Bila aku mulai tertarik padamu, bencanalah bagimu.
Sudah tiga hari dengan hari ini. Kemana dia? Perkataanku tidak salah bukan? Apa dia sangat syok? Mengetahui aku bukanlah makhluk yang bernama manusia? Atau dia mengalami yang namanya kalau tak salah kalian menyebutnya 'sakit hati'. Hey, aku menyuruhnya menjauh demi kebaikannya sendiri!
Lagi-lagi pikirannya melayang pada Sae Rin atau yang akrabnya dia panggil Rin. Dia tak mendengarkan penuturan guru-guru yang mengajar sejak kemarin. Ahh dia memang selalu seperti itu. Lihat saja posisinya sekarang, duduk dengan satu kaki terangkat dan silangan tangan didepan dadanya. Sudah sangat membuatnya kebosanan perihal penjelasan guru sejarahnya itu sudah dia dengar ribuan bahkan ratus ribu lebih.
Sejak tiga hari yang lalu Jimin merasa berbeda. Semenjak Rin tak masuk, atmosfernya seketika berubah. Ada yang kurang saja entah itu apa. Beberapa kali dia menepis pikirannya tentang gadis itu pun, bagian dari dalam dirinya menarik lebih ingatan akan Rin. Sebenarnya ada untungnya juga bagi Jimin. Dia tak tersiksa untuk sementara ini, ya kalian taulah.
"Hhh.." Jimin bangkit dari duduknya. Suara geseran kursi itu membuat semua orang menatapnya dan memberhentikan penjelasan guru didepannya.
"Kau mau kemana tuan Park?" tanya guru itu membenarkan kacamata mata kucingnya yang elegan.
"Bel.." jawab Jimin berjalan kedepan melewati semuanya dengan wajah polos dan lagak coolnya.
Dan saat Jimin melangkah keluar, bel pun berbunyi.
Jimin melangkahkan kakinya menuju lorong loker. Dia yang membuka dan memasukkan peralatannya, membeku sesaat menatap loker disampingnya yang sudah tiga hari lamanya tidak dibuka. 'Kemana' dan 'kemana' saja kata dibenaknya. Dan itu membuat kepalanya pening dan suhu tubuhnya..panas?
Sial! Hanya memikirkannya saja membuat selku kacau.
Jimin segera berlari menuju toilet. Dia membasuh wajahnya, menenangkan pikirannya. Hingga satu telepati memasuki kepalanya. Jimin membuka matanya perlahan, memasuki satu bilik, mengunci dan menyenderkan tubuhnya pada pintu bilik tersebut.
Hey Jimin.
Chh, kau disini rupanya? Kapan kau datang?. Balas Jimin melancarkan smirknya sedikitpun tak merasa dikejutkan.
Mengapa nadamu itu seperti kecewa mengetahui kedatangnku, eoh? Menyebalkan.
So, aku harus bagaimana? Mengadakan pesta untukmu dan mengundang semua vampire disetiap penjuru dunia ini untuk menyelamati vampire kuda sepertimu? Tak penting..
Hyak! Perhatikan bicaramu itu, kau kasar sekali. Sudahlah lupakan. Aku kemari untuk kaulah, bila kau tak menyusahkan juga aku takkan kesini. Dan ingat..kau harus mendengarkanku dan bila kau ingin beralasan setidaknya carilah yang tidak picisan.
Jimin berdecak dan membuka pintu bilik itu agak kasar. Dia tau apa yang akan dibicarakan temannya itu. Ya, apalagi bila bukan mengajaknya kembali ke akademi suram itu?
Mood Jimin hari ini sepertinya semakin tidak baik saja. Buktinya dia tidak peduli langkah kaki pengendap-endap itu terus dibelakangnya sedari dia keluar dari toilet. Dia hanya mempercepat langkahnya ke ruang musik tempat biasa ia meluapkan semua emosinya dengan memainkan tuts-tuts hitam putih yang berjejer rapih disana.
SLET. Pintu tergeser kasar. Tubuhnya yang bergejolak seketika mendingin saat dia menjatuhkannya dikursi putih panjang itu. Dia mulai menekan satu per satu jejeran tuts didepannya. Dia bermain layaknya professional pianist of the world.
Suasana ini begitu familiar baginya, dia hanya berusaha tidak menghiraukannya untuk yang satu ini. Meskipun dia sudah tau apa yang akan terjadi dengannya diruangan ini nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Red Hair
FanfictionJangan mencoba untuk mendekatiku. Bila aku mulai tertarik padamu, bencanalah bagimu. Karena ketika aku memerah, aku bukanlah lagi sosok yang kau kenal. Tapi kenapa? Setelah kau mengetahui semuanya, kau tak kunjung menjauh. [Terinspirasi dari Harry P...