《Twelve》

1K 82 5
                                    

Kucoba untuk membuka mata walaupun rasanya sangat sulit. Perlahan-lahan kedua kelopak mataku mulai terbuka. Kurasakan kepalaku berputar-putar yang membuat pandanganku kabur.

"Dia udah sadar," ucap sebuah suara yang samar-samar kudengar.

Setelah rasa pusing yang mendera tadi hilang, aku pun telah sadar sepenuhnya. Bau khas rumah sakit langsung menyeruak. Aku menatap tangan kananku yang ditancap jarum infus. Kulihat kanan kiri dan mendapati ada Vexia dan juga... Kak Rafa?

Kejadian di taman belakang sekolah terputar jelas di otakku. Aku tak bisa membayangkan kenapa Kak Rafa berbuat sejahat itu kepadaku. Apakah dia sudah tak punya hati? Kali ini aku benar-benar takut kalau dia mempunyai aura gelap. Aku tahu kalau dia sangat dingin bagaikan es yang sulit mencair, tapi kupikir dia tidak semengerikan seperti saat itu.

Vexia memelukku sekilas, kemudian mengembuskan napasnya lega. "Sumpah, lo bikin gue panik. Gue bakal bunuh Kak Rafa kalo sampe lo amnesia," ucap Vexia sambil melirik sinis Kak Rafa yang sedari tadi masih bisu.

"Emang lo berani?" tanyaku sambil terkekeh.

Vexia menyeringai, lalu menjawab, "Berani, dong. Tapi, gue, kan, masih punya hati. Jadi, gue nggak bakal ngelakuin itu."

Aku menggelengkan kepalaku. "Aneh-aneh aja lo."

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Kuamati pakaianku yang ternyata masih sama dengan yang kupakai terakhir kali kala itu. Mungkinkah yang membawa ke rumah sakit Kak Rafa?

"Gue mau ngomong sama Kenza," kata Kak Rafa sambil mengisyaratkan Vexia untuk pergi.

Vexia pun berlalu begitu saja tanpa meminta persetujuan dariku. Aku menjadi gelagapan setengah mati. Perasaan takut mulai menyelimuti hatiku. Kak Rafa mendekat dan duduk di kursi yang terletak di samping ranjangku.

"Nggak usah takut, gue nggak bakalan macem-macem."

Aku masih diam. Sama sekali tak berniat untuk berbicara dengannya.

"Maafin gue," ujarnya lirih.

Aku berusaha menutupi rasa terkejutku. Kukira dia tidak akan meminta maaf atas kejadian itu. Apakah dia benar-benar merasa bersalah?

"Iya."

Satu kata itu mungkin sudah cukup. Tidak tahu kenapa hatiku mulai tak nyaman. Suasana di antara kami berdua sangatlah aneh.

"Gue lebih suka lo yang bawel kayak biasanya. Kenapa lo tiba-tiba jadi diem?" tanyanya sambil menatapku intens.

Aku bergumam sebentar dan menjawab, "Nggak papa."

"Waktu itu gue lost control, jadi gue nggak bisa berpikir jernih lagi. Waktu lo dateng gue jadi kebawa emosi dan akhirnya berbuat kasar sama lo. Sekali lagi sorry banget, ya."

Aku bisa melihat wajahnya menatapku memohon. Aku pun hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Lo tau gue dulu suka nyakitin lo, bikin lo nangis, dan hal lain yang selalu buat lo sedih. Tapi, sekarang gue pengen berubah demi nebus kesalahan gue."

Aku menatapnya tak percaya. "Nggak usah maksain diri, Kak. Percuma kalo berubah, tapi nggak dari hati."

Kak Rafa mengambil tangan kiriku untuk digenggam. Kehangatan langsung menyergap diriku. Sentuhannya membuatku panas dingin seketika. Apa aku sedang bermimpi?

"Gue janji. Lo harus percaya sama gue kalo gue nggak bakal ngecewain lo lagi."

Tanpa disangka-sangka, dia mengecup punggung tanganku dan menatapku teduh. Kali ini aku bisa melihat ada ketulusan yang terpancar dari bola matanya.

The Force of First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang