《Twenty Two》

1K 68 1
                                    

Sesampainya di rumah aku diomeli habis-habisan oleh kedua orangtuaku. Mereka sudah mem-blacklist Kak Rafa mulai sekarang. Dan Audy tiba-tiba saja menyebut nama Alzio yang katanya lebih cocok denganku daripada kalau aku bersamanya.

Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian aku pun merebahkan badanku di kasur yang menurutku paling nyaman. Kutatap langit-langit kamar dan membayangkan betapa pahitnya kejadian yang baru saja membuatku kehilangan semangat. Untung saja aku tak salah arah gara-gara patah hati.

Suara ponsel yang menandakan ada line masuk menyadarkanku dari lamunan-lamunan soal kenangan-kenanganku dengannya yang tak bisa kulupakan. Dengan tangan bergetar aku mengambil ponsel di nakas dan membuka chat itu. Aku mengganti namanya dengan menghapus emoticon love yang kutambahkan sebelumnya. Sekarang, aku bukan siapa-siapanya lagi dan akan selamanya begitu.

Rafa Marvelle: Besok aku berangkat jam 6 sore. Maaf nggak bisa luangin waktu buat kamu. Aku sekarang masih sibuk ngurusin dokumen penting dan belum packing juga. Good night and sweet dream<3

"Ah, emot-nya bikin baper. Enaknya dibales apa di-read aja, ya?" rutukku dalam hati.

Kuputuskan untuk membalasnya besok saja. Dia juga tidak mungkin sempat membuka ponsel lagi. Aku menutup mata dan mencoba untuk tidur. Namun, entah mengapa aku tidak bisa melakukannya. Ini semua karena terbayang oleh apa pun yang menyangkut dirinya.

Kulangkahkan kakiku menuju cermin yang terletak di sebelah lemari pakaian. Rambutku acak-acakan, mataku bengkak, bibirku pucat, dan mimik sendu masih senantiasa menghiasi wajahku. Andai saja hari ini dia tidak memberitahu hal yang menyakitkan itu, pasti aku tidak akan berantakan begini.

☆♡☆♡☆

"Kenapa murung?" tanya Vexia sambil menopang dagunya.

Sungguh aku belum siap menceritakan padanya. Kurasa masalah ini biarlah aku sendiri yang tahu. Bisa kacau kalau orang lain sampai mengetahuinya. Tapi, masalahnya Vexia itu sahabatku. Masa aku tidak mengatakan padanya? Benar-benar membingungkan.

"Nothing. Lo udah ngerjain tugas biologi belum?" tanyaku mengalihkan topik tadi.

Dia mengangguk mantap. "Udah, kok. Lo?"

Aku meringis. Semalam aku tidak sempat mengerjakannya karena terlarut dalam kesedihan. Oh, betapa merananya aku ini. "Belum. Gue kemarin capek banget." Yah, setidaknya itu tidak terlalu dusta. Untung saja aku sudah menyamarkan lingkar mata yang menghitam dengan concealer karena kemarin kurang tidur.

"Hari ini pacar lo nggak masuk?"

"Enggak kayaknya," jawabku dengan senyuman miris.

Vexia terkekeh. "Iyalah. Dia, kan, habis UN makanya bolos. Lagian hari ini juga nggak penting banget. Ngapain, ya, kita masuk?"

"Harusnya gue bisa tidur sampe siang, ya. Kalo aja tugas biologi nggak wajib ngumpulin, pasti gue nggak bakal masuk," ucapku.

Suasana kelas gaduh karena murid dibebaskan untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Sebenarnya hari ini kami tidak ada pelajaran, tapi berhubung ada tugas dari guru biologi yang tiada ampun jika tak memgumpulkan itu maka terpaksa kami semua masuk.

SMA Starlight menyimpan banyak memori tentangku, tentangnya, dan tentang kita. Namun, kata 'kita' sekarang telah hilang digantikan dengan aku dan dia. Karena pada dasarnya aku dengannya hanyalah dua insan yang bukan ditakdirkan bersama, melainkan untuk berpisah dan selamanya akan tetap begitu atau dengan kata lain tidak mungkin berubah.

Mengingatnya justru membuatku semakin terpuruk dan jatuh terlalu dalam, sedalam kapal yang karam. Mencintainya membuatku merasakan makna rasa sakit akibat perasaan yang tidak tahu datang dari mana asalnya dan dengan seenaknya mengobrak-abrik relung hati terdalam. Mengejarnya pun juga sudah terlambat dan tidak berguna lagi karena hanya dapat menimbulkan luka yang entah kapan akan sembuh dan benar-benar terlupakan.

The Force of First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang