BAB 14 PERMINTAAN TERAKHIR

82 5 0
                                    

Seno sudah berada di bawah menunggu Nara yang masih memilih milih pakaian yang pas. Kenapa ia seperti hendak kencan? Peduli setan lah.

Nara menuruni tangga dengan celana jeans biru tua dan kaos lengan panjang berwarna pink salem.

Cantik. Alami. Tidak berlebihan. Mata Seno seakan dikunci untuk menatap Nara terus menerus. Rambut hitam legamnya begitu mempesona.

Nara mengernyit bingung, Seno hanya diam sambil menatapnya, "Eh bang" Nara menjambak pelan rambut Seno.

"Sakit kali ah, kebiasaan" Seno bangkit seraya merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Kita mau kemana si?" Nara berteriak di sela sela tangannya mencengkram kameja Seno. Gila ni cowok, bawa motor kaya orang kesurupan.

Pertanyaan Nara diabaikan.

5 menit

10 menit

Sebenarnya Seno akan membawa Nara kemana?

Mata Nara menatap danau sunyi dihadapannya. Danau yang disajikan satu paket dengan sebuah taman yang amat sangat indah. Lampu taman menghiasi di sepanjang jalan setapak yang kemungkinan di lewati para pengunjung. Terdapat kursi kayu panjang ditengah lebatnya bunga bunga. Ramai. Satu kata untuk keadaan taman ini.

"Duduk" Nara menurut saat Seno menyuruhnya duduk dibangku kosong yang menghadap langsung pada bunga melati yang ranum.

Seno terdiam, seakan memikirkan sesuatu yang akan diucapkan pada gadis disampingnya.

"Lo pasti bingungkan, kenapa tiba tiba gue masuk kedalam kisah lo, ngehancurin momen momen indah hari lo" Seno memulai percakapan dengan mata sayu menyejukannya. Menatap bunga melati dihadapannya dengan pandangan kosong.

Nara termenung, ia bingung harus menjawab apa, kalo soal bingung atau enggak, tentu saja ia bingung. Semua gadis pasti bakalan bingung jika berada di posisi Nara saat ini.

"Emangnya apa.." Nara menggantungkan kalimatnya, menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Motif lo?"

Seno terkekeh sambil menunduk, memandang tangannya yang saling bertaut. Ada perasaan sakit yang tiba tiba menyergapnya. Sakit karena tahu jika gadis disampingnya ini adalah kekasih kakaknya sendiri.

"Bales dendam" Nara memandang tak percaya pada lakilaki disampingnya. Tak bisa dipungkiri jika ada kesakitan didalam mata bening gadis manis ini. Kesakitan yang tak pernah diduga duga.

"Ohh.." Nara bergumam paham. Balas dendam ya? Kenapa harus melibatkan Nara yang bahkan tidak tahu masalanya sama sekali. Keparat.

Seno memandang heran Nara. Gadis ini hanya bergumam, tak ada kebencian sama sekali di wajah putihnya. Ia kira Nara akan menamparnya habis habisan, menjambak rambutnya hingga kulit kepalanya lepas, seperti yang sering ia lakukan.

"Maaf" Seno menahan gejolak didalam dadanya untuk memeluk gadis ini. Gadis yang kini hanya mengangguk angguk bodoh.

"Buat apa?" Nara menaikan salah satu alisnya, memasang senyum manisnya yang dipaksakan.

"Untuk semuanya" Seno menegakkan tubuhnya, "Gue janji, gue gabakal ganggu hubungan lo sama Tio lagi" Lakilaki ini menghiraukan wajah Nara yang tiba tiba mengeras.

Intinya. Seno akan pergi dari hidupnya.

Harusnya itu baik bukan untuk Nara dan Tio? Tapi nyatanya, ada yang mengganjal di hatinya. Tepat di ulu hati bagian perasaan. Perasaan?

"Udah lah selow" Nara terkekeh yang malah terdengar seperti pekikan. Iya, pekikan kesakitan, batin Nara.

"Emangnya apa yang bikin lo sampe mau bales dendam sama Tio, dengan memperatal gue?" Seno memandang bersalah kearah Nara yang kini tengah memetik satu buah bunga melati.

"Cerita versi gue pasti bakalan beda sama versi Tio" Seno melangkah menuju kumpulan bunga Mawar, memetiknya satu tangkai lalu melangkah kembali kearah Nara.

"Lagian lo gaharus tau. Ga penting." Seno mengulurkan bunga Mawar tersebut kearah Nara.

Nara meraih bunga berwarna merah darah itu dengan hati.. Yang mungkin ikut berbunga bunga juga. Mungkin.

"Wih bisa romantis juga lo" Nara memandang bunga tersebut, melirik bunga Melati yang juga ada di tangan kananya.

"Ini buat lo deh" Nara mengulurkan tangannya yang terdapat bunga Melati yang tadi ia petik.

Seno terkekeh, mengambil uluran tangan Nara dan menggenggam lengan gadis itu, tangan mereka bertaut dengan Melati di tengah tengahnya. Seno memandang Nara yang tampak terkejut, terlihat dengan jelas rona merah itu. Rona merah yang begitu menggemaskan.

Seno melepas genggamannya, mengambil bunga Melati itu dengan senyum tipis.

"Permintaan terakhir gue" Seno memandang lekat wajah Nara yang masih memerah dengan senyum malu malu.

Nara mengangkat wajahnya. Menatap tak mengerti kearah Seno.

"Gue minta, lo jangan ngungkit ngungkit gue lagi didepan Tio. Seutuhnya, gue bakal ngejauh dari kalian" Seno mengangkat tangannya dan mengelus pipi halus Nara. Jujur saja ada rasa aneh yang tanpa disadari hinggap dihati keduanya.

Sedangkan gadis ini hanya bisa menahan napas karna pipinya disentuh oleh Seno, tak urung perkataannya yang secara terang terangan mengatakan jika ia akan pergi jauh jauh, pergi disaat Nara tak menginginkannya untuk pergi.

Rasa itu datang begitu terlambat. Datang disaat mereka akan berhenti, dan lucunya, mereka harus berhenti disaat belum memulainya sama sekali.

**

Nara mengabaikan panggilan telepon dari Tio. Ia sibuk dengan tangisnya sendiri. Sakit. Lebih sakit dari malam dulu, malam dimana Tio meminta putus.

Lagi lagi ponselnya berdering.

Tio callings

'Bruk'

Nara membanting ponselnya ke lantai, terdengar suara pecahan kaca yang bersumber dari ponselnya sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana besarnya tenaga gadis ini, dibawah sana ponselnya sudah berhamburan tak berbentuk dengan layar pecah parah.

Nara memandang kosong kearah langit langit kamarnya, mengingat pertemuan pertama mereka di depan toilet. Saat itu Seno terlihat sangat berantakan dengan jaket lusuh dan rambut berantakan, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan pesona di wajahnya

Pertemuan kedua. Ini yang menurut Nara paling mengesankan. Saat kepalanya terkena bola yang ditendang Seno, saat Seno menggendongnya ke UKS. Saat Seno menunggunya sampai tertidur di sofa. Semuanya mengesankan. Kecuali yang tadi, saat Seno mengatakan akan menjauh sejauh jauhnya.

Nara kembali meraung kesakitan. Ini lebih sakit dari apapun. Lebih sakit saat ia di phpin Joan.

Rasanya, semacam ditipu.

Semacam di kibulin.

Tapi tidak bisa memungkiri perasaannya sendiri. Perasaan ingin memiliki.

Jangan kira Nara tidak kecewa saat tahu Seno memanfaatkannya. Ia kecewa, kecewa yang bahkan tak bisa di ucapkan dengan kata kata.

Ia mengingat kejadian saat di bioskop, saat dengan bodohnya ia melakukan hal terkonyol dalam hidupnya.

Flashback

Nara memandang wajah tenang di hadapannya, hampir 10 menit setelah film selesai ia memperhatikan wajah Seno yang terlelap disampingnya. Lakilaki ini, demi menuruti permintaannya, rela menghabiskan waktu 2 jam untuk menonton film yang tidak digemarinya. Hingga ia terlelap tanpa disadari.

Nara masih betah memandang wajah Seno, hingga gadis ini tanpa disadari mendekat kearah wajah Seno. Mencium pipi lakilaki ini. Sekilas, hanya sekilas. Hatinya bergetar, ia tersenyum malu malu. Menyadari jika disini hanya ada mereka ber dua. Dengan senyum tipis Nara menggoyang goyangkan tangan Seno, lakilaki itu terbangun sambil mengucek matanya yang buram.

"Udah selesai?" Lakilaki itu bergumam dengan mata sayu yang mulai digemari Nara.

"Udah dari 15 menit yang lalu bego" Nara bangkit, sebenarnya ia takut hilang kendali, takut jika Seno menyadari perubahan raut wajahnya.

Dan mulai saat itu Nara yakin, ini cinta bung!

RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang