Rintikan air hujan membuat kafe bergaya vintage ini sangat ramai. Para murid SMA Starlight banyak yang datang ke sini untuk meminum sesuatu yang hangat atau sekadar mengobrol sambil memesan makanan. Aku juga berada di sini untuk membicarakan sesuatu dengan Vexia. Duduk di meja yang dekat dengan jendela besar sambil mengamati rintikan air hujan, itu adalah kesukaan kami berdua.
Kemarin malam aku memikirkan segalanya dan sudah kuputuskan bahwa aku akan menceritakan tentang bagaimana perasaanku yang sesungguhnya pada Kak Rafa pada Vexia. Aku juga ingin meminta saran darinya. Karena sejujurnya, aku tidak bisa mengelak lagi.
"Jadi, ada apa?" tanya sebuah suara yang tentu saja membuatku terlonjak kaget.
Aku yang sedang mengaduk minumanku, sampai tidak menyadari bahwa Vexia sudah datang. Tadinya memang aku sedang menunggunya. Tentu saja aura kegugupan langsung mengelilingiku sekarang. Mungkin karena baru kali ini aku akan menceritakan tentang laki-laki padanya. Sebelumnya aku tidak pernah sedikit pun membahas tentang cinta.
"Gue,"-aku mengusap tengkukku yang tidak gatal-"suka sama Kak Rafa."
Vexia terlihat berbinar-binar. "Akhirnya lo mengakui juga, ya."
Aku tersenyum kecil. "Gue nggak bisa ngerahasiain apa pun dari lo."
Vexia terkekeh geli. "Kalo mau ngedapetin dia, lo harus berusaha." Vexia menggenggam tanganku dan meremasnya pelan untuk memberikanku keyakinan.
"Gue pasti nyoba," ucapku, "tapi,"-aku menghela napas dengan berat-"gue nggak percaya bisa suka sama dia."
Vexia menatapku lembut. "Lo harus percaya karena emang itu yang terjadi sekarang."
"Oke, minum dulu aja."
Vexia mengangguk dan meminum hot caramel-nya. Aku juga meminum hot chocolate yang sangat enak kalau diminum saat hujan. Rasanya hangat dan menenangkan. Aku tidak sengaja melihat pintu kafe dan mendapati ada....
"Ve, Kak Rafa sama Kak Devan ada di sini," ucapku heboh.
Vexia mengedarkan pandangan ke sudut kafe yang kumaksud. "Santai aja, deh."
Aku menggeleng tidak setuju. "Tempatnya udah penuh semua. Kalo mereka gabung sama kita gimana?"
Vexia tersenyum miring. "Bagus, dong. Lo jadinya seneng, kan?"
Aku mendengus kesal. Derap langkahnya terdengar semakin mendekat. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam dan berpura-pura sibuk dengan ponselku. Sial, kenapa meja yang kupilih ini untuk empat orang? Aku merutuki kebodohanku sendiri.
"Boleh gabung?" tanya suara yang sudah tidak asing lagi bagiku.
Aku bingung harus bilang iya atau tidak. Lalu, aku menoleh ke Vexia sekilas dan dia mengangguk. Jangan ditanya, sekarang udara di kafe terasa lebih dingin dari sebelumnya. Ditambah lagi ada seseorang yang membuatku berdebar-debar tak menentu.
"Iya, boleh," jawabku setelah jeda beberapa saat.
Kak Rafa duduk tepat di hadapanku. Aku tidak berani menatapnya. Seketika suasana menjadi canggung.
"Maaf, jadinya ganggu kalian," kata Kak Devan merasa tidak enak.
Vexia tersenyum lembut menanggapinya. "Nggak papa, kok."
Ada waiter datang meletakkan pesanan di meja kami. Tadi aku memesan kentang goreng, sosis bakar, roti bakar cokelat, dan pisang goreng keju.
"Kakak belum pesen minum?" tanyaku sambil menunjuk mereka berdua.
"Belum."
Aku pun meminta waiter itu untuk membawakan hot cappuccino dan hot mochaccino. Tidak lama kemudian minuman pun sudah ada di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Force of First Sight
Teen FictionPertemuan yang berawal dari ketidaksengajaan telah mengubah pandangan Kenza Valencia terhadap Rafa Marvelle. Kehadiran Rafa yang merupakan murid baru di sekolahnya sukses membuatnya merasakan indahnya jatuh cinta. Pengkhianatan, kesalahpahaman, dan...