Permadani

22 2 0
                                    

"Kak, kalo Kakak punya permadani ajaib yang bisa terbang ke mana saja. Kakak mau kemana?"

Anak kecil yang barusan bertanya adalah Manda. Umur 8 tahun, rambut ikal, kulit kuning langsat, kurus, dan hobi menanyakan hal-hal aneh.

"Mmmmm.. kemana ya? Ke Himalaya?", jawabku asal.

"Himalaya?", pancaran matanya mendadak terang. Ia penasaran. "Di mana tuh, kak?"

"Himalaya itu pegunungan. Salah satu puncaknya adalah Everest, puncak tertinggi di dunia.", terangku

"Woooow.. Ada apa aja kak di sana?", tanyanya lagi.

"Ada barisan pepohonan, padang rumput, dan hamparan salju. Kalau kamu? Kamu mau pergi ke mana?"

"Aku.. aku mau ke bulaaaaan!", katanya riang.

"Bulan?", tanyaku memastikan.

"Iya kak, Bulan. Bulan yang di atas sana."

"Oooo.. Terus, mau ngapain di Bulan?"

"Aku mau pasang tali yang panjaaaaaaaaaang sekali."

"Tali? Untuk apa?", tanyaku heran.

"Iya, biar bulannya nggak ke mana-mana. Nanti ujung talinya aku ikatkan di jendela kamar. Jadi, kalau aku dan teman-teman mau tidur, kita bisa melihat Bulan. Langit jadi terang. Dan karena ada Bulan yang menjaga kita di atas sana, kita nggak takut lagi deh." Manda tersenyum.

Aku sedih mendengar perkataannya barusan. Manda dan lima temannya yang lain berbagi satu kamar yang sama. Mereka adalah anak-anak yang diasuh oleh Yayasan Pelangi. Yayasan ini bukan sekedar panti asuhan biasa, mereka merawat anak-anak jalanan yang menjadi korban kekerasan hingga mengalami trauma.

Kisah Manda sendiri sangat pilu. Sebelum dirawat di Yayasan Pelangi, ia tinggal bersama Ibu dan tiga saudara kandungnya sendiri. Mereka tinggal di 'rumah' kardus di pinggir rel kereta. Ayahnya jarang di rumah. Dan sekalipun pulang, ayahnya seringkali dalam keadaan mabuk dan tak jarang memukuli mereka semua.

Di suatu malam yang mendung, Bulan tidak tampak. Manda dan saudara-saudaranya tengah tidur. Tanpa mereka sadari, ibunya diam-diam keluar. Dia melumuri 'rumah' mereka dengan minyak tanah. Dan setelah selesai, ia masuk ke dalam dan menyalakan pematik. Rumah kardus terbakar seketika.
Untunglah hujan turun, dan warga sekitar beregas memadamkan api.

Meski begitu, Ibu dan ketiga saudaranya tidak selamat. Hanya Manda yang selamat, meski mengalami luka bakar yang cukup serius di seluruh tubuhnya. Sejak saat itu, Manda akan merasa aman bila Bulan ada di atas sana, melindunginya dan melindungi orang-orang yang dia sayangi.

"Wah ide baguus!", kataku padanya. "Tapi nanti kalo Bulannya ada di tempat Manda terus, kakak nggak kebagian Bulan dong.."

"Ya nggak dong, kak. Bulan kan gede, dari tempat Kakak pasti kelihatan juga."

"Oh iya, pinter kamu hehehe." Aku mengelus kepala Manda perlahan. "Eh Manda, kenapa harus permadani sih? Kan enakan pakai pintu kemana sajanya Doraemon, bisa langsung nyampe."

"Nggak ah, Kak. Nggak seru pakai pintu kemana saja."

"Loh kenapa?"

"Ya kan kalau pakai pintu kemana saja langsung nyampe. Jadi nggak bisa lihat pemandangan selama perjalanan. Kalau pakai permadani, kita bisa lihat-lihat Kak. Apalagi kalau ke Bulan. Kita bisa lihat kota, hutan, gunung, laut dari ketinggian. Bisa lihat awan dan langit. Bisa lihat bintang dan matahari. Sampai ke tujuan memang penting, tapi perjalanan kesana kan sama pentingnya juga. Ya kan kak?"

Wooooow. Aku tak menyangka quote barusan keluar dari mulut anak delapan tahun. "Manda, kamu yakin umur kamu delapan tahun?"

"Ha? Yakinlah Kak. Emang kenapa?", tanyanya heran.

"Kata-katamu barusan bijak banget. Kakak jadi ngefans.", kataku jujur.

"Hahahaha. Kakak nih ada-ada aja. Kan Kakak yang ngajarin Manda. Siapa dulu dong gurunya."

Kami tertawa bersama.

-fin-

DeltaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang