《Eighteen》

806 62 0
                                    

"Kak, disuruh Mama beliin bahan kue buat besok, ini list-nya sama uangnya," ucap Audy sambil menyodorkannya padaku.

Aku mengambilnya dan mengamati apa saja yang akan dibeli. "Ayo, kamu ikut aja! Masa aku belanja sendirian?"

Audy menggeleng dan menjawab, "Nggak bisa. Aku mau kerja kelompok di rumahnya temen. Habis ini aku mau dijemput."

Aku mengerucutkan bibirku sebal. "Emangnya Mama lagi ke mana?" tanyaku padanya.

"Mama sama Papa diajak dinner sama temen lamanya yang katanya sampe malem. Mereka udah buru-buru gitu takutnya telat. Tadi aku pas lagi di bawah juga soalnya makanya Mama langsung nitipin ke aku."

Aku mengangguk paham. "Yaudah kalo gitu. Cepet ganti baju sana keburu temenmu dateng."

Audy mengacungkan jempolnya, kemudian keluar dari kamarku. Aku bermalas-malasan di atas kasur sambil sesekali mengecek social media. Sedangkan minimarket itu terletak di dekat komplek perumahanku. Jadi, nanti saja bisa.

Tak terasa waktu bergerak begitu cepat. Tadi aku sempat tertidur dan lupa tidak menyalakan alarm. Aku bangkit dari kasur dan segera bersiap-siap. Aku memutuskan berjalan kaki saja karena hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai. Jalanan tak ramai lagi karena sekarang sudah pukul setengah sembilan malam.

Bahan kue yang tertulis di list sudah kudapatkan semua. Aku mempercepat langkahku agar tidak pulang kemalaman. Mendadak aku jadi takut karena tidak ada lagi kendaraan yang berlalu lalang. Dan entah kenapa aku merasa kalau ada orang yang mengikutiku.

"Tumben sendirian? Biasanya berdua mulu sama Rafa."

Suara itu membuatku menghentikan langkah. Aku membalikkan badan dan terkejut karena itu adalah Kak Sheren.

"Ngapain Kakak di sini?" tanyaku penasaran.

"Suka-suka gue, dong," jawabnya sinis.

Aku memutar kedua bola mataku malas. "Rasanya gue nggak pernah bikin masalah apa pun sama lo, Kak. Jadi, buat apa lo ngikutin gue?"

Kak Sheren melangkah mendekatiku dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Tenggorokanku tercekat saat melihat benda tajam itu.

"Buat ngelenyapin lo. Tapi, gue masih punya sisi baik dengan lo pilih di antara dua tawaran. Jauhin Rafa atau lo akan berakhir sekarang juga di sini?"

Keringat dingin mulai membanjiri pelipisku. Aku melirik sekeliling yang ternyata kondisinya sangat sepi. "Kak, nggak usah bercanda. Lo itu udah nggak punya perasaan apa pun buat Rafa. Cuma terobsesi aja dan juga nggak rela kalo dia sama gue," jelasku dengan menggebu-gebu.

Kak Sheren tiba-tiba saja menaruh pisau itu di bawah daguku. Napasku sudah tak beraturan. Aku harus berbuat apa?

"Bisa-bisanya lo ceramahin gue kayak gitu? Sekarang, satu langkah lagi lo bakalan abis sama gue. Nyerah nggak lo!" bentaknya yang membuatku terdiam dan mulai berpikir.

"Gue...," ucapku terbata-bata. Aku menatap pisau itu yang bilamana digeser sedikit saja olehnya pasti sudah membuat sayatan yang amat menyakitkan.

Aku memejamkan mata dan berdoa semoga saja ada orang yang menyelamatkanku. Aku tidak akan rela begitu saja dengan memilih untuk menyerah. Saat aku membuka mata, aku tersentak karena ada satu pisau lagi yang ditaruh di depan perutku.

Kantong belanjaan yang semula kugenggam erat langsung terjatuh begitu saja. Nyawaku sangat terancam. Aku benar-benar tak bisa melawannya. Kalau lari pun pasti aku akan kalah cepat karena dia pernah membanggakan SMA Starlight dengan memenangkan turnamen lari yang fenomenal se-Indonesia. Jika aku berteriak, pasti dia langsung menancapkan pisau itu ke tubuhku. Sungguh mengerikan dan sadis.

The Force of First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang