III

859 18 6
                                    

Chapter III

♣️♣️♣️

Dylan hampir saja terbatuk mendengar perkataan Mika tadi.

"Dia beneran sekolah disini, Dy."

Dylan melongo.

Dia?

"Serius?"

Mika mengangguk mantap, yakin akan pernyataannya. "Gue liat dia tadi."

Dylan baru saja mau menjawab ketika ia menyadari cewek disebelahnya sudah maju setengah meter dan sedang menunduk untuk memperhatikan nametag miliknya.

♣️♣️♣️

Clara masih melihat-lihat nametag Dylan. Entah mengapa ia jadi kepo tentang asal sekolah cowok berkulit sawo matang ini. Eh, berkulit item kali ya?

BUGH!

Clara langsung mengalihkan pandangannya kearah podium, asal suara benda jatuh itu. Gak ada apa-apa. Ah, palingan cuma mic yang jatuh. Pikirnya.

Ia lalu menengok kekanan, berencana kembali melihat nametag Dylan. Nafasnya tersentak ketika melihat satu pasang bola mata ada tepat didepan matanya, hanya berjarak 5cm.

"Lo beneran naksir sama gue, iya?" Tanya Dylan sambil menaikkan alis.

Clara spontan menjauh, mencari oksigen setelah melihat wajah Dylan dari jarak yang terlalu dekat.

"Ekh-ekhem. Gue cuma kepo lo dari sekolah mana, elah. Gausah geer banget bisa?" Jawab Clara setelah nafasnya kembali normal.

"Cewek tuh ya. Kalo udah ketangkep basah, ada aja alesannya. Mending kalo bikin orang percaya," sindir Dylan.

"HEH! Cowok lebih ngeselin ya. Kalo udah ngerasa ganteng, langsung deh selengean. Jalan berasa presiden, geer dimana-mana!"

"Maksud lo apa?! Gak nyambung banget sih."

"Gitu aja gak ngerti, hah?! Intinya, lo itu kepedean. Ke-pe-de-an!!" Clara menekan kata pede.

"Lah daripada lo? Tukang ngibul! Alesan dimana-mana!"

"Heh! Seenak-enak jidat lo ngomong begitu, ya!" bentak Clara tak mau kalah.

"Jidat gue gak enak! Aneh lo!" Dylan kini benar-benar kesal.

"Gue gak peduli jidat lo rasa apaan! Mau rasa blueberry kek, rasa strawberrry kek, mau rasa permen karet gue gak peduli!"

"Lah, lo pikir gue peduli sama lo apa?!"

"Saya peduli karena kalian udah bikin keributan." sebuah suara membuat keduanya berhenti berdebat. Lalu keduanya menengok kesamping, disana sudah ada OSIS perempuan yang tadi berbicara didepan.

"Ikut saya ke ruang BK!"

♣️♣️♣️

"Aksana Raudina Dylan. Benar itu nama kamu?" Tanya si kakak, tampak menginterogasi Dylan yang duduk didepannya.

"I-iya kak," jawab Dylan gugup.

"Dan kamu... Adora Clara Amanda?" Kini giliran Clara yang ditanya.

"Iya kak, saya Clara.." Jawab Clara lirih.

"Tunggu! Kamu Clara? Kelompok Anggrek?" Tanya kakak itu lagi, matanya melebar.

"Betul kak, saya kelompok Anggrek.." Clara semangat, bisa aja kakak ini melepaskannya karena kasihan pada cewek secantik dirinya. Eh?!

Mimik kakak berambut ikal itu sumringah, tampak senang. Lalu seketika berubah. "Oh. Jadi kamu ya yang tidur pas OSIS ngomong tadi?!"

Jeblos.

Tepat sekali. Kini apa? Ia bakal diomelin apa lagi? Semua ini gak bakal terjadi kalo gak ada Dylan si tengil!! Omel Clara dalam hati.

"Ma-maaf kak, saya kurang tidur semalam.."

"Emang kamu gak tau hari ini MOS?"

"Tau kak.."

"Terus? Kenapa bisa kurang tidur!"

Clara hanya menunduk malu. Takut dan gugup.

"Eh! Jawab!" Bentak si kakak, merasa jengkel akan Clara yang hanya diam membisu.

"Ya ampun Za, adek kelas polos begitu aja lo santap." Ceplos sebuah suara.

Tak lama, seorang pria bertubuh tinggi dan proporsional muncul dari balik lemari dokumen. Kacamata nerd hitam dan jambul berantakannya tampak serasi. Baju putihnya yang berantakan dikeluarkan dari celana. Ia memiliki kulit sawo matang, manik mata cokelat indah dan pipi yang tirus. Cowok itu tersenyum dan menyenderkan badannya pada ujung lemari.

Clara menatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambut berkali-kali, dan ketika melihat mata cowok itu, Clara mendapati tatapan lembut darinya.

Jantung Clara seakan berhenti berdetak. Ia sesak napas. Ia tak bisa bernapas, tepatnya. Cowok yang berdiri dengan melipat tangannya itu membuatnya termangu kagum. Seakan ada aliran listrik menjalar diseluruh tubuhnya, yang membuatnya tak bisa melepas pandangannya dari cowok itu. Seakan waktu berhenti, yang membuatnya tak bisa bergerak sedikitpun. Seakan ia ada berada dipuncak dunia, yang membuatnya merasa dunia hanyalah miliknya seorang. Lalu ia memejamkan mata, bertanya-tanya apakah ini dunia dongeng atau dunia nyata.

Cowok itu ganteng banget. Fix.

"Vel, ini urusan gue sebagai ketua OSIS. Tolong jangan ikut campur." Tukas kakak cewek itu yang membuat cowok ganteng tadi terkekeh, lalu berjalan kearah pintu.

"JANGAN!"

Suara cempreng itu tanpa sadar keluar dari mulut Clara. Setelah sadar akan kelakuan konyolnya, Clara menutup mulutnya malu.

"Kenapa?" Tanya cowok tadi, berhenti saat tangannya sudah hampir memegang handle pintu.

"Mak-maksudnya... Jangan hukum saya, kak." Kata Clara beralasan.

"Haha, minta sama Fiza, jangan sama gue." Ucap cowok itu sambil tertawa kecil, melukiskan lesung pipi dalam dikedua sudut rahangnya. Jantung Clara berdetak tak beraturan lagi. Cowok itu melenggang pergi.

Lalu Clara perlahan menatap Fiza, ketua OSIS yang sedari tadi mengernyit bingung melihat kelakuan Clara.

"Yaudah. Asal gak kalian ulang, kalian boleh balik ke kelompok." Kata Fiza tegas, suaranya terdengar berwibawa.

"SE-SERIUS, KAK!?" Sahut Dylan sampai-sampai berdiri. Fiza melotot kaget, lalu kembali menenangkan diri.

"Kalo gak mau, yaudah. Mendingan kalian nyanyi sambil joget sekarang ju-"

"MAU KAK MAU!!" teriak Clara dan Dylan bersamaan, membuat keduanya saling bersitatap bingung, lalu jijik sendiri.

Fiza hanya mendengus. "Yaudah, jangan diulang, ya." nasihatnya sekali lagi.

"Iya kak." jawab Dylan lalu tersenyum.

"I-insyaAllah, kak." kata Clara tak bisa berjanji. Dylan menatap Clara heran hingga geleng-geleng kepala.

"Oke, balik ke kelompok masing-masing sekarang!" Suruh Fiza, membuat keduanya segera bangkit. Lalu kedua bocah itu berjalan kearah pintu, dengan Dylan didepan Clara.

"Clara!" Panggil Fiza membuat keduanya menengok. Clara sudah jantungan, takut-takut ia akan dihukum karna perkataannya tadi.

"Arvel. Kelas XI IPA-3." Jelas Kak Fiza sambil tersenyum.

Clara langsung memasang wajah bingung saat itu juga meskipun dalam hatinya, ia berterima kasih sampai ingin sujud syukur saat itu juga.

Ia harus segera mencari tau tentang Arvel itu.

♣️♣️♣️

Happily Never AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang