"Rainalisse, berhenti memberontak!" Teriak Meredith.
Apakah dia gila? Aku tidak akan pernah berhenti. Meredith menendang pintu dan menguncinya. Aku mendengar gedoran menghantam pintu itu. Adrial. Aku yakin itu pasti dia.
"Kau tahu, Rainalisse, aku sudah cukup bersabar denganmu." Gedoran itu mulai berubah menjadi bunyi hantaman yang keras. "Seharusnya aku membunuhmu bersama dengan keluargamu malam itu." Bisik Meredith.
Meredith?
Wanita yang selama ini mengurusku, menyayangiku?
Satu-satunya orang yang kupikir tidak akan menyakitiku?
Aku berteriak. Keras-keras. Kudengar Adrial menyerukan namaku lagi. Tetapi, aku terlalu tenggelam dalam kesedihanku. Wanita yang selama ini nemelukku, menciumku, mengatakan betapa sayangnya dia padaku, semua itu hanyalah kebohongan?
Di balik tirai kesedihanku, amarahku mulai bangkit. Aku menghentakkan lenganku yang dicengkram Meredith. Berhasil.
Aku berdiri dan tidak berpikir lagi apa yang kulakukan. Aku hanya mengikuti naluri bertahan hidupku. Aku mengulurkan tanganku ke depan seolah sedang melempar sesuatu ke arah Meredith. Dan dalam sedetik yang gila, tubuh Meredith terlempar sampai menabrak dinding. Aku mendengar suara derakan yang nyaring. Aku terisak.
Apakah aku yang melakukan itu? Dengan panik, aku menatap telapak tanganku dengan mulut yang terbuka tidak percaya.
Pada saat yang bersamaan, pintu sudah terbanting lepas dari engselnya. Adrial berdiri disitu sambil terengah-engah. Dia menatapku dan tubuh Meredith yang terkulai jauh diseberang.
"Ingatkan aku agar tidak membuatmu marah."
Aku tertawa getir. Itulah yang kuingat sebelum semuanya menjadi gelap.
***
Aku sedang menatap seorang pria yang memunggungiku.
Mantel bulu coklat mudanya menyapu lantai. Tubuhnya tinggi. Kekar. Rambutnya emas dan sedikit mengikal di ujungnya.
Seakan mengetahui kehadiranku, ia berkata, "Aphrodite." Tanpa menoleh. Aku dapat merasakan diriku tersenyum. Lalu, aku balas menyapanya, "Mars."
Tubuhku bergerak untuk mendekatinya. Pria itu tidak bergeming sama sekali. Aku berdiri tepat disebelahnya. Aku menatap ke bawah.
Kami berdiri di tepi jurang yang curam. Laut terombang-ambing karena ombak yang deras. Karang-karang tajam mencuat di beberapa tempat. Aku melirik ke sampingku. Dan aku terhenyak. Itu mata Adrial-ku. Biru laut indah yang membuatku tenggelam.
"Apa yang terjadi, Aphrodite?" Tanya pria itu. Suaranya merendah dalam setiap katanya. Dan caranya menyebut namaku.. memabukkan. Tunggu, namaku?
"Aku tidak tahu. Kurasa kau bisa menjawabnya." Ia menoleh. Rambutnya tersapu oleh angin yang ganas. Rakus ingin menyentuhnya. Dia tersenyum kecil. Lesung di kedua pipinya terlihat jelas. Mungkin ia terlihat konyol dan manis kalau tidak ada keliaran yang sudah melekat erat di balik kulitnya.
Dia menggeleng pelan. Bulu matanya yang lentik menaungi mata birunya teduh. "Biarkan waktu menjawabnya."
***
Aku mengangkat kelopak mataku yang berat.
Wajah Adrial muncul dalam penglihatanku yang masih sedikit kabur. Raut kecemasan menghiasi paras tampannya. Aku mengerjapkan mataku.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku dengan suara parau. "Kurasa kau melakukan sesuatu yang sedikit menguras tenagamu." Jawabnya.
Sedikit? Pasti tidak sedikit sampai aku pingsan. Aku termasuk salah satu orang yang kebal dari banyak penyakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Madness
FantastikRainalisse Siren adalah keturunan terakhir dewa Aphrodite. Rainalisse memendam kekuatan besar yang dia bahkan tidak ketahui. Dia tidak mempercayainya sampai kehidupan remaja 18 tahunnya segera menjadi tidak normal. keturunan dewa Zeus...