Saat-saat terakhir. Kadang, kita merasa hidup berjalan begitu saja. Mengalir seperti air atau berdetak teratur seperti jarum detik. Kadang, kita lupa bahwa setiap saat bisa menjelma menjadi saat-saat terakhir. Waktu yang berlalu tidak pernah kembali. Dan terkadang, kita terlalu sibuk untuk menyesap satu detik terakhir itu.
---
"Eyang..", aku memanggil nenekku seraya berjalan cepat ke ruang tamu. Eyang sudah duduk manis dengan mengenakan kaus ukuran besar dan sarung batik yang biasa. Aku menghampirinya dan mencium tangannya. "Aku berangkat dulu ya, Eyang", kataku manis. Kemudian aku memeluknya, mengecup keningnya dan kedua pipinya.
"Iya, hati-hati. Belajar yang rajin ya, Nak", pesannya selalu.
"Iya, Eyang", kataku sebelum menghambur ke depan. Di depan, Bapak dan adik-adikku sudah menunggu. Aku memang selalu yang terakhir keluar.
Begitulah ritual kami sebelum berangkat sekolah. Jika Eyang tidak ada di ruang tamu, maka aku akan berkeliling rumah, mencarinya. Tapi Eyang selalu pengertian, sebisa mungkin dia ada di ruang tamu, mengantar kepergianku.
"Hei, kok melamun?"
Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh ke arahnya. Mata kami bertemu sesaat, sebelum ia menatap lagi jalanan di depan. "Nggak papa", kataku. "Aku nyalain radio ya, biar nggak sepi." Dia mengangguk.
And aren't we all just a dust
Fading in the air
Aren't we all, aren't we all
For all that we are, just a dust
Fading in the air
Aren't we all, aren't we all?"Pas banget lagunya", kataku. Semesta terkadang punya cara yang unik untuk menemani kita.
"Lagu apa itu?", tanyanya.
"In to the Light -nya Adhitia Sofyan."
"Ooooh.. another your favorite song?", tanyanya dengan nada mengejek.
"Sort of.. Hahahahaha."
"Tentang?"
"Tentang kematian."
"Woooow.. Topik yang berat di pagi yang... well, tidak terlalu cerah ini", dia melihat langit yang agak mendung.
"Iya.." Aku menyesap setiap alunan lagunya. Merasakan kesenduan di setiap melodinya.
"Kita kemana sih?", tanyanya penasaran. "Kamu agak mellow hari ini. Something wrong?"
"Nanti kamu juga tahu. Ikutin aja jalannya."
"Uggggh.... Mulai deh, sok-sok misterius."
"Hahaha."
---
"Dulu waktu kamu masih bayi, nggak semua orang boleh pegang kamu", cerita Ibuku suatu hari.
"Oh ya?", kataku tak percaya.
"Iya, kamu dulu kecil, rapuh, lemes, sukanya tidur. Makanya Eyang jagain kamu banget. Ibu kan dulu masih kerja penuh waktu. Jadinya yang jaga kamu ya Eyang. Sampai sekarang kan Eyang jagain kamu terus."
"Iya ya Bu. Kayaknya aku ini anaknya Eyang deh Bu, bukan anak Ibu."
"Hahahaha. Bisa dibilang begitu", kami tertawa bersama.
Di hari itu aku menyadari betapa besar cinta Eyang untukku. Sejak kecil aku sudah dekat dengan Eyang. Dan sejak kecil pula aku tidur bersama Eyang. Jika aku terbangun karena digigit nyamuk, Eyang akan mengoleskan lotion anti nyamuk ke tangan dan kakiku sebelum merapatkan selimutku lagi. Jika aku terbangun karena kepanasan, Eyang akan mengarahkan kipas angin ke arahku. Jika aku kedinginan, aku akan otomatis mendekat ke arahnya, mencari kehangatan, dan dia tak pernah keberatan. Jika aku terbangun karena sakit, Eyang akan membuatku nyaman, hingga aku tertidur lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delta
RandomBerkisah tentang apa saja. Tentang bulan, hujan, bintang gemintang, angin, langit, laut, padang rumput, orang-orang, apa saja. Dan mungkin saja ada kisahmu di sini. Selamat membaca :)