Seberapa sempit dunia ini? Apa sesempit lubang hidung Niko, adikku yang selalu diobok-obok guna mencari harta karun rasa asin itu?
Kenapa harus bertemu dengan laki-laki mesum yang sudah tega mencuri ciuman pertama milikku, bahkan di usia kami yang masih lima tahun. Oke, aku ulangi lagi, lima tahun. Berkeluh kesahlah pada KPI yang dengan bangga menampilkan sinetron penghuni Gembiraloka yang amat lebay dan sedikit 'nakal' untuk otak para kaum remaja.
Reyhan.
Seumur hidup aku tidak akan melupakan tindakan mesumnya. Tidak akan, karena kejadian itulah aku selalu membentengi diri agar tidak mudah termakan rayuan menjijikkan dari kaum berjakun.
"Sayang, kenapa melamun?" teguran Papa mengembalikan kesadaranku. Kami, maksudnya aku dan Papa kini tengah berada di kantor milik Abimana Group yang terkenal amat megah dan berkuasa dengan cabang tersebar di seluruh indonesia. Perusahaan yang bergerak dalam banyak bidang ini sebentar lagi akan menjadi tempat kerjaku, ya ... akhirnya dengan bujuk rayu dari segala pihak terutama Mama dan Papa, akhirnya aku menyetujui bergabung dalam kalangan Abimana sebagai sekretaris Papa, Pak Rangga yang amat sangat kucintai. Lelaki pertama dari tiga laki-laki yang masuk dalam daftar orang yang aku cintai.
Pertama, Papa. Itu sudah pasti. Kemudian yang kedua, Eyang Kakung yang sudah lama meninggalkan kami dan yang ketiga Niko, meskipun dia amat menjengkelkan sebagai seorang adik. Tapi percayalah ... aku sangat menyanyanginya.
"Selama Delia cuti, kamu yang gantikan dia dan ke mana pun Papa pergi, kamu ikut. Untuk apa saja tugas kamu, bisa tanya Delia langsung selama tidak mengganggunya," jelas Papa padaku untuk segera menghubungi Delia.
Oh, jangan bayangkan dia adalah perempuan seksi yang mengelilingi kehidupan Pak Rangga, karena Papa tidak pernah tergoda dengan perempuan seksi mana pun kecuali dengan Mama. Papa pernah bercerita saat masih belum menikah, dirinya pernah dikelilingi para makhluk Tuna Susila sekedar sebagai partner menyelesaikan misi. Dan sedikit pun tidak tergoda, meskipun mereka sudah hampir mengibarkan bendera putih untuk bisa menggoda dengan cara apapun, gratis juga rela kata mereka.
Delia dulu sekretaris Papa, tapi sementara waktu sedang cuti melahirkan. Papa tidak bisa memperkerjakan orang secara sembarangan, bahkan kriteria posisi apapun sudah dinilai secara matang dan penyeleksian secara ketat.
"Siap Pa!" Sambil kuangkat telapak tangan ke atas pelipis tanda hormat.
"Jangan panggil dengan sebutan Papa selama di kantor, karena tidak ada yang tahu kalau kamu putri Papa."
"Beres Pak Rangga Pratama." Aku terkekeh dan Papa mencubit pelan hidungku. Interaksi yang hangat sebagai keluaraga.
Ah Papa ... gemesin banget sih. Coba aku punya satu saja lelaki. e
Eh ralat, suami seperti Papa yang romantis, gemesin, bisa dibawa kemana-mana, kan enak ya? Kapan sih jodoh datang padaku Tuhan?****
"Baik Mbak, terima kasih untuk infonya dan maaf jika saya mengganggu hari-hari menuju HPL."
Perempuan di seberang sana tertawa ringan kemudian menutup sambungan telepon setelah aku berpamitan.
Barusan aku menelpon Mbak Delia menanyakan tugasku selama menjadi sekertaris Pak Rangga. Dengan ramah, dia memberitahukan semua hal detail apa saja yang harus dan tidak boleh aku lakukan. Bahkan dengan baik hatinya Mbak Delia akan mengirimi tugasku melalui email yang kini sedang kutunggu.
"Sila, bawakan berkas di ruangan saya dan antar ke restoran depan kantor!" perintah Pak Rangga di seberang sana melalui sambungan telephone yang segera kulaksanakan. Berkas yang memang sudah dipersiapkan Papa dari semalam di rumah masih teronggok di meja. Kuambil dan segera melangkah menuruni lift menuju restoran yang terletak tidak jauh dari kantor.
Celingak-celinguk mirip maling jemuran pakaian dalam, sekarang diriku mencari keberadaan Pak Rangga. Di sanalah aku menangkap sosok laki-laki yang menjadi atasanku saat ini sedang duduk bersama seseorang berjenis kelamin sama, yang hanya bisa kulihat lewat punggungnya.
Segera aku berjalan dengan santai mengahampiri kedua laki-laki yang tengah berbincang di sana.
"Eh, sudah datang rupanya!" seru Pak Rangga melihat kedatanganku.
"Oh ya, kenalkan ... ini sekretaris saya yang menggantikan Delia selama cuti."
Dengan sedikit menunduk karena aku menarik kursi di sebelah Pak Rangga, kuangkat kepala melihat orang yang sedang diperkenalkan padaku.
"Oh. Hai, Sil, lama tidak berjumpa."
Mataku melotot melihat siapa yang sedang duduk berhadapan denganku.
Dunia memang sempit.
Sudah di rumah menjadi tetangga dan sekarang urusan di kantor juga ketemu dia.
Oke! Pasang tampang bahagia seperti saat di taman tempo hari, senyum cerah ceria.
"Eh, bukankah tempo hari kita sudah bertemu ya, waktu di Taman?"
"Hem ... iya." Dia tersenyum dengan tanpa dosa. Apa-apaan dia bilang lama tak jumpa. Emang kemaren di taman itu kembaranku?
"Loh, kalian sudah ketemu?" tanya Papa kaget. Meskipun kami bertetangga, mungkin Papa mengira kami belum saling menyapa.
"Iya Om, kami sempat bertemu di Taman Komplek kemarin. Lagipula mana mungkin saya lupa, kami kan satu kelas saat TK," jelas Rey masih dengan senyum yang kutahu adalah palsu.
"Wah ... saya lupa. Maklum, Sila lama di Jogja, jadi saya tidak ingat teman-temanya dulu."
Memangnya Papa nggak inget sama orang yang nyosor pipi anak gadismu ini? Padahal sejak dulu dan sampai sekarang aku masih sangat mengingatnya.
"Mana berkasnya Sil?" Aku bersyukur topik pembicaraan sudah beralih. Kuserahkan berkas yang masih kuletakkan di atas pangkuan.
"Ini berkas kerjasama kita, kamu pelajari dulu saja. Apapun keputusanmu nanti, bisa langsung beritahukan pada saya atau melalui Sila." Rey tampak serius membaca berkas kemudian melihat Papa sambil mengangguk.
"Kamu sudah terima undangan dari Pak Rendy?" tanya Papa pada Rey. Aku cuma jadi pendengar yang baik buat duo jakun ini.
"Sudah, Om. Pesta pernikahan anaknya kan?" Papa mengangguk kemudian melirikku.
"Ajak Sila kalau kamu belum punya pasangan, karena dia masih awam dengan lingkungan kerja kita. Setidaknya ... agar dia mengenal rekan bisnis kita," ujar Papa yang membuatku melongo.
Ajak dia?
Ajak dia?
Maksudnya aku diajak sama tukang sosor dini ini? Ya ampun Papa, aku mohon jangan serahkan anakmu pada buaya empang ini. Masih kecil saja dia mesumnya nggak ketulungan, sudah gede gini kayak apa? Sudah akut dan parah pastinya.
"Ah, Om tahu saja kalau saya tidak punya pasangan. Baik, Om. Dengan senang hati, saya akan mengajak Sila. Kamu nggak keberatan kan, Sila?" tanya Rey masih dengan senyum munafiknya. Sedangkan aku hanya menatap bingung harus menjawab apa. Hingga injakan di kakiku seketika dengan spontan kujawab, "iya."
Papa tersenyum bahagia sementara aku meringis sakit. Punya Papa kok begini amat ya? Tega nginjek kaki anaknya dengan amat sangat menyakitkan.
Selesai pertemuan itu, aku dan Papa segera kembali ke kantor karena sebentar lagi akan ada investor yang datang berkunjung.
*****
"Beneran, Tom?"
"..."
"Siap! Kalo gitu aku langsung ke TKP. Oke ... makasih ya, Tom."
Kututup telepon dengan perasaan senang. Baru saja Tomi, temanku di Jogja yang sama-sama mengelola "kaum gembel" memberitahuku kalau ada temannya yang butuh relawan di rumah singgah. Ini kesempatan bagus buatku menyalurkan hobi mulia. Setelah menerima alamat, aku segera menuju ke lokasi tersebut dengan bantuan ojek.
Meski di rumah sudah ada sopir pribadi, tapi entah kenapa sejak kecil aku terbiasa mandiri dan tidak ingin menikmati fasilitas mewah milik Papa yang 'berlebihan' menurutku. Mungkin ini efek aku tinggal dengan Eyang yang mendidikku dengan penuh kesederhanaan.
Oke, mari meluncur ke TKP yeeeeeyyyy!
--------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate To Love
HumorReyhan tak menyangka jika gadis kecil yang ia berikan boneka Teddy Bear saat ulang tahun dulu telah kembali. Gadis manis yang ia kecup pipi gembulnya saat keduanya masih merasakan tawa riang bersama di Taman Kanak-Kanak itu, berubah. Sila mendapat t...