XVI

150 15 1
                                    






Chapter XVI

♣️♣️♣️

Esoknya, Clara langsung di bombardir pertanyaan oleh kedua temannya. Kemarin sebenarnya mereka telah membombardir pertanyaan-pertanyaan itu, namun Clara terlalu senang sampai tak bisa berkata-kata. Bahkan semalam ia takut ia menyebut nama Arvel dalam tidurnya. Meskipun hatinya berpelangi, ia teringat akan cewek kemarin itu. Setelah mengobrol dengan Clara, Arvel menghampiri cewek itu dan mereka berdua pergi. Tatapan cewek itu begitu sinis dan tajam, membuat Clara memikirkannya dan khawatir.

Ia tahu bagaimana kejamnya kakak-kakak kelas itu, terutama pada junior-juniornya. Ia pernah mendengar ada seorang temannya yang sudah berniat pindah sekolah karena perlakuan kakak kelas padanya, padahal ia baru 3 bulan berada disini. Clara tahu bagaimana semua kekejaman itu tak bisa dia anggap enteng karena dampaknya memang benar-benar nyata. Dan tatapan seperti kemarin tidak muncul apabila tak ada masalah.

"Lah? Kok lo gak bilang apa-apa lagi sih?" tanya Nika sambil sesekali menjilat es krimnya.

"Iya, Ra. Kok lo biarin dia pergi gitu aja?" tambah Icha yang sedang duduk disebelah Clara.

"Ya karna gue gabisa gerak lagi! Gue beku, sumpah! Gue aja ngomongnya gak lancar gitu! Ditambah lagi ada itu.. Ituu!" geram Clara, menghentak-hentakkan pulpen ke mejanya.

"AH! Gue lupa! Gue udah nyari tau tentang pacarnya itu. Dia tuh anggota Rebels terpilih. Gue ulang, ter-pi-lih. Gila ga?!" seru Nika sementara Icha dan Clara hanya mengernyit bingung. Nika menyadari kebingungan mereka dan menghela napas.

"Duuh. Itu artinya dia gak mendaftarkan dirinya ke geng itu, tapi dipilih sama senior-senior atas. Dan kaum terpilih itu biasanya jadi inti, atau anggota tetap. Gak bisa diubah, gak bisa dibuang. Karena kaum terpilih itu cuma ada 4 orang tiap tahunnya. Dikit, langka. Harus dilestarikan." Jelas Nika panjang lebar.

"Anjir.." kutuk Clara dan Icha bersamaan.

"Nih ya. Dalam Rebels, inti itu dipilih berdasarkan harta dan reputasi. Nah gue belom tau kalo di Rush inti dipilih berdasarkan apa. Lanjut, reputasi seorang Kenzie Valera itu udah gede banget, emang dari nenek buyutnya dia udah kaya. Itu lho, perusahaan Alloretta. Yang punya toko dimana-mana."

"Hah? Alloretta itu punya dia? Anjir, emak gue sering beli tas disitu.." sesal Icha.

"Iya. Kenzie Valera Alloretta. Harta gausah ditanya. Dia kali yang bayarin listrik sekolahan." jawab Nika.

"Hah..? Kemaren dia ngeliatin gue sinis banget gitu, kok gue jadi takut ya.." gumam Clara khawatir.

"Udah, berdoa aja. Siapa tau dia lupa." kata Nika sambil mengunyah sisa wafer eskrimnya. Mendengar semua perkataan Nika itu, Clara semakin merasa kecil. Ia hanya terduduk diam, merenung. Ia sudah merasa kecil didepan Arvel sebelumnya, karena ia sadar akan dirinya yang zonk dibandingkan dengan ratusan siswi yang ada di sekolah ini. Kini setelah semua pernyataan itu, Clara tidak lagi merasa kecil, ia merasa dirinya hanya partikel atomik dimata Arvel.

"Ada yang namanya Dylan gak?" tiba-tiba Clara mendengar suara pangerannya. Ah, sebegitu menghayalnya ia sampai-sampai berhalusinasi keberadaan Arvel disini.

"Aksana Raudina Dylan mana?!" kini suara cowok lain mendekat. Clara mendongak dan mendapati serombongan cowok-cowok sedang mengerubungi podium kelasnya, dan ada Arvel disana.

"Anjir ada apaan nih!" bisik Nika sambil melotot. Ia berpindah duduk ke meja disebelah Clara.

"Gue Dylan. Napa?" bocah yang sedang makan itu medongakkan kepalanya kepada cowok-cowok itu, bahkan tak mau berdiri. Semua mata langsung melirik  Dylan. Beberapa senior itu saling menatap satu sama lain dan sesekali menyeringai misterius, seakan sudah menduga apa yang barusan terjadi.

"Weits.. Sini bentar dong!" suruh seorang cowok agak botak.

Clara dan seluruh siswa yang ada dikelas itu menatap Dylan yang ternyata masih mengunyah makanannya, bahkan memasukkan sesuap lagi ke mulutnya.

"Laghi mahan." tukasnya dengan mulut masih penuh, tak peduli.

Clara memutar bola matanya, tampak terbiasa dengan sikap bodoh Dylan. Lalu ia memfokuskan tatapannya kedepan, mencari Arvel. Setelah menemukan Arvel, ia terus menatapnya berharap akan mendapat tatapan balik darinya. Namun nyatanya tidak. Ah! Dia menatap kearah Clara. Clara tersenyum, namun senyum itu langsung lenyap karena Arvel bahkan seperti tidak menyadari keberadaan Clara disini. Ia langsung mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Elahh. Bentar doang!" suruh cowok paling depan.

Clara masih tak peduli. Ia kembali melihat Arvel, yang kini menatap kearah Clara. Tidak, ia tidak menatap Clara, ia menatap seseorang disebelah kanan Clara. Nika. Ah, Clara lupa ada Nika disini. Tentu saja Arvel menatap Nika. Nika cantik, banget. Siapapun pasti meliriknya. Melihatnya. Menatapnya. Memperhatikannya. Dan akhirnya mulai menaruh harapan padanya. Kini harapan Clara pada Arvel semakin menciut lagi.

Pemikirannya itu dibuyarkan oleh suara tepukan tangan dan keramaian didepan. Clara menatap untuk mengetahui ada apa, dan ia mendapati Dylan sedang berjalan kearah podium kelas. Dengan malasnya.

"Nahh! Gitu!" seru cowok agak botak tadi. Mereka kemudian membimbing Dylan sehingga berada ditengah mereka.

"Apaan sih ini?" tanya Dylan.

"Rez, tuh. Urusan lo." kata Arvel, mengangguk kearah Dylan yang menatapnya dengan tatapan tak acuh. Kemudian seorang cowok bertubuh tinggi, berjambul dengan pakaian yang super gak niat muncul kedepan Dylan, lalu tersenyum sarkastik. Kemudian ia tampak membisikkan sesuatu pada Dylan, yang direspon dengan kerutan alis.

"Hah? Tadi lu bilang apaan?!" tanya Dylan sambil agak maju, tetapi ia ditarik oleh cowok-cowok lain disana.

"Woy semua! Diem!" perintah cowok itu, kemudian cowok-cowok lain ikut menyuruh kelas X-IPA 1 itu untuk diam. Dan perintah itu sukses mengundang seluruh perhatian kelas. Bahkan anak-anak kelas lain tampak mengintip dari luar jendela diam-diam.

"Gue Reza. Ketua Rush. Hari ini, gue dan anggota Rush lain dengan ini menyatakan.." ia sengaja memotong perkataannya dan melihat teman-temannya sejenak. Nika langsung menengok kearah Clara, seakan memberitahu apa yang akan disampaikan Reza itu adalah hal yang sangat gak biasa. Clara hanya membalasnya dengan tatapan bingung, karena ia sendiri tidak tahu maksud Nika.

"Aksana Raudina Dylan sebagai inti Rush. Sebarin ke yang lain. Sekian, makasih!" ujar Reza, mengundang pelototan dari setiap pasang mata yang ada, kecuali anggota geng itu yang malah bersorak dan bertepuk tangan.

♣️♣️♣️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Happily Never AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang