Abi menghela napas. Dido menatap Abi prihatin.
"Ya kan bisa dibicarain baik-baik, Bi... Lha mbok seneni ae, maleh mlayu arek'e..."
"Gayamu, Do... Pacaran aja nggak pernah..." dumel Abi. Dido tertawa.
"Eh, kalau aku kan jomblo karena pilihan, Bi! Bukan karena nggak ada yang mau..." ujar Dido membela diri. Abi mencibir.
"Yowis, untuk menghiburmu yang sedang berduka, aku traktir es buah di FISIP yo! Sama nampang-nampang dikit..." Dido menepuk pundak Abi. Abi mengangguk. Patah hati itu obatnya memang ditraktir!
Abi dan Dido berjalan ke arah kampus FISIP, saat Dido tiba-tiba terkesiap.
"Eh eh, ya ampun, ya ampun..." tiba-tiba Dido menegakkan badan. Abi menatapnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENANGA (n)
Storie d'amore"Ingat kata Mami, Campa. Kamu harus jadi perempuan yang hebat. Perempuan yang kuat dan tangguh. Perempuan yang tidak akan goyah karena apa pun. Perempuan yang membuat semua laki-laki bertekuk lutut di hadapanmu, tanpa kecuali!"