Ninth Letter

317 113 28
                                    

–24 Agustus 2014

“Liam!” aku menoleh.

Hi, Michelle, ada apa, eh?”

“Tidak, kau mau kemana?”

“Lokerku, ada apa?”

“Kubilang tidak, aku hanya ingin berjalan bersamamu, boleh?”

Sepagi ini sudah ada yang membuatku senang? Astaga. Pun aku tersenyum seraya mengangguk. Dan lagi, banyak yang mengolok-olokku dan Michelle. Dan kini aku yakin bahwa, aku menyukainya lagi.

Sesampainya di loker, rupanya Michelle masih berdiri seraya tersenyum di sampingku. Dan, memang banyak surat yang sudah bertengger di dalam lokerku, tapi aku malas membukanya, aku tidak mau pagiku berlalu bersama Michelle hanya untuk sekedar membaca surat dan menemukan huruf misterius.

“Kau tidak ada kelas?” tanyaku pada Michelle yang sedang bersandar di loker samping lokerku.

“Tidak, kau?” aku menjawabnya dengan gelengan, tak lupa, senyumpun aku ikutsertakan. Michelle benar-benar mengalihkan duniaku.

Pun aku mengambil buku Sejarahku karena siang nanti ada tes, dan menutup kembali lokernya.

“Menurutmu, sekarang kita kemana?” tanyaku, Michelle tampak berpikir.

“Taman?”

×××

Sesampainya di taman, aku dan Michelle duduk di atas rerumputan hijau yang dipotong rapi. Taman samping kampusku. Aku jarang berkunjung kemari karena—yeah, dengan siapa? Louis? Kalian tahu sendiri dia sibuk kemana dan dengan siapa. Zayn? Dia sibuk dengan kelas dan tugasnya yang lebih banyak dibanding aku. Dan sekarang, aku bersama Michelle, yang mungkin hari ini dan seterusnya akan terus menemaniku. Wait, what? Menemani?

“Michelle?”

“Ya, Liam?”

“Louis bilang kau—”

“Apa?” astaga, dia memotong ucapanku, dan aku masih dengan keadaan membuka mulutku, pun aku melanjutkan perkataanku.

“—menyukaiku?”

Michellepun langsung memalingkan pandangannya dariku. Astaga, apa aku salah? Rambut panjangnya yang sengaja ia geraipun menutup pandanganku. Kulihat dia mengusap-usap wajahnya, ada apa dengannya?

Pun Michelle mengangkatkan wajahnya dan kembali menatapku. Sialan. Dia cantik.

“Jika ‘iya’? Jika ‘tidak’?” tanyanya.

Kuakui, kini aku yang memalingkan pandanganku. Aku harus menjawab apa? Dia mematikan dan menghidupkan dalam waktu bersamaan.

“Engh,” aku menarik napas panjang, “jika tidak—ya, tidak apa-apa, jika iya—emh,” aku menarik bibirku membentuk garis.

“Jika iya?”

Oke, nyawaku sudah terkumpul, aku menatapnya, “Michelle, kau harus tahu sesuatu, emh, aku—menyukaimu sejak dulu saat kau menjalani ospek, he–he,”

Astaga. Astaga. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Aku bisa merasakan pipiku memanas. Dan, aku bisa melihat bahwa Michelle tersenyum padaku.

“Terima kasih telah menyukaiku, Liam,” katanya.

Jadi, dia hanya mengucapkan terima kasih? Perasaannya padaku apa? Oke, seharusnya kau sadar, Liam. Kau bukan apa-apa. Bukan.

“Ya, sama-sama,” kataku seraya memalingkan pandangan, lagi. Aku malu.

Fourteen ≠ ljpWhere stories live. Discover now