Selamat Pagi, Kakaakk...

19.1K 2K 281
                                    

Author's Note :D

Part ini rada-rada nggak penting. Tapi part ini pengantar buat konflik-konflik di masa mendatang. Hahaha...

Maap, lama. Semoga masih setia sama Abi.

Enjoy! :)

______________________________

"Lik! Malik!" Abi mengguncang bahu Malik yang dengan nyenyaknya tertidur meringkuk di amben, kepalanya dialasi jaket jeans buluk andalannya.

"Ennghh?" Malik bergumam, tapi tetap tidak terbangun.

"Lik! Tangio ta lah! Sik isuk iki jeh!" Abi mengguncang bahu Malik, lebih keras kali ini.

"Opo se, Biii... Aku sik ngantuk..." omel Malik kesal, tapi tetap dengan mata terpejam.

"Ck! Tangiiii! Lagian kan awakmu maringene kuliah? Iki wis jam setengah songo!" Abi duduk di samping Malik, yang menggerutu dan membuka matanya.

"Hancik koen iku, Bi. Kan lumayan limolas menit engkas..." Malik bangun, lalu duduk bersandar di amben.

"Rokok?" Abi nyengir lebar sambil menyodorkan Dji Sam Soe. Malik cemberut, tapi mengambil sebatang rokok dari bungkusnya. Menyulutnya, lalu mengembuskan asapnya perlahan.

"Ono opo? Mesti ono butuhe, isuk-isuk wis nyogok rokok," Malik mengerling ke arah Abi.

"Lik, ndek tokomu ono lowongan kerjo gak?" tanya Abi langsung.

"Lowongan? Gawe sopo?" sahut Malik malas-malasan.

"Yo gawe aku lah!"

"He? Lha lapo koen moro-moro golek kerjo?" Malik menatap Abi heran.

"Hmmm... Aku butuh duwik, Lik..." Abi menatap ke arah lapangan parkir.

"Wah, menarik iki. Kenopo, di embargo ambe Mamamu ta?" Malik terkekeh.

"Ora sih..." Abi memainkan jemarinya.

"Lha terus? Kenopo?" tanya Malik, penasaran. Jarang-jarang Abi kelihatan serius begini.

"Lik, lek kamu kencan sama Mbak Adinda, yang mbayarin sopo?" tanya Abi setelah beberapa saat terdiam. Malik mendesah tak nyaman.

"Mmm. Fifty-fifty sih. Gantian. Misal aku mbayari makan minggu ini, minggu depan dia. Tapi ya baru sekarang-sekarang aja kaya' gitu. Kalau dulu, Dinda selalu maksa mbayarin. Karena katanya aku kan belum punya penghasilan sendiri..." Ekspresi Malik tampak terluka.

"Nhah! Itu dia, Lik! Nggak punya duit sendiri itu nggak enak banget!" omel Abi.

"Cerito, plis," Malik tersenyum geli melihat kekesalan di wajah Abi.

"Jadi, akhir-akhir ini kan, aku sering jalan sama Campa. Nhah. Dia mulai tuh, Lik. Mbayari sembarang. Bahkan parkir! Padahal lek duwik telung ewu ae, sekere-kerene aku yo sik duwe lah..."

"Aku wis protes, aku ya punya uang kok walau nggak akeh. Yo koen ngerti dewe lah, duit sanguku kan ngepas. Tapi aku kan yo duwe tabungan, duit-duit angpau tiap Lebaran, duit angpau sunatan..."

"Baiyuh, duit sunatan sik mbok simpen, Bi?" Malik ngakak. Abi mendelik.

"Iyo! Hiih, gak fokus iki! Intine, aku yo lumayan punya duit laah. Nggak kere-kere banget. Dan aku kan saiki yo hemat-hemat, gak tuku rokok, dadi iso tak tabung..."

"Selama ada Bono, ngapain kita beli rokok yo, Bi..." Malik nyengir bandel. Abi mengangsurkan telapak tangannya, mengajak high-five. Lalu Malik dan Abi tertawa berdua.

"Yo ngono lah. Aku wis ngomong, aku duwe duit lek cuma gawe mangan ae. Atau gak usah dibayari wis aku, bayar dewe-dewe ae. Tapi Campa ngeyel. Jarene, aku kan durung kerjo. Lebih baik uangnya ditabung. Pokoknya selama keluar sama dia, ya dia yang bayar. Dan dia nggak mau dibayari dari duit Mamaku. Malu, katanya. Lhaaa, dek e gak mikir aku yo isin lek dibayari terus?" Abi mengungkapkan kekesalannya.

KENANGA (n)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang