Sila
Hari yang melelahkan akibat semalam Eyang Putri mengajakku begadang dengan wejangan yang jika ditulis sudah mirip buku Harry Potter yang tebal dan berseri. Ditambah pagi-pagi harus berangkat ke Jakarta dari Bandara Adi Sucipto Jogjakarta, karena beberapa tahun belakangan aku tinggal di Jogja bersama nenek, untuk pulang kembali ke rumah orangtuaku. Waktu yang diberikan Papa sudah habis, saatnya memulai kehidupan baru di rumah lama.
Setahun selesai kuliah di Jogja, Papa menawariku bergabung di perusahaanya, padahal aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia bisnis karena aku lebih tertarik pada kaum gembel. Eh... apa juga bahasanya kok merendahkan amat. Maksudnya selama di Jogja aku tergabung menjadi relawan untuk mensejahterakan hidup orang-orang jalanan.
Banyaknya ibu yang membawa anak mereka mengemis, anak jalanan yang mengamen dan berkeliaran di lampu merah membuat kamu tergerak membantu hidup mereka. Kami yang terdiri dari sepuluh orang yang mana mereka semua teman kampusku. Mereka membangun sebuah rumah singgah untuk membagikan sedikit ilmu kepada para anak jalanan yang buta huruf karena memang orang tua mereka tidak sanggup membiayai sekolah. Dan untuk para ibu, kami mengajari mereka membuat kerajinan tas, dompet dari bungkus minuman kopi sachet, berbagai hiasan dari botol minuman bekas yang dikumpulkan oleh para suami yang bekerja sebagai pemulung.
Jadi baik suami, istri dan anak akan sama-sama mendapatkan ilmu. Dan hasil dari kerajinan mereka akan kami posting untuk penjualan online. Hasilnya sangat bermanfaat untuk menambah nafkah mereka daripada harus mengemis yang sebagian penghasilan mereka dibayarkan sebagai pajak kepada 'bos preman' yang dianggap berkuasa di daerah tersebut.
******
"Sila....!" teriak seseorang yang amat kukenali karena setiap seminggu sekali pasti akan menyambangiku di Jogja. Akhirnya datang juga. Meski belum lama aku berdiri menunggu kedatangan mereka di Bandara ibu kota ini.
"Mama...." Aku menghambur ke pelukan wanita yang melahirkanku dua puluh tiga tahun silam.
"Jangan lama-lama, Papa juga mau dipeluk." Kutoleh suara yang menginterupsi dari belakang Mama, dan segera aku melepas pelukan Mama kemudian berlari menubruk Papa yang berjalan ke arahku.
"Anak Papa yang cantik udah nunggu lama ya?" Direngkuhnya tubuhku oleh laki-laki yang amat kucintai ini.
"Udahan peluk-peluknya, kita langsung pulang saja dilanjutin di rumah," tegur Mama seakan memisahkan adegan pelukanku dengan Papa yang lagi anget-angetnya. Maklum, aku kan nggak pernah dipeluk lelaki kecuali Papa, dan itu pun jarang juga. Karena Papa hanya menemuiku sebulan sekali. Tapi pelukan Papa adalah pelukan lelaki terhangat selain pelukan Eyang Kakung yang sudah meninggal sejak usiaku enam tahun. Karena alasan itulah Eyang Putri meminta pada Mama dan Papa agar aku diasuh olehnya. Eyang Putri merasa kesepian sendirian ditinggal suaminya menghadap-Nya terlebih dulu. Meski berat melepasku, namun itulah keputusan bersama yang amat kusyukuri. Di sana aku mengenal keramahan masyarakat Jogja yang kental dengan budaya dan tradisi kejawen, menikmati sepuasnya surga alam yang tersaji murah meriah dan mengenal arti kesederhanaan dalam hidup seperti yang diajarkan Eyang padaku.
***
Kami bertiga memasuki mobil Papa. Sepanjang perjalanan aku dan Mama saling bercerita, aku menceritakan kegiatanku di rumah singgah yang sekarang semakin berkembang. Kusenderkan kepalaku di pundak Mama dan tanganku melingkar di perutnya. Sesekali Mama membelai rambut panjangku dengan lembut dan Papa akan terus memprotes sikap manjaku sembari menyetir di depan.
Ah bilang aja Papa cemburu! dengusku kesal dalam hati.
Tak lama kemudian mobil berhenti di sebuah perumahan yang menjadi saksi kehidupan masa kecilku. Aku keluar dan berjalan beriringan dengan Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate To Love
HumorReyhan tak menyangka jika gadis kecil yang ia berikan boneka Teddy Bear saat ulang tahun dulu telah kembali. Gadis manis yang ia kecup pipi gembulnya saat keduanya masih merasakan tawa riang bersama di Taman Kanak-Kanak itu, berubah. Sila mendapat t...