chapter 3

1K 27 1
                                    

"Siapa itu, sayang?"

Suara Meredith hampir membuatku salto ke belakang. Wow, aku tidak tahu dia ahli berjalan tanpa suara.

"Oh, hanya pria yang tidak sengaja kutemui di Joy's." Jawabku. Entah mengapa, aku enggan memberikan detail kepada Meredith. Padahal, biasanya kami selalu berbagi cerita tentang hal seperti ini.

Biasanya aku tidak perlu menyembunyikan sesuatu dari Meredith.

Aku melepas sepatu kets-ku dan meletakkannya di rak sepatu. Setelah itu, aku berusaha melewati tubuh Meredith yang terbilang lumayan pendek. "Kau tidak mau cerita tentang detailnya?" Tanya Meredith. Es melapisi setiap katanya. Membuatku merinding. Suaranya tidak hangat lagi seperti Meredith-ku yang dulu.

"Entahlah, Mer. Aku sedikit mengantuk." Aku berusaha menghindar darinya.

Saat kutatap matanya, sumpah, ia mulai menakutiku. Aku hanya ingin pergi dari bawah tatapannya.

"Mengantuk? Say, ini baru jam setengah tujuh." Nada suaranya terdengar begitu dipaksakan untuk menjadi ramah.

"Yeah. Itulah aku. Tukang tidur." Pencair suasana yang payah. "Selamat malam, Mer."

Bibir Meredith menipis. "Selamat malam."

Ia berjalan ke arah dapur sedangkan, aku berjalan menaiki tangga menuju ke kamarku.

Meredith tidak mengatakan 'aku sayang padamu' dan sesuatu juga menahanku untuk mengatakannya.

***

Hal pertama yang masuk ke dalam pikiranku saat aku terbangun adalah Adrial.

Aku baru sadar kalau selama kami mengobrol kemarin, ia tidak menceritakan sedikitpun tentang hidupnya. Ia hanya mendengarku bercerita. Sambil beberapa kali berkomentar. Dan aku terlalu tenggelam dalam pesonanya sehingga tidak menanyakan apa-apa tentang latar belakangnya.

Bodohnya aku. Aku bahkan tidak tahu nama belakangnya.

Hari ini, aku malas bangun dari tempat tidurku. Kurasa sebagian karena aku sedang tidak ingin bertemu dengan Meredith setelah percakapan singkat tetapi menyeramkan kami tadi malam.

Sungguh, apa yang membuat dia marah seperti itu? Apakah Adrial melakukan sesuatu yang ia tidak sukai? Apakah Meredith mengenal Adrial? Apakah karena ciuman itu?

Sial. Otakku bisa rusak jika terus memikirkan keajaiban 3 detik itu.

Aku menyibakkan selimut yang membungkus tubuhku. Berdiri dengan agak lemas. Aku berjalan ke arah jendela. Mengintip pemandangan. Saat aku menundukkan kepalaku untuk melihat jalanan, aku langsung membelalakkan mataku tidak percaya.

Adrial berdiri disitu.

Oh, sial, sial, sial, sial, sial.

Rambutku berantakan. Aku belum mandi sejak kemarin. Aku hanya mengenakan kaus tidak berlengan yang kedodoran. Aku belum sikat gigi.

Dalam kepanikan, aku segera meraih sisir yang diletakkan di meja samping ranjangku. Menggunakan kecepatan penuh, aku mulai menyisir. Untung saja, aku memiliki kamar mandi di kamar tidurku. Aku setengah berlari (secara teknis aku sepenuhnya berlari) menuju kamar mandi.

Sejak kapan aku memedulikan penampilanku. Apalagi, berdandan untuk seorang pria?

Terlanjur berada di kamar mandi, aku menyambar obat kumurku yang teronggok karena jarang kupakai. Aku mengocoknya dalam mulutku selama sesaat, dan membuangnya ke westafel. Sebuah kaca sebagai tutup kotak obat digantung di atas westafel itu.

Tanganku yang satu lagi masih memegang sisir.

Ya ampun, sadarlah. Aku tidak perlu mempercantik diri hanya untuk menemui seorang pria.

MadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang