Liat mulmed dulu biar seger.
×××
–18 Agustus 2014
Jam yang memiliki jarum pendek itu tengah bersemayam di angka 10, mengingat mata kuliahnya hari itu dimulai pukul 2 siang nanti, dengan semangat yang berkobar, ia ingin membuka lokernya, apakah Ž mengiriminya surat lagi?
Saat ia sedang bersenandung di koridor—berjalan menuju loker—, dilihatnya Zayn yang sedang berjalan terburu-buru di depannya, pun ia tepuk pundak Zayn yang lalu, pria keturunan Pakistan itu terlonjak kaget.
“Hey, Dude, kau jadi bermain bersama anak basket sepulang pertandingan kemarin, eh?” tanya Liam, pada Zayn yang kini memasang wajah—linglung?
“Engh—tentu saja, kau pikir, dengan tidak adanya dirimu, semua akan berantakan, eh?” Liam mengangkat bahunya seraya sedikit menutup mulutnya, sehingga bibir-bibirnya ikut tertarik, sejurus dengan iapun mengangkatkan sebelah alisnya, “kau mau kemana?” sambung Zayn.
“Lokerku, ada apa?”
“Tidak, hanya bertanya, baiklah, aku akan ke kelasku dulu, see ya!” ucap Zayn seraya mengambil langkah ke arah samping kanan yang tidak sejurus dengan Liam, pun Liam hanya mengangguk meng–iya–kan.
Sesampainya di loker, ia buka lokernya penuh semangat.
Tunggu, Liam menyukai surat-surat dari Ž?
“Wow,” gumamnya, kala setumpukan surat beragam warna amplop sudah bertengger tak rapi di atas buku-bukunya. Ia rauk semua suratnya tanpa sisa, lalu, ia masukkan keseluruhannya ke dalam tas, dan menghubungi partner-nya.
Sesampainya di cafétaria, Louis rupanya sudah terduduk manis di pojok café dan melambaikan tangan untuknya. Pun ia langkahkan kakinya cepat menuju Louis.
“Surat lagi, oke? Aku jadi merasa bahwa—aku yang dikirimi surat, ha–ha,” ucap Louis membuka perbincangan di antara mereka, suara tawanya sempat membuat beberapa orang menoleh.
Tanpa banyak basa-basi, Liam rogoh seluruh suratnya dari tas, dan membagi dua dengan Louis, “sekarang, siapa yang akan menemukan surat dari Ž, hm?”
Louis pajukan bibir bawahnya sejurus dengan ia angkat alisnya sebelah, merasa tertantang dengan ucapan Liam.
Sibuk membuka surat satu persatu, sehingga tak ada perbincangan di antara mereka untuk beberapa saat, hingga Louis kembali memulainya, “aku menemukan surat ini,” ucapnya seraya menyodorkan satu surat beramplopkan warna merah muda.
Pun Liam menerimanya, lalu membukanya, serta membacanya, “‘Hi, Liam, aku Michelle, lagi, he–he. Duh, kenapa aku menjadi senang mengirimimu surat, ya? Apa aku sudah termasuk seorang penggemarmu? Ha–ha. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu, Liam, bagaimana? Oh, ya, apa kau menyukai gantungan dariku? Kuharap kau menyukainya. Ok, hanya ini mungkin, salam dari penggemar barumu ini, Liam, ha–ha. Sincerely, Michelle.’”
Louis pura-pura batuk, “wah, penggemar baru,” ucapnya, mungkin lebih tepat—ledeknya.
“Ah, dia hanya menanyakan kabarku, dan tentang gantungan itu,” kata Liam seraya melipat kembali kertas, dan memasukkannya ke dalam amplop.
“Lalu, bagaimana kau akan membalas pertanyaannya?”
“Engh—kau ‘kan kekasih dari kakaknya, itupun jika kau ingin membantuku,”
“Well, aku harus menjawab apa?”
“Aku baik, dan aku suka gantungannya,” katanya seraya membuka surat terakhir yang bersemayam di pihaknya.
“Oke, aku sudah membaca semua surat ini, semuanya mengatakan, mereka menyukaimu, so? Kau menemukan surat dari Ž?”
Liam mendongak, menganga, serta menggeleng, “dia tidak mengirimiku surat hari ini?”
“Jadi, kau menginginkan surat darinya? Yang misterius dan tidak diketahui? Kenapa kau tidak menginginkan surat dari Michelle saja?”
“Tidak, aku hanya menginginkan alfabet selanjutnya,”
“Itu sama saja, Liam,”
“Apa kau akan menemaniku ke loker untuk mengeceknya?”
“Boleh,”
Dua pria tampan yang populer di kampus itupun berjalan di koridor, sesekali, banyak yang mengajak Liam maupun Louis untuk potret bersama. Liam dengan atletisnya terus membalas senyuman para gadis—pria juga ada— yang memberinya senyuman. Sedangkan Louis, ia tampak dingin, tapi, sikapnya itulah yang terpancar darinya, bahwa dia cukup keren, belum lagi tas gendong, yang hanya ia kaitkan satu di bahu kiri, kaitan lainnya ia sengaja juntaikan, keren, bukan?
Sesampainya di dekat loker, Liam dan Louis tengah menyaksikan dua mahasiswi yang sedang menyimpan sesuatu—surat di loker Liam dengan hati-hati, berharap, Si Pemilik Loker tidak tahu apa yang mereka lakukan. Pun Liam menatap Louis serta menahan tawanya, tapi, partner-nya itu justru tertawa membludak mengingat apa yang baru saja mereka lihat.
Kedua mahasiswi itu pergi seraya cekikikan, Liam dan Louispun segera membuka loker Liam yang—wow, berapa abadkah Liam meninggalkan lokernya? Ini sudah terlihat menggunung, kembali.
“Apakah jika aku cacat tak mempunyai kaki dan tidak bisa melakukan Lay–Up lagi mereka akan tetap mengirimiku surat?” tanya Liam yang benar-benar merasa terkesima dengan jumlah pengirim surat yang semakin menumpuk.
“Mungkin,” jawab Louis, pun Liam merauk keseluruhan suratnya, “aku malas kembali ke café,” lanjut pria berkumis tipis itu seolah memberi isyarat untuk membuka surat-surat Liam tidak di café, “disini saja, hanya surat Ž yang kau inginkan, bukan?”
“Oke, kita duduk disana,” seru Liam seraya menunjuk bangku panjang yang berada di lorong koridor menggunakan dagu, Louis mengangguk.
Membuka lembut satu persatu suratnya, pun Louis yang menemukan surat dari Ž.
“‘Liam! Telatkah aku mengirimimu surat? Maaf jika seperti itu, aku ada urusan dengan Si Kapten Basket, he–he. Alfabet ketiga! Apa kau senang? Jangan pernah coba-coba untuk menebak siapa aku, oke? Itupun jika. Simpan ini, ya, love you. Sincerely, Ž.’, suratnya agak pendek, mungkin dia sedang tidak mood,”
“Huruf apa yang dia berikan, eh?”
“S,”
×××
Alfabet dari Ž udah huruf apa ajasi? Gue lupa.Terus cerita ini garing gaksi?
Terus nama yang pas buat Ž apa kira-kira?
Baca yang Different de itu sepi bat.
YOU ARE READING
Fourteen ≠ ljp
Fantasy❝Someone always send me a letter with an alphabet everyday.❞ -Liam James Payne COMPLETED - hope you guys some new readers respect me because I was give my best to write this story, leave your votes and comments in every chapter is enough. Thank you...