Fifth Letter

383 132 20
                                    

–20 Agustus 2014
–Liam’s POV

Dari sejak saat aku menginjakkan kakiku di kampus, aku benar-benar tidak bisa mengunjungi lokerku, mata kuliah hari ini sungguh penuh, dan sekarang, arlojiku sudah menunjukkan pukul 4 sore, dan—lagi-lagi, aku tak bisa mengunjungi lokerku, karena aku ada kumpulan anak-anak basket, ugh.

Sesampainya aku di lapangan basket—indoor—, kulihat teman-teman selapanganku sudah berkumpul dan bercengkerama asal, hanya tak ada Zayn disana. Kudaratkan bokongku untuk duduk di samping Nick, seluruh mahasiswa maupun mahasiswi menjulukinya Si Raja Dribble, well, dia cukup lihai dalam melakukannya.

“Dimana, Zayn? Dia belum datang, eh?” tanyaku pada Nick.

“Dia sebentar lagi juga akan menampakkan batang hidung mancungnya,” jawab Nick yang sedikit membumbui ucapannya dengan nada humor, akupun sedikit terkekeh.

Guys! Sudah lama?” kuputar leherku, kudapati Zayn yang berjalan semakin mendekat, seraya tersenyum ke arah kami semua.

“Tidak, duduk dan katakan ada apa,” jawab Nick ketus, oops.

Perlu kalian ketahui, sebenarnya, Nick dari dulu berambisi ingin menjadi Kapten, namun, justru Pelatih menginginkan Zayn yang menjadi Kapten, karena Zayn lihai dalam segala teknik, meskipun Lay–Up dan Dribble sudah menjadi ahliku dan ahli Nick. Beruntung, Nick tak begitu marah dan kecewa saat terpilihnya Zayn, ia sadar diri, bahwa ia tak sehebat Zayn. Namun, kadang ia masih sulit mengontrol keiriannya.

Zayn ikut duduk di sampingku, dan kami membentuk sistem melingkar, “lusa, kita ada tanding lagi dengan Brille University, ready?”

Always,” sahut Nick spontan, aku mengangguk disusul teman-temanku yang lain.

“Besok kita latihan mulai siang pukul 1, sampai selesai, siap? Kuharap, ada yang rela meninggalkan mata pelajaran demi pertandingan sengit ini,”

Well, untung besok aku tak ada jadwal siang, jadi, aku biasa-biasa saja, dan teman-temankupun mengangguk.

Sementara semua sudah keluar dari tempat, aku justru menghampiri Zayn, “Zayn!” panggilku.

Pun Zayn menoleh, “ya, Liam? Ada yang ingin kau tanyakan?”

“Engh—bisa kau bantu aku?”

×××

“Ini–sangat–banyak, Liam, astaga,”

Aku mengajak Zayn ke café untuk membantuku membuka surat satu persatu, karena Louis ada janji dengan kekasihnya. Dan inilah ekspresi keterkejutan Zayn saat aku membagi keseluruhan surat yang kuterima hari ini. Dia bilang banyak? Bagaimana jika surat yang ia terima jauh lebih banyak dariku? Dan ekspresinya tadi hanya ingin membuatku terkesima?

That the reason why I asked you to help me, Capt,”

Well, apa tugasku? Membuka dan membacanya satu persatu untukmu?”

Dia bodoh? “tentu tidak, Zayn, memang dibaca semua, tapi, baca dalam hatimu, jika ada yang menarik, boleh bacakan untukku,”

“Oke, aku mengerti,”

25 menit.

Yes!” reflek, aku memekik kala aku menemukan surat dari Ž, sebut aku kampungan, tapi aku benar-benar senang.

“Liam? Kau tidak mungkin tidak berbagi kesenangan padaku, ‘kan?”

Oh. Aku sampai lupa bahwa di hadapanku ini ada Si Kapten.

“Oh, Zayn, aku mendapat surat lagi dari Ž,”

“Oke, bacakan,”

Pun aku membuka amplop hitam itu, dan— “what?” hanya alfabet? Tanpa surat basa-basi? Sialan.

“Ada apa, eh?” tanya Zayn yang cukup membuyarkan pikiranku yang kelewat bingung. Astaga, Ž semakin misterius.

Aku mendongak menatap Zayn dan menunjukkan satu alfabet di tangan kananku, pun Zayn mengangkatkan sebelah alis tebalnya tanda tak mengerti.

“Ž hanya mengirimiku alfabet, Zayn, tanpa suratnya yang—well, cukup membuatku bersemangat,”

Zayn tertawa, oke, aku akui ucapanku agak absurd, “kau disemangati sosok tak berujud, Liam, ha–ha,” ucapnya disela tawaannya, dan dia benar. Pun Zayn berhenti tertawa dan aku masih menatapnya, “well, alfabet apa yang dia berikan padamu hari ini?”

“L,”

 

 

 
×××

Masih pada minat ga?

Dan vote sama comment-nya, please?

Fourteen ≠ ljpWhere stories live. Discover now