A chapter in life

25 3 0
                                    

Aku menengok jendela kereta untuk kesekian kalinya. Kulepas headsetku yang sedari tadi memutarkan lagu-lagu milik Rudimental. Kereta itu akhirnya berhenti. Tepat disaat aku tak sanggup lagi menahan diri untuk duduk lebih lama.
Aku melihat sebuah tulisan di stasiun, dengan tulisan besar-besar : "Welcome to Walson".
Walson. Sebuah kota kecil berpopulasi rendah yang sangat tenang.
Finally. Aku memaksakan senyum keluar dari wajahku. Aku mengikuti orang-orang yang nampaknya sudah hafal dengan stasiun ini untuk menemukan pintu keluar.
Aku membawa tasku dan melihat sekeliling di luar stasiun.
Aku mengecek jamku lagi. Memastikan. Ya, ini masih jam 8 malam. God, it's like a death town here.
Jalanan tampak sepi dan aku tidak melihat banyak kehidupan di luar sini. Yang kulihat di sepanjang jalan hanyalah lampu-lampu penerangan.
Well, i know it's going to be a small town but i never thought as this quiet.
Ternyata aku tidak akan mendapat taxi dengan hanya menunggu dan berdiri di jalan. Mereka punya nomer telepon khusus yang mana kau harus menunggu beberapa menit untuk dijemput. THAT i didnt know.
Tidak beberapa lama taxi datang dan aku segera masuk ke dalamnya. Di luar dingin sekali. Tentu saja, ini kan kota yang dikelilingi pegunungan. Aku melihat ke luar. Tidak bisa yang banyak dilihat. Rumah-rumah tampak berjejeran dengan pemandangan yang sangat gelap. Aku melihat pohon-pohon dan hutan di belakang rumah-rumah itu.
Seperti kebanyakan taxi di kota asalku, mereka menanyakan mengenai penumpangnya.
Aku menjawab, saya baru saja diterima college di sini. Dia percaya.
Sorry im lying. Im not into giving information about myself to stranger.
Aku baru saja dipindahkan oleh kantor pusat di kotaku untuk bekerja di kantor cabang. Ada beberapa pilihan kota, tapi tebak deh, aku memilih mana. Walson.
Kota yang dipenuhi pegunungan, dengan jumlah penduduk yang sedikit, yang mana orang menghabiskan kebanyakan malam minggunya di taman kota.
Aku tak tahu kenapa aku memilih kota ini. Well tidak ada yang salah dengan kota ini.
Mungkin karena aku sudah muak dengan perkotaan. Mungkin aku butuh lingkungan baru, ketenangan.
Aku bukan dibuang, aku mengingatkan diriku.
I'm alienating myself.
Tidak lama aku sampai di depan apartemenku. Aku bertemu dengan sang pemilik, ia menjelaskan beberapa hal dan memberikan kuncinya padaku.
Aku naik ke lantai dua dan membuka pintu kamarku.
My first night at my apartment.
Aku melihat sekeliling. Apartemen itu tidak begitu besar, tapi memiliki perabot dan peralatan yang cukup lengkap. Aku melihat jendela ke luar dan pemandangannya ialah gunung dari kejauhan.
Not bad, aku meyakinkan diriku. Aku mulai meletakkan barang-barangku. Aku bisa menambah beberapa keranjang di sisi itu, memberi sedikit penerangan di meja itu, dan menambah kursi atau bean chair di sudut itu.
Setelah itu, aku merebahkan diriku di tempat tidur.
First night to be completely alone is hard.
You have to accept the fact that you'll be living by yourself.
Aku menutup mata dan mencoba mendengarkan sekeliling. Sepi. Biasanya aku akan mendengar suara mom dan dad yang bercerita di luar kamar.
Atau suara kakak-kakakku yang datang berkunjung.
Tetapi saat ini, yang kurasakan hanyalah sebuah kesunyian.
I already miss them.
First night is always hard. You're gonna get through this. Tetapi ada sebuah spark di pikiranku, hal-hal kecil yang kau bisa mengatur untuk dirimu sendiri, hal-hal yang ingin kau lakukan.
No curfew. No rules. No compromise.
Aku terlelap. Malam itu aku bermimpi bermacam-macam hal. Semua hal yang akan kau rindukan di kota asalmu.

***

Tidak terasa sudah lima bulan sejak aku tinggal di Walson.
Pekerjaanku terlalu sibuk, aku bahkan sering tidak tidur dan harus bangun di tengah malam untuk mengerjakan deadline. Tidak mudah untuk bekerja di kantor baru. Kau harus beradaptasi dengan orang sekitarmu, di saat lingkunganmu tidak semua seumuran denganmu, ketika tiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Aku mencoba melihat ritme kerja orang-orang di sekitarku dan mempelajarinya.
Taking notices for the little thing. Beberapa orang cukup ramah denganku sehingga aku merasa aman untuk melebarkan comfort zone ku dan kepercayaanku. Aku mulai mendapatkan ritme nya. Pada awalnya semua terlihat menarik. Hal-hal baru yang harus kau biasakan. Orang-orang dengan kepribadian menarik. Lelucon yang aku tidak mengerti dan super-awkward as a new guy. Tetapi setelah beberapa waktu, kau terbiasa. itu menjadi rutinitasmu, dan perlahan, ada saat di mana kau merasa jenuh.
Aku menunggu jawaban telepon. Tut tut tut....
"Halo".
Aku mendengar suara itu. Aku merasakan hangatnya suara itu. Suara mom. Sudah lama sekali aku tidak pulang dan mendengar suaranya. Aku menahan tangisku. Rasa rinduku. Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku harus kuat.
"Halo, mom, it's me".
Tentu saja mom tahu siapa yang menelepon. Ha.
"Oh, Nak..kau menelepon. Sudah lama sekali. Mom rindu denganmu. Bagaimana keadaanmu? Bagaimana makanmu disana? Kau kelihatannya sibuk ya. Apakah orang kantornya enak?".
Tanganku bergetar. Aku mencoba mengontrol suaraku.
"Semua baik-baik saja,mom. Ada beberapa masalah, but yeah i got through it".
"Benarkah?", mom tampak tidak percaya.
Aku mengangguk. No, mom, i miss you very much. I miss all the things that i left.
Kemudian ia memberi nasehat. Nasehat yang selalu terngiang di kepalaku. Nasehat yang terbaik dibanding kutipan penyair atau tokoh ternama.
Nasehat orang yang menyayangimu selalu berkesan, karena itu personal dan membuktikan bahwa ada yang peduli denganmu.
Aku mengangguk dan menjawab dengan remeh "okay mom..i will..", tetapi dalam hati aku bersyukur, aku senang ia memberikan nasehat itu. Aku mengingatnya dengan baik. Ketika telepon menutup, aku menangis.

****

Aku merindukan masa-masa itu. Ketika aku masih di college bersama temanku. Tempat kerjaku yang dulu. Keluargaku. Tempat favoritku untuk berkumpul. Kamarku. Mobil lamaku.
Aku memasang headset. Memutarkan lagu favoritku.
Ketika kau hidup sendiri, you could manage youself. Kau akan lebih bisa memahami dirimu sendiri, apa yang ingin kau lakukan, apa yang sebenarnya kau inginkan.
No distraction, it's just you and yourself.
Sebuah masa dimana kau harus berdamai dengan dirimu.
Sore itu aku pulang dari kantor dan hujan turun dengan lebat. Kabut muncul dan aku merasakan tetes demi tetes membasahi kepalaku, kemudian seluruh badanku.Aku menaikkan hood jaketku dan berlari melintasi jalanan yang hujan. Aku sudah separo jalan jadi aku berlari terus ke apartemenku.
Dulu saat di kota asalku, aku pernah kehujanan, dan itu sangat macet, jadi moodku menjadi jelek, dan ketika aku sampai di rumah, dad menanyaiku,
"Kehujanan ya?".
Aku mendengus kesal. Sudah basah kuyup seperti ini, masa perlu ditanya.
Aku teringat saat itu.
Dan sekarang aku kehujanan. Aku bisa saja menjadi kesal. Tetapi aku memilih untuk tidak menjadikan hujan sebagai masalah.
I'll take rain as a blessing.
Aku mencoba menikmati hujan.
Aku tersadar bahwa dulu dad mencoba untuk peduli denganku. Aku seharusnya menjawabnya dengan lebih baik. Di sini tidak ada yang akan menanyaiku saat aku pulang.
Aku kembali ke apartemen dengan basah kuyup.
Seharusnya aku sedih. Tetapi aku memutuskan untuk segera melepas bajuku, mengganti dengan baju hangat, memasak air untuk menyeduh teh, memutar lagu instrumental favoritku, mengambil sebuah buku untuk dibaca.
Aku menatap ke luar jendela. Menatap ke butiran-butiran hujan di jendela dan dari jauh siluet pegunungan yang indah dilapisi hujan.
I like it here.
I know it's not an interesting life here rather than in big cities, but i like this constant feeling of being peaceful and runaway from the crowd of my life.
Everyone has their own phase to deal with themself.

It's my time.

****

DeltaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang