《Sixteen》

965 74 1
                                    

Kami memutuskan untuk kembali ke tenda karena sudah waktunya untuk tidur. Setelah mengobrol cukup lama dan bercerita tentang apa pun, aku merasa lega karena dapat jujur padanya soal diriku sendiri. Aku sangat terkejut saat tahu bahwa ternyata Kak Sheren adalah mantan kekasihnya Kak Rafa. Pantas saja mereka tetap dekat sampai sekarang. Namun, dia bilang padaku kalau itu hanyalah masa lalu yang tak perlu diingat. Lagi pula sudah lama juga aku tak melihat mereka berdua kembali akrab seperti dulu. Jadi, sekarang aku tidak perlu takut lagi.

Ternyata acara api unggun telah usai. Aku dan Kak Rafa menghampiri anggota kelompok kami yang tengah bersendau gurau di depan tenda. Apakah kami menang? Kuharap semoga saja begitu.

"Guys, siapa yang menang?" tanyaku tak sabar.

Ansel tersenyum penuh kemenangan dan dengan bangganya menjawab, "Kita, dong."

Aku melompat girang dan ikut duduk di dekat mereka. "Nggak sia-sia. Yah, walaupun gue harus mengesampingkan rasa malu."

Vexia tertawa pelan karena melihatku mendengus. "Apaan pake malu segala. Lo menikmati banget gitu sampe nggak mengalihkan pandangan dari pacar tersayang," sindirnya telak.

Aku refleks menggeleng. "Itu, kan, buat menghayati lagunya. Tapi, tetep aja gue malu banget," ucapku tidak terima.

"Udahlah, ribut banget kalian," protes Kak Devan.

Kali ini biarlah aku membalas Vexia. Dengan semangat aku berkata, "Kak Dev, ayo cepet tembak Vexia. Dia udah nggak sabar, tuh."

Aku sudah memberi kode keras pada cowok itu. Namun, dia hanya memasang raut wajah tanpa dosanya yang membuatku geregetan. Dengan santainya dia menyahut, "Jangan. Kasian nanti mati."

Edelyn yang tadinya diam pun membalas, "Maksudnya jadiin Kak Ve itu pacarnya Kakak. Aduh, jadi cowok nggak peka banget, sih."

"Kode kerasnya kurang, Dev?" tanya Kak Rafa.

"Enggak, sih. Gue lagi nggak pengen pacaran," jawabnya.

Ansel mengucapkan, "Penonton kecewa. Kirain bisa liat adegan romantis secara live."

Edelyn memukul lengan Ansel keras karena memang ucapannya agak kelewatan. Aku melirik Vexia yang sudah memasang muka kusut. Pupus sudah harapannya. Apa dia benar-benar terjebak dalam dunia friend zone?

Vexia beranjak berdiri dan pergi. Aku segera mengejarnya dan menghadang jalannya.

"Ve, mungkin dia bercanda."

Vexia sudah menangis dan tampak kecewa. "Apa lagi, Ken? Gue udah denger pengakuannya dia di depan kalian semua. Malu banget gue. Ini semua gara-gara lo tau nggak!" bentaknya kasar.

Aku mengembuskan napas dengan berat. "Bukan gitu maksud gue. Gue cuma pengen supaya lo cepet jadian sama dia. Makanya gue kasih kode keras. Eh, taunya dia sama aja nggak peka."

Vexia menghela napas dalam. "Karena mungkin takdir gue sama dia hanya sebatas sahabat dan nggak lebih. Apa gue harus memaksa dan mengubah itu?" tanyanya pelan.

Aku mendekatinya dan langsung memeluknya. "Gue yakin lo bisa. Maafin gue, ya."

Vexia mengeratkan pelukanku dan semakin menangis tak karuan. "Iya, gue juga minta maaf," katanya parau.

Aku mengusap punggungnya agar dia tenang. Setelah Vexia tidak menangis, aku pun melepas pelukannya.

"Tinggalin gue sama dia," sahut suara dari tempat tak jauh dari kami.

Kulihat itu adalah Kak Devan. Dan aku langsung saja pergi karena memang itu masalah mereka berdua. Aku hanya bisa berharap kalau mereka akan segera menjadi sepasang kekasih. Kasihan Vexia seandainya dia harus menyukai Kak Devan seorang diri.

The Force of First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang