–21 Agustus 2014
Menunggu pukul 1, aku menyegarkan pikiranku sekedar meminum Capuchinno Latte di Kantin, sendirian, karena Louis ada kelas, dan—Zayn? Entahlah, Pria Pakistan itu sulit kutemui hari ini, mungkin dia sedang ada kelas juga. Melamun, sehingga aku cukup kaget saat seseorang menepuk pundakku seraya memanggil namaku keras di depan telinga. Oh. Mungkin ini yang dirasakan Zayn dan Louis saat aku menepuk pundak mereka secara mendadak.
Pun aku menoleh, dan—astaga, Michelle disini, di belakangku sembari tersenyum yang dulu aku puji dan puja. Matanya yang langsung berkontak dengan mataku. Tangannya yang masih melekat di pundak kiriku. Ya Tuhan, cantiknya dia.
“Hi, Liam, boleh aku duduk disini?”
Sungguh, aku masih belum bisa mengumpulkan nyawa-nyawaku, sulit bagiku untuk membalas ucapannya atau sekedar membalas senyumnya, dia benar-benar membuatku beku. Apa aku jatuh cinta padanya? Lagi?
Kulihat dia mengangkatkan sebelah alisnya sejurus dengan ia menjatuhkan kepalanya ke arah kiri, senyum itu hilang. Segera, aku menelan ludahku dan mengangguk. Aduh.
Sentuhan tangannyapun sudah beralih dari pundakku kini ke atas meja. Meja yang beruntung. Aku menatapnya yang kini sibuk dengan ponselnya, dia tak seheboh isi suratnya untukku.
“Michelle?”
Sial. Dari mana panggilan itu keluar? Oh. Itu dari mulutku sendiri. Dan memalukan. Michelle menyimpan ponselnya dan menoleh ke arahku, aku mati.
“Ya, Liam?”
Aku–harus–mengatakan–apa? Sementara otakku berpikir untuk mencari bahasan percakapan, aku memberinya senyuman—dan gelengan reflek. Ini memalukan. Dia kembali menyeruput minumnya.
“Terima kasih untuk gantungannya,” good, Liam!
“Oh, itu, sama-sama, maaf hanya itu yang—”
“Tidak—maksudku, kau tidak perlu meminta maaf, Michelle,”
Dia tersenyum, “siang ini kau ada latihan basket, ya?” aku mengangguk, “karena besok ada tanding?”
“Ya, Michelle, di Get Won, kau akan menonton?”
“Tentu,”
Aku–senang. Astaga, Liam, apa maksudmu? Apa? Reflek, aku tersenyum padanya, dan dia membalas senyumku.
“Aku suka surat-suratmu,”
Bagus, Liam. Kau membuat gadis yang sedang berada di hadapanmu itu merona.
“Aku jadi malu, Liam, bisa kita ganti topik?”
“Bagaimana bisa kau merangkai kata saat menulis surat untukku?”
“Astaga, itu menggelikan,”
“Ya, aku menyukai surat-suratmu, kenapa akhir-akhir ini kau jarang mengirimiku surat?”
“Hentikan, Liam James Payne,”
Aku tercekat, dia menyebut lengkap namaku, ini perdana, astaga, lidahku kelu, apa lagi yang harus kukatakan?
“Michelle?”
“Ya?”
“Kau punya teman berinisial Z?”
“Entahlah, ada apa?”
“Seseorang selalu mengirimiku surat dan sebuah alfabet di dalamnya, dan dia meninggalkan jejak dengan menyebut dirinya Ž,”
“Menarik, huruf apa saja yang sudah dia berikan?”
“Sebentar,”
Pun aku merogoh semua alfabet dari Ž yang kusimpan di saku tasku, lima huruf misterius yang aku sendiri tidak tahu harus aku apakan.
Aku menunjukkan huruf-huruf itu dari huruf pertama sampai terakhir, bisa kulihat, dia seperti berpikir memandangi huruf-huruf misterius itu.
“O, G, S, E, dan L. Kenapa huruf E ini ada komanya?”
Kubuang napasku kasar, karena—ya akupun tak tahu apa maksud Ž menyimpan koma setelah E.
“Aku tidak tahu, Michelle, bisa kau bantu aku sampai ini berakhir? Engh—maksudku, bisa kau temani aku sekarang ke lokerku? Mungkin Ž menyimpan huruf baru,”
“Oke, aku suka ini, Liam,”
Sepanjang perjalanan menuju loker, jantungku benar-benar ingin loncat dari tempatnya. Michelle tepat berada di samping kiriku, dan banyak mahasiswa lain yang mengolok-olokku dan Michelle. Menyebut kami Pasangan Baru, Best Couple, King and Queen, Prince and Princess. Dan Michelle menanggapinya dengan senyuman serta anggukan. Apa benar yang dikatakan oleh Louis? Bahwa Michelle menyukaiku? Astaga, bangun dari mimpimu, Liam.
Sesampainya di loker, segera aku membukanya dan merauk semua surat-suratku, dan Michelle sempat menganga dengan ini. Dia terkejutpun tetap cantik.
“Disini atau di café?”
“Second option,”
Aku dan Michelle kembali ke café setelah aku menyimpan seluruh suratku ke dalam tas.
“Michelle, ciri-ciri surat dari Ž yaitu amplop hitam, dan agak menyembul, itulah miliknya,” Michelle mengangguk, pun kami langsung berdetektif mencari surat dari Ž.
Saking banyaknya, hampir 10 menit aku tidak menemukan surat dari Ž, begitupun Michelle, dan a—
“Hey!”
Siapa ini? Mengagetkanku? Aku menoleh. Oh, Zayn.
“Hey, Bung, bergabunglah,” ajakku, Zayn mengangguk dan duduk di sampingku, dia sama sekali tak melirik Michelle? Astaga, Zayn, Michelle ada di depanmu dan kau tak meliriknya?
Oh, mungkin Zayn masih sakit hati.
“Kau sedang mencari surat dari Ž, ya? Boleh aku bantu?” tanyanya, pun aku membagi surat yang berada di pihakku dengannya, sedangkan Michelle masih berkutat dengan surat-surat yang berada di pihaknya.
5 menit.
“Aku menemukannya,” Zayn menemukannya, “ini?” tanyanya seraya mengangkat tangan kirinya yang memegang alfabet, dan tangan kanannya yang memegang surat.
“Bacakan suratnya,” kataku, apa itu terdengar memerintah?
“‘Hi, Payne. Besok kau tanding, ‘kan? Aku adalah wanita yang akan menyorakimu paling keras, he–he. Aku hanya ingin bercerita, bahwa setiap aku menyimpan surat di lokermu, aku takut kau melihatku, karena aku adalah gadis biasa yang tak terkenal di kampus, lalu menggemarimu, kadang ada yang tega mengejekku, setidak pantaskah aku? Oke, sudahlah, lupakan. Ini surat keenam, eh? Astaga, apa kau masih menyimpan kelima alfabet dan suratku yang lain? Maksudku, suratku empat, karena aku sempat hanya megirimmu alfabet, bukan? Oke, hanya ini. Love you, Liam. Sincerely, Ž.’ selalu sepanjang ini suratnya?”
“Tidak, ini surat terpanjang darinya,”
“Huruf I, apa maksudnya?”
×××
Nah, buat ending, cast yang pas buat Ž siapa?
Emily Rudd as Michelle Rudd [mulmed].
10 votes, boleh?
YOU ARE READING
Fourteen ≠ ljp
Fantasi❝Someone always send me a letter with an alphabet everyday.❞ -Liam James Payne COMPLETED - hope you guys some new readers respect me because I was give my best to write this story, leave your votes and comments in every chapter is enough. Thank you...