Tik tok tik tok tik tok.
Waktu adalah mesin yang tak pernah rusak, dan karenanya ia tak pernah salah.
---
Hari ini rabu, pukul setengah lima sore. Aku terikat di kubikelku. Mengenyahkan rasa malas dan bosan sebisanya. Memasang senyum instan ketika bos meletakkan pekerjaan baru di atas meja. Dan diam-diam menggerutu dalam hati.
Semenit kemudian pikiranku berkelana. Hari itu juga hari rabu pukul setengah lima sore. Aku sepenuhnya terikat pada suasana. Kamu memutuskan agar kita berhenti sejenak dan menikmati senja. Lalu kamu tawarkan kepadaku termosmu yang berisi teh manis hangat. Aku tersenyum menyambutnya, berusaha sebiasa mungkin. Meskipun pada nyatanya denyut jantungku berdegup tak biasa.
Setelahnya, yang tersisa hanya diam. Karena kamu sudah terlanjur sibuk merasai senja. Dan aku sibuk memandangimu, memandangi senja.
Senja adalah keajaiban. Meski setiap hari datang, tapi tak pernah bosan dipandang, dirasakan, dihirup pesonanya dalam-dalam. Kamu sama seperti senja itu. Meski sudah tak terhitung lagi kedatanganmu, tapi aku tak pernah bosan. Bukankah itu juga keajaiban?
Senja dari kubikelku tak berbeda dengan waktu pagi, siang, maupun malam. Singkatnya, jarum jam adalah satu-satunya petunjuk kapan senja itu datang. Dan aku akan menyambut kedatangannya dengan menikmati secangkir teh hangat sembari memandangi kepadatan Jalan Sudirman dari ruang pantry yang berjendela besar.
Di luar hujan. Tidak deras, hanya rintik-rintik kecil yang perlahan-lahan membasahi jalan. Mengaburkan setiap jejak langkah. Aku memandangi setiap tetesnya. Memanggil memori akan wangi daun-daun basah, lembab tanah, dan tetesannya yang lembut. Aku harap hujan juga bisa mengaburkan jejak langkahmu. Tapi malang, jejakmu adalah bahagiaku, yang tak mungkin bisa kuhapuskan.
Sore itu juga hujan. Kabut yang membawa rintik mulai turun. Memaksa kita untuk berpisah dengan senja, untuk sementara. Masih kuingat matamu, senyummu, juga pegangan tanganmu kala itu, ketika membantuku berdiri. Perlahan-lahan kita mulai lagi berjalan.
Di kedalaman hutan, sepatuku berpijak di jalan setapak yang mulai basah. Kamu berjalan didepanku sambil sesekali merasai hujan. Dan aku tak bisa selain hanya memandangimu memandangi langit, yang beranjak gelap.
Aku menghela nafas dalam. Sekarang, jarak kita sudah terlalu jauh untuk kudekatkan.
Aku teringat, waktu itu kamu juga menghela nafasmu. Apa gerangan yang membuatmu serisau itu? Aku ingin bertanya, tapi aku takut melewati batas yang kita jaga. Dan seperti biasa matamu seolah mengatakan bahwa kamu baik-baik saja. Dan aku tak bisa selain percaya pada matamu itu.
Matamu itu yang terus bermunculan dibenakku tanpa tahu waktu. Dan aku rela menghabiskan banyak daya dan upaya demi melihat mata teduhmu lagi. Secara nyata, bukan halusinasi, bukan dalam sebentuk memori, sebelum aku menjadi gila.
Hanya butuh satu hari rabu untuk jatuh cinta padamu. Hanya butuh satu hari untuk membuatku terpenjara secara sukarela pada perasaan yang seharusnya tak boleh kumiliki, pada rasa sesak yang tak pernah beranjak, pada rasa kosong yang tak menemukan isi, pada lolongan, tangisan, teriakan tanpa suara.
Dan hanya butuh satu senja untuk meyakinkanku bahwa batas yang kita jaga, juga bisa kita musnahkan bersama.
Lalu lamunanku dibuyarkan oleh langkah-langkah kaki dan suara gurauan rekan-rekan kerjaku yang beranjak pulang. Aku menghabiskan sisa tehku dan segera kembali ke kubikelku yang berantakan. Mengenyahkan rasa melankolis yang dibawa oleh secangkir teh hangat di waktu senja, yang selalu mengingatkanku padamu.
Dengan satu helaan nafas panjang aku melanjutkan pekerjaanku lagi.
Aku kembali bersembunyi dibalik tumpukan kertas. Membentengi diri dari memori senja itu, ketika mata kita bertemu. Juga dari kenyataan senja ini, ketika mata-mata mereka menatapku dengan tanya.
-----
"Aku tak tega melihat anak buahmu itu bekerja sampai larut setiap hari. Bukankah gadis seumuran dia seharusnya menghabiskan malam-malam harinya untuk bersenang-senang? Berkumpul dengan teman-temannya atau pergi kencan?"
"Dia masih belum bisa. Aku hanya membantunya sebisaku. Mungkin pekerjaan-pekerjaan itu bisa membuatnya lelah dan bosan dan akhirnya membuatnya pergi berlibur, atau setidaknya membuatnya berkumpul bersama teman-temanya lagi."
"Dia masih belum bisa? Demi Tuhan! Ini sudah dua tahun berlalu, bukankah begitu?"
"Aku rasa dia butuh lebih dari dua tahun untuk melupakan seseorang yang membuatnya rela meninggalkan pernikahannya, untuk kemudian dia ditinggalkan sendiri. Lebih tepatnya ditinggal mati. Menurutmu, apa kau bisa melupakan semua itu hanya dalam dua tahun?"
(Helaan nafas panjang) "Semoga dia segera kembali ceria seperti dulu. Hanya itu yang bisa kita lakukan?"
"Ya, hanya doa yang bisa kita berikan."
----
Bersembunyi di balik tirai
Memandang jalan
Gadis kecil ingin ke luar
Menantang alamBersembunyi ia di dalam
Mengintai ruang
Gadis kecil merangkai kapal
Melipat jarakTapi di sana hujan
Tiada berkesudahan
Tapi di sana hujan turun membasahi semua sudut kota
Hapus tiap jejak jalan pulangBerangkat di atas kapal kertas
Menggantungkan haluan
Menambal, menyulam, menghindari karam
Berangkat di atas kapal kertas
Bersandar ke layarnya
Di antara suka, di antara duka*Di setiap aku menutup mata, aku tersiksa. Wajah, senyum, dan matamu akan terus bermunculan dibenakku. Membuatku ingin kembali pada senja rabu itu. Di saat kita hendak berdiri dan melanjutkan perjalanan. Di saat terakhir kali mata kita bertemu, dan seolah berbicara "Aku menemukanmu."
Tik tok tik tok tik tok. Waktu adalah mesin yang tak pernah rusak dan karenanya ia tak pernah salah.
Hari ini kamis pukul dua pagi dan jiwaku masih menatapmu di hari rabu dua tahun, tiga bulan, dan sepuluh hari lalu, saat senja beranjak pergi.
---
[FIN]
*Di Atas Kapal Kertas oleh Banda Neira
KAMU SEDANG MEMBACA
Delta
RandomBerkisah tentang apa saja. Tentang bulan, hujan, bintang gemintang, angin, langit, laut, padang rumput, orang-orang, apa saja. Dan mungkin saja ada kisahmu di sini. Selamat membaca :)