Alula

87 3 0
                                    

Namanya Alula.
Perempuan berusia dua puluhan yang bercita-cita menjadi seseorang. Seperti kepala desanya yang selalu dibahagiakan oleh hartanya. Atau tetangganya yang seorang pemilik tanah dan sering pergi kemana-kemana.
Ah,seandainya ia dapat melancong ke seluruh negeri. Atau ia dapat membeli apa yang ia inginkan.
Tetapi ayahnya hanya seorang tukang kebun. Uang hasil kebunnya hanya cukup untuk persediaan makan. Sedangkan ibu setiap hari merawat adik-adiknya yang masih balita.
Alula menatap langit. Mencoba merangkai awan yang ada menjadi gambaran-gambaran sesuai khayalannya.
Ia menghempaskan dirinya di rerumputan yang layaknya permadani. Tersembunyi jauh di balik keramaian. Ia menutup matanya. Merasakan getaran nafas yang hadir di setiap hembusannya. Merasakan sentuhan angin yang bertiup pelan di telinganya.
Jauh di sana. Di desa tempat ia tinggal, ratusan orang sedang berpesta. Perayaan bulan purnama, begitu katanya.
Alula tak peduli. Ia lebih nyaman berada di padang rerumputan ini. Sendiri. Melukis langit dengan warna favoritnya.
Tidak berapa lama, ia mendengar seseorang datang. Langkah kaki yang berderap pelan.
Ia membuka matanya. Mencoba melihat siapa yang mengganggu waktu berkhayalnya.
Seorang laki-laki. Mungkin seusia dengan Alula. Usia dua puluhan.
"Hai",sapanya.
Alula mendongak. Ia menatap mata pria itu yang berwarna hijau dan rambutnya yang coklat tersibak oleh angin.
"Siapa?".
"Untuk apa kau tau namaku?", pria itu membalas.
Alula terdiam.
"Ada perlu apa kau kemari? Ada urusan denganku?".
Pria itu berpikir sebentar.
"Antara ya dan tidak. Tidak karena aku ingin menikmati hari ini dengan bersembunyi di padang rumput ini. Ya karena kau mengambil lahanku."
"Lahan? Padang rumput ini luas. Kau bisa tidur dimanapun kau mau".
"Memang. Tapi aku lebih menikmati dengan kesendirianku. Dan kau. Membuat aku merasa tidak sendiri".
"Aku yang datang duluan disini. Jadi jika kau tidak keberatan, kau saja yang pergi. Cari padang rumput di belahan lain dunia ini".
"Apakah seperti itu peraturan di dunia ini? Bahwa siapa yang lebih awal hadir yang memiliki sesuatu?".
"Aku tidak memiliki ini. Padang rumput ini bukan milikku. Tetapi jika kau ingin membahas siapa yang lebih berhak tidur di sini, tentu saja itu aku. Aku yang hadir lebih awal disini."
"Kenapa kau tidak ikut dalam perayaan bulan purnama?", tanya pria itu.
"Apa urusanmu?".
Alula mencoba menutup matanya kembali.
Kemudian ia mencoba mendengarkan jawaban pria itu. Tetapi pria itu tidak menjawab. Ia penasaran. Mungkin pria itu sudah pergi. Tetapi pria itu tidak kunjung menjawabnya.
Alula pun tertidur. Pria itu muncul kembali dalam mimpinya.
"Hai, Alula. Aku adalah bulan. Yang dielu-elukan oleh warga desamu. Aku bangga. Seperti layaknya pemimpin yang dielu-elukan oleh warganya. Tetapi ternyata setelah lama aku bosan. Aku merasa tidak butuh itu. Aku tidak butuh pengakuan. Seperti layaknya kalian para manusia. Kalian membuat diri kalian seperti matahari. Matahari yang membutuhkan planet lain untuk berputar di sekitarnya. Egosentris. Aku tersadar, bahwa aku adalah bulan. Aku selalu ada. Tetapi saat pagi dan siang tidak terlihat. Aku menenangkan kalian di saat malam. Katakan kepada warga di desamu, tidak perlu kalian menghabiskan uang dan tenaga kalian untuk mengelu-elukanku. Carilah sesuatu yang lebih penting di luar sana. Sesuatu yang lebih tinggi di bawah nalar. "
Alula membuka mata.
Malam tiba. Bulan purnama sudah muncul.
Alula terdiam.
Apakah semua ini nyata? Apakah ini hanya kebetulan semata? Atau memang ini semua terjadi karena ada alasannya?
Salah besar jika aku ingin menjadi matahari, pikir Alula.
Aku ingin menjadi bulan. Tidak perlu aku menjadi seseorang. Seharusnya aku pulang ke rumah. Membantu ibuku. Menyenangkan adik-adikku. Menyemangati ayahku.
Aku selalu ada. Tetapi aku tidak terlihat. Itu tidak apa-apa. Itu sudah cukup bagiku selama keluargaku bahagia.
Alula berlari ke desanya.
Ia punya cerita.
Dan ia akan menceritakan itu kepada semua.

DeltaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang