7. Bibir

13.9K 887 31
                                    

Sila membilas bibirnya dengan air kemudian diusap kembali dengan sabun hingga tujuh kali. Pada bilasan ketujuh ia gosok dengan tanah liat dari salah satu koleksi pot bunga milik Dinda di teras. Dia sengaja mengambil yang di pot karena khawatir jika tanah yang diambil dari halaman rumah sudah terkontaminasi pupuk kompos seperti di rumah Eyang Putri di Jogja sana.

Tujuh kali ia membasuh bibirnya yang ternoda. Sayangnya hingga tujuh kali pun rasa bibir laki-laki itu masih saja terasa. Campuran antara rasa kenyal, dingin dan lembut. Otaknya mungkin ada kerusakan di bagian tertentu sampai-sampai ia begitu terlena dengan bibir sialan tersebut.

Tolong ingatkan Sila berterima kasih pada anak kecil penjual koran yang mengetuk kaca sehingga kegiatan cup-cup laki-laki itu buyar. Tolong ingatkan juga ia akan memberinya piagam penghargaan sebagai pahlawan penyelamat dari laki-laki buaya darat.

"Iko.......!" teriak Sila dari dalam kamarnya memanggil adik semata wayang. Iko yang bersebelahan kamarnya dengan Sila hanya melongokkan kepala melalui pintu kamar dengan malas.

"Kenapa teriak-teriak?" tanya Iko. Dilihatnya bibir kakak perempuannya yang terlihat bengkak. Seketika tawanya pecah.

"Ngapain ketawa?" kesal Sila mendapati adiknya malah menertawakan bibir mungilnya yang berubah mirip disuntik silicon.

"Habis dicium lebah ya, Mbak. Kok bisa nyonyor begitu," ledek Iko sambil memonyong-monyongkan bibirnya sendiri. Seketika Sila melempar bantal ke wajah Iko tepat sasaran.

"Nggak usah ketawa. Seneng banget kamu lihat mbak menderita begini." Sila mematut di depan cermin menatap bibirnya memerah karena terlalu kerasnya ia menggosok dan sekarang terasa perih. Masih untung ia menggosoknya dengan telapak tangan, tidak dengan sikat wc. Bisa-bisa bibirnya akan tampak seperti Angelina Jolie kena malpraktek.

"Kok bisa begitu sih?" Iko mendekat ke arah kakaknya. Diperhatikan dengan seksama kemudian diusapnya lembut.

"Kayak disengat lebah deh, Mbak. Bukannya tadi pergi ke nikahan, masak di sana ada lebahnya?" Iko masih mengusap bibir kakaknya dengan jari telunjuk mencoba mencari di mana sengatan lebah itu dilakukan. Bisa jadi sengatnya masih menempel di sana.

Sila mengerjapkan matanya menelaah ucapan adiknya.
Dicium lebah?
Eh ... dicium?

Dicium?

Sama buaya darat menyebalkan itu?

Oke, bukan dicium lebah melainkan dicium buaya.

Tidak.......!

Sila menjerit dalam hati. Kenapa ciumanya berefek pada kefrustasian dirinya? Tapi tunggu dulu.

Sebenarnya ciuman Rey memang sangat, sangat, dan sangat menggiurkan, membuat dirinya seperti terbang dan tidak sedang menginjak bumi. Oh, betapa berlebihan dirinya gara-gara ciuman bibir manusia mesum yang mungkin saja sudah banyak perempuan yang menikmatinya juga.

Sila, hanya bekas dari sekian ratus ribu atau milyar perempuan yang pernah merasakannya.

Gila!

"Ko, Mbak minta tolong ambilkan es batu di bawah ya." Iko menurut. Sebagai kakak, Sila selalu mengatakan 'minta tolong' saat dirinya membutuhkan bantuan. Tidak begitu saja memerintah dengan kasar.

Iko membawakan es batu ke dalam kamar. Dengan hati-hati ia membantu mengompres bibir kakaknya dengan penuh sayang. Kedekatan seperti inilah yang selama ini tidak mereka dapatkan karena jarak tempat tinggal mereka memang berbeda.

"Makasih, Ko," ucap tulus Sila begitu adiknya selesai mengompres. Iko mengangguk sambil tersenyum.

"Tadi ketemu sama Papa juga, Mbak?" Iko ikut berbaring di samping kakaknya. Disandarkan bantal agak tinggi menyangga kepalanya agar sejajar dengan Sila yang melakukan hal sama.

"Ketemu pas aku mau pulang, Papa baru sampai," jelas Sila.

"Pasti pulang ke rumah menjelang pagi," kata Iko menyahuti.

"Kenapa begitu?" Memang Sila belum lama tinggal bersama kedua orang tuanya sehingga belum tahu pasti kebiasaan setiap hari.

"Biasa lah, kencan dulu. Aku khawatir kita akan memiliki adik," cibir Iko tampak sebal.

"Bagus dong, biar rumah tambah ramai." Sila mendukung niat orang tuanya.

"Aku nggak mau punya adik. Maunya punya keponakan dari Mbak." Sila melotot mendengar gurauan adiknya yang tersenyum jahil ke arahnya.

"Enak aja minta ponakan. Tahu sendiri Mbak belum nikah."

"Kakaknya Emil, Kak Rey masih nganggur tuh mbak. Siapa tahu mau diajak bikin keponakan." Seketika Sila bangun dan menimpuki wajah juga badan adiknya dengan bantal berkali-kali sampai remaja itu mengaduh kesakitan. Bagaimana tidak sakit jika kakaknya juga mencubiti lengannya.

Parah!

Sila mengamuk, itu jelas. Bukan karena ledekan Iko, melainkan nama itu mengingatkannya pada semua kejadian menyebalkan sejak dulu hingga sekarang.

     **************

Rey menjambak rambutnya kasar begitu air shower mengucur deras di atas kepalanya.

Rasa frustasinya semakin menjadi begitu sampai di rumah dan menceritakan kejadian barusan yang begitu kelepasan bersama singa betina pada Dery, sahabatnya. Bukannya memberi solusi bagaimana cara meminta maaf pada gadis itu, Dery malah menertawakan hingga terpingkal-pingkal. Benar-benar ia tak menduga bisa kelepasan seperti tadi, padahal selama ini ia memiliki pertahanan yang kuat. Belum ada satu bibir pun yang berhasil menggoyahkan imannya untuk dikecup. Bahkan tadi ia melumat, menyesap, dan untungnya tidak sampai mengerang kenikmatan.

Guyuran air tidak juga membuat otaknya segar malah semakin menjadi. Bahkan rasa manis bibir itu masih terasa sampai saat ini.

Sila.

Kenapa bibir singa betina itu sangat memabukkan sampai-sampai ia lupa diri. Lupa pada egonya sendiri. Lupa pada akibat yang ditimbulkan seperti saat ini. Sangat, sangat ingin diulangi lagi.

Sial!

Kenapa ia sangat menginginkannya terus menerus? Oh, bisa gila dia jika menuruti nafsunya.

Segera diselesaikan rutinitas mandinya kemudian masuk menuju kamar mengambil handuk kering untuk mengeringkan rambut. Di depan cermin ia menatap pantulan dirinya yang tanpa pakaian, hanya sehelai handuk melilit pinggang hingga lututnya.

Diperhatikan bibirnya melalui pantulan cermin dengan seksama.

Bibirku sudah tidak perjaka.
Dewi batinnya bersorak dengan tarian hula beserta pom-pom yang melambai-lambai.

Akhirnya bibir perjakanya mendarat pada bibir singa betina yang sama. Kenapa bibirnya hanya mau dengan gadis yang sama saja? 

Arghhhhhhhhh!

Rey menjerit dalam hati kemudian berdoa semoga gadis itu tidak kabur seperti dulu. Setidaknya sampai detik ini ia tidak mendapat cakaran maut seperti usianya lima tahun dulu.

--------------------------------

Hate To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang