9. Ambigu

12.7K 1K 21
                                    

"Ikoooooo!" teriak Sila lantang memanggil adiknya yang sedang berbaring santai di depan televisi sambil memejamkan mata. Mendengar suara teriakan kakaknya yang mengerikan, seketika Iko membuka matanya.

Apa yang dibayangkan beberapa saat lalu dalam mimpi terjadi juga. Kakaknya tiba-tiba saja menangkup pipi adiknya dengan kedua tangan. Sambil menatap penuh amarah, Iko hanya menelan ludah ketakutan sekaligus bingung.

Apakah kakaknya akan memperjakai bibirnya?

Pikiran konyol Iko langsung ditepisnya mengingat kakaknya tidak mungkin berbuat hal aneh barusan.

"Iko, kalau kamu sudah dewasa nanti, jangan sampai bibirmu menempel di sembarang gincu. Karena apa? karena efeknya sangat mematikan. Bisa-bisa otak kamu akan jauh dari kata waras. Oh satu lagi, meskipun penasaran rasanya, cobalah untuk menahan. Oke adikku sayang?" ucap Sila berapi-api tepat di hadapan wajah Iko yang hanya berjarak satu centimeter saja. Selama Sila menasehati adiknya, Iko susah payah menahan sakit akibat remasan tangan kakaknya dan bau ikan asin dari mulut di depanya.

Sangat menyiksa.

Iko hanya mengangguk pasrah. Setelah Sila melepaskan tangkupan pada pipi adiknya, ia langsung melemparkan diri di karpet tebal tempat Iko tadinya berbaring.

"Mbak, kesel sama siapa sih kok aku yang jadi sasaran?" sungut Iko sambil mengelus pipinya yang terasa panas akibat tangkupan kakaknya yang sedang terbakar emosi.

"Sama penjahat bibir" jawab Sila sembari memejamkan mata. Iko yang mendengarnya hanya menggaruk kepala bingung dengan istilah baru dari kakaknya.

******************

Rey mengetuk-ngetukan kepalanya pada pintu kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Ia merutuki kebodohanya yang sangat terlihat akhir-akhir ini, terlebih saat bertemu singa betina tetangganya. Bagaimana bisa rasa bibir itu selalu membayangi malam-malamnya dan  kepalanya mendadak hanya berisi kejadian malam itu yang berputar seperti kaset.

Mulutnya, konyol sekali meminta singa betina mengulangi kejadian tak sengaja itu lagi. Sepertinya ia akan membawa gembok saja saat bertemu dengan Sila agar mulutnya tidak mengeluarkan kalimat konyol dan kepalanya aman dari benturan apa pun.

"Kak...." Suara Emil yang menggedor-gedor pintu kamar terdengar oleh Rey. Daripada adiknya semakin kencang bahkan merobohkan pintu kamarnya, Rey segera memutar tubuhnya membukakan pintu.

"Kenapa?" 5anya Rey malas.

"Ih kakak kebiasaan deh. Pakai baju dulu gih, mana bau keringat lagi." Rey menatap tubuhnya yang tidak mengenakan baju karena niatnya tadi ingin mandi.

"Kakak mau mandi kamunya datang. Cepetan bilang ada apa?"

"Cuma mau ngasih tahu aja kalau aku sama Mama mau keluar. Nanti kalau Papa dateng bilangin cewek-cewek lagi jalan."

"Kenapa nggak bilang Papa sendiri?"

"Papa dari siang hape-nya nggak bisa dihubungi. Mungkin lembur di kampus. Udah ya kakak sayang bab bay..... muach." Emil melambai pada kakaknya sambil berkedip manja.

Meskipun Rey jengah dengan adiknya yang manja tapi dia sudah biasa menghadapi. Setelah Emil tidak terlihat lagi, Rey kembali menutup pintu dan segera melanjutkan aktifitasnya yang tertunda. Mengguyur otaknya dan menyikat bibirnya agar bayangan singa betina musnah.

Esoknya di kantor, seperti biasa ia menceritakan ketololan dan tergesa-gesa tindakannya pada Derry yang mampir ke ruangannya.

"Masa satu cewek aja kamu nggak sanggup sih," ejek Derry yang duduk di sofa ruangan Rey.

"Masalahnya dia bukan cewek. Dia lebih pantas disebut singa betina." Derry tertawa melihat sahabatnya yang menceritakan sosok Sila sangat mengusik pikirannya.

Hate To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang