Thirteenth Letter [1]

301 88 14
                                    

Before, thanks for 2k readers and 800+ votes, enjoy x

 

×××

–28 Agustus 2014

Sore ini aku ada latihan Basket, berhubung aku yang memimpin—karena Zayn sudah pergi—, jadi, aku harus hadir dan banyak bicara, dan harus ada yang selalu dibicarakan. Jam masih menunjukkan pukul 1 siang, aku berencana menunggu Michelle di café dengan Cappuchinno Latte kesukaanku. Kupainkan juga ponsel usangku sekedar untuk bermain games, lumayan untuk mengusir rasa bosan dan sedikit kantukku karena menunggu Michelle yang hampir 17 menit kutunggu.

“Liam!”

Astaga, pekikkan siapa ini? Pun aku menoleh dan mendapati gadis cantik yang tersenyum merekah ke arahku.

Hi,” sapaku, seraya membalas senyum manisnya, “duduklah,”

Pun dia duduk di depanku dan masih tersenyum, siapa dia?

“Kau tahu aku?” spontan aku menggeleng kala mendengar pertanyaannya, juga dia sempat mendengus sebelum berbicara lagi, “aku Agnina, kau ingat? Aku baru pulang dari New York tadi malam,”

Oh, pengirim surat yang bersamaan dengan Ž itu? Aku ingat sekarang.

“Oh, aku ingat, ada apa, eh?” tanyaku.

“Emh—kudengar sekarang kau bersama Michelle, benarkah?” tanyanya, mendengar dari mana dia?

“Ya, Agnina. Oh, ya, besok datang ke acara ulang tahunku, ya? Pukul 7 di rumahku. Ajak teman-temanmu juga, oke?” undangku, dia tersenyum seraya mengangguk dan tak henti menatapku, ugh.

“Ya, Liam. Kukira kau tidak akan mengundangku,” satu detik setelah itu dia tertawa ringan, cukup membuatku terkekeh sebentar.

“Aku mengundang siapapun, jika kau ingin mengundang kekasihmu yang mungkin kini sedang berada di Venus, kau boleh mengajaknya,” payahnya leluconku.

“Ha–ha, kau bisa saja, Liam. Ngomong-ngomong, dimana Michelle? Apa dia akan marah jika aku sedikit bercengkerama bersamamu?” tanyanya, lagi.

“Aku sedang menunggunya, kurasa tidak, dia baik, banyak yang bilang seperti itu, meskipun ada sebagian yang berkata tidak akan satu hal itu,” kataku, lalu kembali menyeruput minumanku.

“Oh, aku pergi dulu jika seperti itu, see ya tomorrow, Liam,” pamitnya seraya melangkah pergi dari mejaku, pun aku hanya tersenyum sembari melambaikan tangan selama 3 detik padanya.

Kulihat, Agnina berpapasan dengan Michelle di pintu café, gadis itu juga sempat merekahkan senyuman kepada Michelle. Setelah itu, Michelle berjalan ke arah mejaku sambil tersenyum. Ugh, manisnya.

Hi, Sayang,” sapanya, lalu duduk di depanku, “kursinya terasa hangat. Ada yang baru duduk disini atau ini hanya perasaanku saja?”

“Ada yang baru duduk disana, gadis yang tadi berpapasan denganmu di pintu café, kau ingat?” dia mengangguk, “aku menunggumu lama,”

“Maaf, Liam. Tadi aku sibuk menyusun rencana,” katanya dalam satu napas.

“Rencana?”

“Ugh—emh, rencana pesta ulang tahunmu, Sayang,” katanya nampak mencari alasan.

“Kau tidak perlu melakukan itu, hadirnya dirimupun aku sudah merasa bahagia,”

Dia blushing.

“Kau bisa saja,”

“Aku rindu padamu, Michelle. Kita jarang bertemu akhir-akhir ini,” kataku, Michelle mengambil napasnya berat.

Fourteen ≠ ljpWhere stories live. Discover now