"Ma, kenapa bajuku jadi seperti ini semua?" tanya Sila keheranan melihat isi lemarinya yang semula berisi kaos, kemeja, celana jeans dan beberapa potong gaun batik, kini berubah menjadi blouse, rok pensil dan setelan kantor.
"Kamu kan mau jadi sekretaris Papa, bukan mau jalan-jalan." Sila mengerucutkan bibirnya kesal. Selama ini ia terbiasa dengan baju santai karena hidupnya tidak pernah bernaung dalam dunia kerja formal.
"Tapi jangan diganti semuanya. Trus, baju yang lain ke mana?" rengek Sila tak terima. "Baju kamu yang lain Mama taruh di lemari yang itu," tunjuk Dinda pada lemari di samping kamar mandi.
"Sekarang buruan turun! Papa sudah siap dari tadi nungguin kamu." Dinda keluar kamar anaknya menuju ruang makan yang di sana sudah ada suaminya sedang menikmati secangkir kopi seraya membaca berita hari ini dari koran langganan.
"Sila belum siap juga?" tanya Rangga begitu mendapati istrinya turun tanpa diikuti anak sulungnya.
"Masih di kamar," jawab Dinda seraya mengambilkan sepiring nasi goreng sosis untuk suaminya.
"Suapin," rengek Rangga pada istrinya yang dibalas oleh Dinda dengan delikan tajam. Meskipun begitu, ia pun tetap melakukannya.
"Mas, Sila bilang nggak mau berangkat bareng kamu?" Rangga menghentikan kunyahannya dan memandang istrinya.
"Memangnya dia mau naik apa berangkatnya? Mobil juga belum bisa nyetir." Dinda mengangkat bahunya bingung mau menjawab.
"Tanya sendiri saja sama anakmu tuh!" Dilihatnya Sila sudah rapi dengan pakaian kerja, berjalan menghampiri keduanya.
"Anak kamu juga, Yang. Nggak inget apa bikinya berdua," bisik Rangga yang langsung dihadiahi pukulan di bibir dengan sendok.
Sila bergabung disusul Iko yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya. Berempat menikmati sarapan buatan Dinda.
******
"Pa, aku nggak mau bareng dia. Mending aku naik bis saja," keluh Sila mendapati Rey sudah bertengger di kursi teras rumahnya.
"Papa nggak ijinin kamu naik bis. Bahaya, Sayang." Dinda yang mendengar percakapan suami dan anaknya dari dalam hanya geleng-geleng kepala. Iko dan Emil sudah berangkat mengendarai sepeda motor, dan Rey yang pagi ini sedang memanasi mobilnya tiba-tiba diminta Rangga untuk datang ke rumahnya.
Melihat Sila yang menolak tumpangan mobilnya membuat Rey bersyukur. Setidaknya dia tidak akan terjebak dengan singa betina itu di dalam mobil untuk kedua kalinya. Bodohnya dia menurut begitu saja saat Rangga memanggilnya ke rumah karena mereka memang bertetangga.
"Kalau nggak mau berangkat sama Papa, lebih aman sama Rey saja." Sila melirik tajam pada Rey yang berdehem tak jelas di sebelahnya. Bagaimana bisa Papanya menitipkannya lagi pada penjahat bibir yang lebih berbahaya dari pada preman terminal.
"Nggak mau, Pa. Naik bis aja irit!" sentak Sila kemudian ngeloyor pergi. Tak dihiraukan panggilan Rangga maupun Dinda dari teras.
"Rey, Om minta tolong antarkan Sila ke kantor. Dia masih belum mengenal daerah Jakarta." Rey mengangguk pasrah. Dengan lunglai ia mengikuti langkah Sila. Beruntung singa betina itu masih berjalan, setidaknya tidak terbang, sehingga ia bisa menyusulnya. Dengan mengendarai mobil, Rey mengikuti langkah Sila.
"Masuk!" perintah Rey dengan membuka kaca jendela mobilnya. Sila acuh dan kembali melangkah bahkan kini semakin cepat.
Rey yang tak ingin disalahkan oleh Rangga dan demi menghemat waktu sebelum macet Jakarta menghambat perjalanan ke kantornya sendiri, memutuskan keluar dari mobil dan menyeret paksa Sila yang meronta ke dalam mobil.
Meskipun selama perjalanan yang ada hanya kebisuan, pada akhirnya setengah jam kemudian mereka sampai di kantor Sila. Begitu singa betina turun, Rey bergegas memacu mobilnya menuju kantornya sendiri.
*******
Sila diperkenalkan oleh Rangga kepada karyawan lain secara singkat, bahwa dirinya adalah sekretaris baru. Dengan ramah Sila mengenalkan dirinya sendiri. Seorang perempuan berpenampilan mencolok menunjukkan meja kerjanya yang tepat di depan ruangan Rangga.
Hari pertama bekerja, tidak terlalu sulit untuk Sila beradaptasi. Pembawaaannya yang supel, membuatnya mudah bergaul. Masih di hari pertama, Sila pun hanya mengerjakan pekerjaan ringan, seperti mengecek email-email yang masuk, jadwal Rangga selama sepekan dan membawakan berkas-berkas yang Rangga butuhkan ke meja beliau.
Seperti yang diinginkan Sila bahwa selama berada di kantor hubungannya dengan Rangga sebatas atasan dan bawahan.Begitu jam kerja berakhir seperti karyawan lainnya, Sila juga bergegas keluar dari kantor. Sejenak ia berpikir, lebih baik ia berjalan-jalan dulu sebelum benar-benar pulang ke rumah.
Peringatan Rangga untuk tidak mengendarai kendaraan sendiri, membuat Sila memilih bus sebagai permadani yang mengantarkannya.
Sesampai di tempat tujuan, dengan girang ia menelusuri lapak-lapak penjual sandal. Dengan harga tiga puluh ribu ia mendapatkan sandal sederhana. Mampir ke sebuah toko pernak-pernik ia membeli pita, lem dan beberapa hiasan yang ia butuhkan. Selesai dengan barang yang diinginkan, Sila nekat menaiki angkot setelah bertanya kesana kemari jurusan menuju rumahnya.
Sesampai di halte dekat perumahannya, Sila berjalan santai sambil bersenandung. Hari memang mulai gelap namun bagi Sila, sendirian berjalan di komplek perumahannya tidak begitu masalah.
Yang menjadi masalah adalah mobil Rey yang tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Penjahat bibir itu memaksanya masuk ke dalam mobil.
"Kenapa selalu maksa sih," gerutu Sila bersedekap.
"Aku cuma-"
"Apa?" tanya Sila galak. Rey meneguk ludahnya berat. Belum mengucapkan saja singa betinanya sudah galak.
"Aku cuma mau minta maaf soal malam itu." Leganya, berhasil mengucapkan kata maaf. Sila menoleh ke arah Rey yang menunduk pada setir mobilnya.
"Hem," jawab Sila. Sebenarnya dia juga merasa salah karena dengan mudahnya menerima dan membalas bibir yang sejujurnya sangat membuainya. Entah karena Rey yang terlalu lihai atau karena ini pengalaman pertamanya, ia tak tahu juga.
"Tapi-" Rey menoleh ke arah Sila yang mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di pipi kanannya.
"Boleh diulangi lagi nggak?"
Duggghhhhh!
Benturan kepala Rey pada kaca mobil akhirnya menyadarkan dari kecerobohan mulutnya yang tanpa tata krama mengajak singa betina itu berciuman lagi. Dengan mengumpat, Sila keluar dari mobil Rey setelah mendorong kepala penjahat bibir itu hingga berbunyi.
Sila tak peduli. Emosinya tersulut dengan kelancangan mulut Rey yang berani-beraninya hendak melecehkan bibirnya, lagi. Sila berlari ke arah rumahnya dan ingin segera mencabik wajah Iko untuk menumpahkan emosinya. Sila butuh pelampiasan untuk meredam rasa kesalnya. Iko adalah yang tepat menjadi kriteria utama.
Dekat dengannya, satu rumah, tidak bakalan protes apalagi sampai dilaporkan balik dan berurusan dengan pihak berwajib, bisa request, tak akan membalas.
Sila tiba di rumah dengan nafas memburu, campuran antara ngos-ngosan berlari dan megap-megap karena penjahat bibir hampir menyerangnya.
Dia heran kenapa seorang pimpinan perusahaan terkenal, anak seorang Dosen dengan prestasi cemerlang ternyata seorang penjahat bibir. Apakah bakat dari lahir? Mengingat saat kecil pun laki-laki itu sudah terlihat tukang sosor.
-----------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate To Love
HumorReyhan tak menyangka jika gadis kecil yang ia berikan boneka Teddy Bear saat ulang tahun dulu telah kembali. Gadis manis yang ia kecup pipi gembulnya saat keduanya masih merasakan tawa riang bersama di Taman Kanak-Kanak itu, berubah. Sila mendapat t...